Oleh
Leila S. Chudori
SAMBIL memandang rekannya, Mbok Naya bertanya-tanya dalam hati, " ... bukankah enam tujuh tahun hidup bersama dengan seorang Arjuna sudah tergolong ketiban ndaru, artinya dijatuhi anugerah kemujuran hidup? Kalau dibandingkan dengan suami Mbok Naya sendiri, yang bentuknya seperti Togog loakan itu, pastilah Mbok Ranu tidak punya hak untuk mengeluh setarikan napas pun. Itu kalau memang ia wiratama Jawa sejati yang sudah pernah diajar orangtuanya tentang sikap sumarah, bakti kepada raja, suami, dan segala yang di atas kita."
Sebenarnya,
ini bukan alinea utama dalam Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya.
Pembicaraan dari hati ke hati antara Mbok Naya dan Mbok Ranu itu hanya sebagian
kecil dari novel yang mendapatkan South East Asia Writers Award tahun 1983.
Nah. Bayangkan dialog wong cilik itu di dalam bahasa Inggris. Tentu bukan
pekerjaan yang mudah bagi Thomas Hunter, 44 tahun, untuk memindahkan 261
halaman karya novelis ini ke dalam bahasa Inggris. Namun, karena doktor
Universitas Michigan ini mengaku merasa begitu dekat dengan pribadi tokoh
utamanya, Setadewa, ia mencoba mengatasi kesulitan itu.
Dengan
sponsor Institut Australia-Indonesia, The Weaverbirds yang diterbitkan oleh
Yayasan Lontar itu diluncurkan dengan kemasan dan desain luks setebal 309
halaman. Maka, jika Anda membuka beberapa halaman pertama, tempat kedua wong
cilik tadi berbincang, Anda tak akan menemui perumpamaan wajah suami Mbok Naya
yang serupa dengan wajah Togog. Hunter -- dengan kebebasan penuh yang diberikan
Mangunwijaya -- menerjemahkan Togog menjadi the second-rate clown (badut kelas
dua). Padahal, Togog adalah nama seorang tokoh. Lalu, ingat, betapa lincahnya
Teto kecil bercerita tentang kegagahan bapaknya. "Sempurna dah! Asal Anda
jangan melihat wajah beliau. Benar-benar Jowu deh. Kayak penyapu pupuk-andong
dari Khemeente Makhelang ...." Di Weaverbirds, kalimat bandel ini berubah
menjadi "A sight of un- adulterated perfection! That is, as long as you
didn't look at his face. Because, no getting around it, he had a quintessential
Javanese look. He had, you know, the face of a streetsweeper ...."
Memang tidak mudah menerjemahkan kalimat-kalimat yang terdiri
dari berbagai bahasa ke dalam satu bahasa. Dan mungkin itu sebabnya tak mudah
pula ketika beberapa tahun silam Harry Aveling menerjemahkan karya Umar Kayam
dengan baik. Mangunwijaya memang tak perlu kecewa betul. "Terjemahan karya
sastra memang tidak ada yang sempurna, pasti ada saja lukanya," ujar
Mangunwijaya kepada Ajie Surya dari TEMPO.
Dan hilangnya nuansa-nuansa lokal tadi memang hampir tak
terelakkan. Jadi, Hunter belum sampai membuat luka yang bakalan membuat pembaca
membuang buku itu sebelum selesai. Sayangnya, Hunter menolak untuk menggunakan
catatan kaki dan lebih suka memberi keterangan langsung. Padahal, barangkali
cara yang efektif untuk memperkenalkan tokoh-tokoh wayang tanpa merusak kalimat
dialog adalah dengan menggunakan catatan kaki. Selain terdapat tiga halaman
glosari, Hunter juga suka menggunakan keterangan langsung di tengah-tengah
kalimatnya. Misal- nya "That everyone has within them a little of the
Pandawa and a little of the Kurawa, a little good and a little
evil."
Jadi, daripada memberi catatan kaki penjelasan tentang
Pandawa dan Kurawa, Hunter memilih untuk memberi penjelasan tambahan dalam
dialog itu bahwa Pandawa adalah kebaikan dan Kurawa adalah kejahatan. Bagi
Mangun, 62 tahun, itu agak mengganggu. Tapi ia mengakui bahwa apa yang
dilakukan Hunter adalah jalan yang dianggap paling bijaksana karena tokoh-tokoh
wayang itu tak mungkin dimengerti secara langsung oleh pembaca asing. Di mata
Mangun sendiri, Tom Hunter bukan sekadar mengerti bahasa Inggris dan bahasa
Jawa, tapi juga menyelami kebudayaan keduanya. Keberatan Mangunwijaya yang lain
adalah kata "tanah air" yang diterjemahkan Hunter menjadi home.
Mangunwijaya menganggap seharusnya kata itu diterjemahkan menjadi
fatherland. Tapi, menurut Romo Mangun, Hunter menganggap istilah
fatherland di Barat saat ini memiliki konotasi negatif, bombastis, dan tidak
disukai kaum feminis. "Tanah air atau fatherland (dalam roman tersebut)
itu kan diucapkan pada 1949, bukan 1990. Jadi, konteksnya harus tepat,"
ujarnya.
Bagi Hunter sendiri, proses penerjemahannya lancar-lancar
saja. Kepada TEMPO, ia mengaku hanya menemui kesulitan ketika mencoba menerjemahkan
terminologi Anak Kolong. "Ketika saya berhasil menemukan kata Army Brat,
setiap kata dan kisah di dalam buku itu saya terjemahkan dengan lancar."
Bagi Hunter, ketertarikannya terhadap novel tersebut bukan saja karena ia
melihat dirinya di dalam tokoh utamanya, tetapi juga karena kemampuan Mangun
mengaitkan keadaan jiwa seseorang dengan suasana alam di luar dirinya.
"Cara yang belum banyak digunakan penulis Indonesia," Hunter
mengungkapkan. Agaknya, Yayasan Lontar memilih Burung-burung Manyar sebagai
salah satu buku sastra yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris bukannya
tanpa alasan. Menurut Ketua Yayasan, Sapardi Djoko Damono, buku itu memang
salah satu karya sastra terbaik saat ini. Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1991/03/23/BK/mbm.19910323.BK13568.id.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar