Belakangan ini kita sering
mendengar beberapa pengamat Timur Tengah yang tampil di layar kaca TVOne
mengutarakan bahwa Iran dan Israel itu sebenarnya main mata. Tujuan pernyataan
ini sebenarnya ingin menunjukkan adanya konspirasi di balik retorika Iran dalam
memusuhi Israel dan membantu rakyat Palestina. Mereka ingin membangun argumen
bahwa Iran itu cuma berpura-pura dalam dukungannya pada Palestina dan
perlawanannya terhadap Israel.
Mereka biasanya membawa
dalil bahwa Iran tidak pernah menghantam Israel dengan roket atau rudal
balistiknya. Demikian pula sekutu Iran dari kalangan Arab seperti Suriah juga
tidak menghajar Israel. Bukti lain yang biasanya diajukan ialah pertemuan
sejumlah pemimpin Iran dengan rabbi-rabbi Yahudi dari kelompok Neturei Karta
(yang justru merupakan kelompok Yahudi anti Zionis Israel).
Para pengamat ini
sebenarnya mengikuti garis argumen (palsu) yang kini umum beredar di media Arab
pro Zionis seperti Aljazeera dan Alarabiya. Bagi mereka yang bisa berbahasa
Arab pasti akan mudah menemukan omongan-omongan serupa di kolom komentar di
situs-situs media Arab pro Zionis tersebut.
Namun, benarkah demikian?
Benarkah Iran main mata dalam perlawanannya terhadap AS dan Zionis Israel?
Benarkah Iran hanya tipu-tipu dalam mendukung Palestina? Marilah kita
tinggalkan manipulasi dan pemutarbalikan fakta ala para pengamat dan media Arab
pro Zionis di atas dan kembali ke realitas yang ada.
Sebelum Revolusi Islam
tahun 1979, di saat AS masih mengangkangi Teluk Persia seutuhnya, Shah Reza
Pahlewi yang ketika itu berkuasa memiliki hubungan mesra dengan Israel. Pada
saat itu pula, segenap rezim Arab tunduk di bawah ketiak Shah dan membayar
upeti untuk setiap tanker minyak yang melewati Teluk Persia. Dan pada saat itu
sebenarnya Shah sudah mengaku dirinya sebagai penganut Syiah –sementara
raja-raja Arab tidak pernah merasa menjadi pengayom Sunni dalam melawan Shah
yang sangat benci terhadap Arab itu. Di zaman ketundukan Iran pada AS itu,
segalanya seperti berjalan normal tanpa ketegangan sektarian seperti yang
tergambar saat ini. Kedekatan dengan AS ketika itu tampaknya adalah kunci dari
kedigdayaan Iran di mata rezim-rezim Wahabi Arab.
Namun, segalanya seperti
berubah ketika Revolusi Islam Iran meletus pada 1979. Tiba-tiba saja Irak
berkoar soal nasionalisme Arab dalam melawan Persia, dan raja-raja Arab
penghasil petrodolar itu bersekongkol ingin menghabisi Iran. Alasan mereka
banyak. Di antaranya, Iran ingin mengekspor revolusi, Iran akan mensyiahkan
Timur Tengah dan dunia Islam, dan alasan terakhir yang paling absurd ialah
karena Iran bermain mata dengan Israel untuk melemahkan Islam dan Arab.
Alasan terakhir ini kini
seperti mendapatkan pembenaran lantaran apa yang terjadi di Suriah. Apalagi
kini juga tak henti-hentinya para ulama bayaran yang hidup dalam ketiak
raja-raja korup terus mengumandangkan ujaran-ujaran kebencian terhadap Iran dan
komunitas Syiah di Timur Tengah.
Tapi, lagi-lagi, benarkah
demikian? Tentu jawabannya bagi sebagian besar yang mengerti seluk-beluk Timur
Tengah sudah jelas. Tak perlu analisis dan argumentasi sepanjang ini. Namun,
belakangan, pengulangan argumen ini di sejumlah media nasional dapat
menyebabkan khalayak yang kurang wawasan menerima bualan itu sebagai kenyataan.
Di bawah ini saya coba berikan beberapa penjelasan.
Pertama, sejak Revolusi
Islam Iran, Imam Khomeini telah menjadikan pembelaan terhadap Palestina dan
perlawanan terhadap AS-Israel sebagai prinsip ideologisnya. Dua gerakan
perlawanan rakyat Palestina, seperti Hamas dan Jihad Islam, mendapat dukungan
logistik dari Iran di tengah boikot total dari seluruh rezim Arab. Dan untuk
dukungannya ini, Iran harus membayar mahal.
Selain itu, Suriah sebagai
satu-satunya negara Arab yang berbatasan langsung dengan Israel dan hingga kini
belum meneken perjanjian damai dengan Israel juga mendapat dukungan penuh dari
Iran. Dasar hubungan strategis Iran-Suriah ialah perlawanan terhadap Israel.
Demikian pula hubungan trio Iran-Suriah-Hizbullah pun berlaku dalam kerangka
melawan Israel dan hegemoni AS di Timur Tengah. Dan karena hubungan ini pula
maka ketiganya terus digencet oleh seluruh kekuatan pro Zionis Israel dan AS,
baik rezim-rezim Arab, Turki maupun kelompok-kelompok ekstremis Islam model
Al-Qaedah.
Jadi, apa maksud
sebenarnya dari pernyataan komentator-komentator di atas? Banyak, tapi
sedikitnya ada lima motif di balik pemutarbalikan fakta ini. Masing-masing
fakta ini sebenarnya saling memperkuat untuk: Pertama, pemutarbalikan fakti ini
dihembuskan untuk mengaburkan kenyataan yang terang-benderang tentang
ketundukan negara-negara Arab terhadap hegemoni dan kebijakan AS-Israel di
Timur Tengah.
Negara-negara yang
mengangkat dirinya sendiri sebagai pengayom mayoritas Muslim itu ingin
menyatakan bahwa permusuhannya pada Iran dikarenakan Iran sebenarnya bermain
mata dengan AS juga. Padahal, bukti-bukti kerjasama yang coba diungkap dari
balik layar tersebut tidak pernah bisa dibandingkan dengan kenyataan
terang-benderang hubungan mesra negara-negara Arab dan Turki dengan AS-Israel.
Di sini misalnya kita bisa menyebutkan bahwa Turki adalah negara Muslim pertama
yang mengakui eksistensi negara Israel.
Kedua, tujuan
dimunculkannya rumor ini ialah menutup-nutupi kolaborasi negara-negara Arab
plus Turki dengan rezim Zionis dalam menindas rakyat Palestina dan mengabaikan
hak-hak asasi mereka dengan cara merontokkan eksistensi negara Suriah sebagai
tulang-punggung poros perlawanan terhadap AS-Israel di kawasan Timur Tengah.
Hancurnya Suriah bakal berujung dengan penghancuran paru-paru dukungan logistik
Iran terhadap kelompok-kelompok perlawanan seperti Hamas dan Jihad Islam.
Ketiga, mencuatkan
permusuhan di antara umat Islam untuk mengalihkan perhatian mereka dari musuh
yang sebenarnya, yakni Israel dan AS. Menumbuhkan pertentangan dan permusuhan
antara Iran dan mayoritas Muslim dunia merupakan tujuan puncak AS-Zionis
bekalangan ini agar umat yang sudah tertindas ini makin tercabik-cabik dan
saling menghabisi.
Keempat, memberi
legitimasi ketundukan rezim Arab dan Turki dengan cara memunculkan isu adanya
konflik sektarian di antara umat. Tentu saja ini sebuah kekeliruan besar,
lantaran pada dasarnya semua konflik di Timur Tengah bersifat politik. Karena,
dalam kenyataannya, ada orang Sunni yang pro Zionis –demikian pula sebaliknya.
Sebagai contoh, Okab Saqr,
anggota Parlemen Lebanon yang bermazhab Syiah, kini menjadi pendukung utama
kelompok-kelompok pemberontak Suriah yang konon berjuang melawan rezim Suriah
yang bermazhab Syiah. Ayyad Alawi yang merupakan ketua fraksi oposisi di
Parlemen Irak juga politisi bermazhab Syiah yang sangat memusuhi Iran dan
berkawan dekat dengan AS dan rezim-rezim Arab lain.
Kelima, mencampuradukkan
antara gerakan-gerakan Islam yang benar-benar anti AS dan Israel dengan
gerakan-gerakan Islam palsu bentukan AS yang tidak pernah melawan AS, seperti
Fath Al-Islam dan Jund Sham.
Kesimpulannya,
pemutarbalikan fakta soal siapa kawan dan siapa lawan dalam politik biasanya
bertujuan untuk menyembunyikan kawan dan menyelamatkan lawan. Siapa saja yang
berupaya memutarbalikkan fakta tentang Iran tidak bisa dianggap sebagai
bersikap polos –melainkan memiliki agenda politik untuk mengacaukan peta
pertarungan yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar