Dalam
sahih Bukhari,
Rasulullah
saw. bersabda bahwa setelah kepergiannya akan ada dua belas pemimpin yang
bertugas untuk menjaga agama Islam. Beberapa ulama ahlusunah kesulitan untuk
menjelaskan maksud sabda tersebut,[1] sementara ada pula yang
memaksakan beberapa tokoh tidak layak, seperti Yazid, sebagai salah satu dari
dua belas pemimpin yang dimaksud. Syiah Imamiah[2] sejak awal yakin bahwa dua belas
orang yang dimaksud adalah para imam ahlulbait nabi saw.
Selama
ribuan tahun hingga kini, keyakinan tersebut membuat para pengikut mereka yang
disebut Syiah harus melewati permusuhan bahkan pembunuhan. Sejak dari Madinah
hingga Karbala,
mulai dari Manama hingga Sampang. Namun
tentu saja, apa yang dialami oleh para pengikut Syiah tidak akan pernah
sebanding dengan apa yang dialami oleh para imam Syiah. Para imam ahlulbait
tersebut tidak hanya mengalami perlawanan secara fisik—dalam catatan sejarah,
sebelas imam ahlulbait dibunuh—tapi yang lebih penting adalah perlawanan
terhadap risalah Islam Muhammadi yang mereka sampaikan.
Tulisan
Syekh Ali Agha-Nuri[3] berikut ini menjelaskan
perjalanan kondisi Syiah di masa para imam ahlulbait, yang sejarahnya tidak
hanya penting bagi para pengikut Syiah sendiri, tapi juga bagi para kelompok
yang anti terhadap Syiah. Hal tersebut
dikarenakan dalam tulisan ini juga akan dijelaskan tentang bagaimana Syiah
terpecah menjadi beberapa golongan—yang di antaranya keluar dari garis
keislaman—serta munculnya riwayat-riwayat ganjil yang sering kali digunakan
oleh kelompok anti-Syiah untuk menertawakan Syiah.
Berbagai
bentuk tekanan politik
Kehidupan
para imam Syiah merupakan batu sandungan bagi banyak khalifah Umayyah
dan Abbasiah yang berusaha untuk menjaga kekuatan politik mereka. Beragam cara
dilakukan mulai dari ancaman, pembunuhan, hingga menciptakan kelompok-kelompok
yang nantinya menyebabkan perbedaan ideologi di masyarakat Islam. Beberapa
metode yang mereka lakukan, antara lain:
Melenyapkan
dan mengusik para ulama dan orang-orang yang menentang khalifah baik secara
politik maupun pemikiran.
Mempromosikan
berbagai pendapat teologi tentang takdir; menentang kelompok Qadriyyah; dan
memperkuat ideologi Murjiah.
Menyatakan
bahwa adu pendapat sama saja dengan kekafiran dan merupakan sebuah perbuatan
buruk; lebih dari itu, mereka menghancurkan ruang adu pendapat.
Menciptakan
kebiasaan (sunah) baru dan mengkultuskan sunah para sahabat.
Menempa
riwayat tentang kebaikan para khalifah, memperkuat pondasi kekhalifahan, dan
menciptakan sunah palsu.
Melawan
ahlulbait
dan pengikutnya dengan gigih serta menciptakan kelompok-kelompok di antara
mayoritas Syiah.
Dinasti
Umayyah dan Abbasiah menganggap Syiah sebagai musuh ideologi-politik terbesar.
Syiah pun terpecah ke dalam beberapa kelompok seperti Fatimi, Kisani, Zaidi, Ismaili, Waqifi, Qa’ti, dan lainnya yang
terpisah dari jalan Syiah Dua Belas Imam. Akibat dari kebijakan dinasti
yang dialami oleh ahlulbait dan pengikutnya pada masa itu dapat disimpulkan
dari ucapan Imam
Baqir dan pidato Zaid bin Ali. Imam mengatakan, para pengikut
ahlulbait berada dalam tekanan yang sedemikian rupa, sehingga pada masa itu,
seorang zindik atau kafir akan lebih aman dibandingkan seorang pengikut Syiah.
Tekanan
yang dialami oleh para Imam Syiah dan pengikutnya—khususnya pada masa
Abbasiah—memaksa mereka untuk melakukan taqiyah. Para imam juga sedemikian
ditekan sehingga mereka tidak mampu secara efektif untuk menguasai para
pengikutnya yang tersebar di berbagai daerah. Hal tersebut juga menyebabkan
beberapa hal, seperti:
Terbentuknya
berbagai kelompok di antara Syiah sejati. Terbentuknya dua cabang dari para sayid
Alawi: Hasani dan Husaini. Kebingungan di kalangan para sahabat imam terkait
karakteristik dan identitas imam yang sebenarnya. Rencana-rencana klaim sebagai
Mahdi
dan keabadian para imam.
Perpecahan
tersebut juga menciptakan persaingan hebat di kalangan internal
Syiah. Menurut Nawbakhti, peneliti kelompok Syiah paling masyhur, setiap
kelompok Syiah, atau kelompok-kelompok yang dinisbatkan dengan Syiah, akan
menganggap kelompok Syiah lainnya sebagai kafir, musyrik, dan halal untuk dibunuh.
Kemunculan
Kelompok Ekstrimis dan Ghulat
Gerakan
ekstrimisme dan ghulat merupakan salah satu gerakan paling sulit dan
berbahaya yang dihadapi oleh para imam Syiah. Citra negatif yang muncul dari
kelompok ini terlihat dari perlawanan para imam terhadap ideologi ini. Kelompok
ini sangat berbahaya karena mereka menganggap diri mereka sendiri sebagai
pendukung ahlulbait.
Mereka bahkan melekatkan sifat-sifat yang tidak layak kepada para imam.
Perbuatan
dan ucapan kelompok ghulat ini telah merusak citra para imam dan Syiah
di kalangan awam. Tapi gerakan ini tidak dapat dijelaskan secara tepat
karena perbedaan pendapat di kalangan ulama Syiah tentang esensi dan bentuk ghulat
dan pernyataan berlebihan dari para ulama anti-Syiah tentang jumlah kelompok
Syiah dan Syiah ghulat. Misalnya, perbedaan ulama Qom—seperti
Syekh Shaduq—dan ulama Baghdad—seperti Syekh Mufid—terkait dengan karakteristik
agung para nabi dan imam. Kedua kelompok ini juga memiliki kriteria tersendiri
untuk menentukan apa sebuah kelompok dianggap ghulat atau tidak.
Namun
para imam Syiah sangat sensitif terhadap para kelompok ghulat. Misalkan,
Imam Sajjad a.s. pernah berkata, “Jika
sekelompok dari Syiah kami begitu mencintai kami sehingga mereka berkata
tentang kami sebagaimana kaum Yahudi berkata tentang Uzair dan kaum
Kristiani berkata tentang Yesus putra Mariam, maka mereka bukanlah dari kami
dan kami bukanlah dari mereka.”
Pemalsuan,
infiltrasi, dan distorsi riwayat
Kontradiksi
dan ambiguitas dalam riwayat; tidak adanya penjelasan kondisi yang disebutkan
dalam riwayat; dan yang lebih penting, kejahatan pemalsuan riwayat telah
menciptakan kebingungan beberapa pengikut tentang realitas tugas dan kewajiban agama. Wajar jika para imam tidak dapat
menjadi sangat aktif dan bebas terhadap (penjagaan) riwayat, yang merupakan
penjelas Quran dan pengurai agama. Hal ini dikarenakan lingkungan politik dan
teologis dari taqiyah yang ada masa itu.
Paling
penting adalah bahwa pemalsuan, infiltrasi, dan distorsi riwayat ini dibenarkan
oleh para imam. Masalah-masalah penisbatan riwayat kepada para imam, sekalipun
di masa kehidupan mereka, tidak dapat diabaikan. Imam Jafar
berkata, “Janganlah kalian menerima sebuah riwayat atas nama kami kecuali ia
sesuai dengan Quran dan sunah atau jika kalian mendapati riwayat kami
sebelumnya yang membenarkan hal tersebut…” Imam Ridha juga berkata,
“Janganlah kalian menerima sebuah riwayat atas nama kami yang bertentangan
dengan Quran, karena kapanpun kami mengatakan sesuatu maka ia akan sesuai
dengan Quran dan sunah…”
Tapi
pada periode-periode berikutnya, melalui usaha tak kenal lelah para imam dan
sahabatnya begitu juga dengan para muhadis dan teolog Syiah, riwayat yang benar
dapat dibedakan dari riwayat-riwayat yang batil. Meski demikian, banyak para
ulama senior Syiah yang percaya bahwa seseorang tidak dapat membaca kitab-kitab
riwayat Syiah dan tafsir Qurannya jika tidak memiliki ketenangan pikiran yang
sempurna.
Pustaka
[1]
^ Ibnu Al-’Arabi dalam Syarh Shahîh
Attirmidzî mengatakan, “Saya tidak memahami makna hadis
ini.” Sementara Ibnu Hajar dalam Fath Albâri menyatakan,
“Tidak seorang pun mengerti tentang hadis ini. Tidak benar jika dikatakan bahwa
kehadiran mereka pada waktu yang bersamaan.”
[2]
^ Syiah yang dimaksud dalam tulisan
dan blog ini secara umum, merujuk pada Syiah Dua Belas Imam atau Jafari. Bukan
kelompok lain yang kemudian dinisbatkan kepada Syiah.
[3] ^ Ali Agha-Nuri. “The Shia Imams and
Muslim Unity.” Al-Taqrîb: A Journal of Islamic Unity. Number 7. Nov
2010. The World Forum for Proximity of Islamic Schools of Thought.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar