Oleh Subagio Sastrowardoyo
KALAU kesusastraan boleh dianggap mencerminkan
kehidupan, maka di dalam karya sastra yang besar kehidupan itu terbayang dengan
beragam dan penuh. Seperti di dalam kehidupan yang nyata, di dalam karya sastra
demikian susahlah menunjukkan dengan tepat, mana tema yang mengandung inti
masalah yang mengalirkan semua kejadian. Kejadian-kejadian itu bersegi dan
berseluk-beluk seakan-akan tidak menuruti pola tertentu. Tetapi bagaimanapun
juga tetap terasa bersumber pada ilham pikiran yang pokok.
Burung-burung Manyar karangan Y. B. Mangunwijaya, 52 tahun,
dapat dimasukkan kategori roman percintaan. Di dalamnya ditonjolkan kisah cinta
antara kedua tokoh utamanya, Teto dan Atik. Dapat juga karya itu digolongkan
roman sejarah. Sebab, dengan jelasnya mempertalikan kejadian-kejadian dengan
zaman perjuangan kemerdekaan, dan Teto berperan sebagai serdadu KNIL.
Barangkali dapat juga disebut roman itu bertendens kritik sosial dengan
menunjuk pada kecaman Teto, atau pengarangnya sendiri, terhadap tingkah-laku
bangsa Indonesia yang kurang senonoh. Atau mungkin juga kita menamakannya roman
filsafat dengan melihat kepada kesim, pulan-kesimpulan pikiran Atik mengenai
determinisme dan kemauan bebas. Berbau Jepang Tapi setiap kali kita mencoba
memasukkannya ke dalam kategori-kategori yang ada atau mengenakan kepadanya
pensifatan-pensifatan yang khusus, kita cenderung salah raba.
Kehidupan di dalam roman Mangunwijaya ini menampilkan berbagai segi pengalaman dan arah pikiran, yang masing-masing menuntut perhatian. Toh, setelah kita berhasil menyibakkan gelombang kejadian-kejadian yang beriak-riak itu, maka kita akan mendapatkan lubuk cerita. Pada intinya roman ini ternyata berpangkal pada suatu archetype, suatu acuan purba cerita yang berulang muncul sebagai tema sastra. Tema itu berasal dari sebuah tamsil dalam surat Injil tentang anak yang mursal. Ia telah meninggalkan rumah orangtuanya dan membuang-buang harta kekayaannya di rantau. Tetapi ia akhirnya sadar akan perbuatannya yang salah dan kembali ke kampung. Ayahnya menyambutnya dengan acara penghormatan yang melimpah. Sebab, menurut tamsil itu, orang yang berdosa dan kemudian tobat patut diterima dengan rahab dan sukacita, bahkan juga surga akan terbuka baginya.
Di dalam Burung-burung Manyar anak mursal itu adalah Setadewa, dengan nama panggilan Teto atau Leo. Pada bagian roman akhir Teto sendiri mengakui, bahwa dia anak mursal "yang lari dari rumah." Sebelum sadar akan perbuatannya yang salah, Teto dengan suka rela masuk tentara kolonial Belanda, KNIL. Ia memerangi bangsanya sendiri yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan kembali pemerintahan Belanda. Pilihan Teto untuk berpihak pada musuh didorong oleh bencinya pada segala yang berbau Jepang -- termasuk pemimpin dan rakyat Indonesia yang dilihatnya membantu dan kerjasama dengan pemerintahan militer Jepang. Ia ingin membalas dendam. Bapaknya yang tertangkap oleh Kenpeita/tidak kembali. Dan ibunya terpaksa mau menjadi gundik opsir Jepang, untuk mencegah suaminya jangan dihukum bunuh. Dendam dan benci itu justru menjadi pangkal penderitaan batin Teto selama perang kemerdekaan.
Karena berada pada pihak Belanda, dia tidak dapat melangsungkan pertalian cintanya dengan Larasati atau Atik. Wanita ini berjiwa nasionalis dan menjadi pembantu khusus Perdana Menteri Syahrir. Pertarungan dalam diri Teto antara benci kepada bangsanya sendiri dan cintanya kepada seorang wakil dari bangsa itu, menyebabkan dia makin merasa penasaran dan berbuat kalap. Memang, berbagai situasi di dalam suasana perang itu mengingatkan dia akan kebenaran cita-cita perjuangan bangsa Indonesia. Tetapi desakan hendak membalas dendam masih meneguhkan pendiriannya yang cenderung goyah.
Lebih Luas & Dalam
Sementara Atik, di tengah kesibukannya membantu perbekalan di garis depan, sering tercenung dalam perenungan. Dia sadar, kekasihnya terlalu terjerat oleh gagasan abstraksi tentang yang disebut penguasa Jepang, pihak Belanda atau bangsa Indonesia. Kesalahan harusnya dilemparkan kepada individu yang berbuat keji, bukan kepada bangsa. Atik pun kehilangan bapaknya -- tertembak oleh kapal terbang Belanda. Tetapi ia tidak menaruh benci kepada bangsa itu. Tambahan lagi, pertikaian manusia yang sedang berlaku di negerinya diharapkannya jangan bertujuan kalah atau menang. Melainkan, harmoni, keselarasan. Perkelahian dan perbantahan seharusnya teremban dalam cinta. Dengan demikian akan berlangsung dialog, bukan dialektika.
Cerita roman ini disangkutkan pada peristiwa sejarah yang kongkrit dan faktual. Yakni, perjuangan senjata dan diplomasi antara bangsa Belanda dan Indonesia di zaman perang kemerdekaam Kemudian, pada suasana kehidupan yang sungguh ada di zaman kemerdekaan. Cuma kejadian-kejadian lebih banyak berlangsung dalam alam pikiran dan batin tokoh-tokohnya. Peristiwa-peristiwa permukaan, seperti serbuan tentara Belanda ke Yogya atau adegan-adegan percakapan rupanya hanya berfungsi sebagai pencetus saja bagi terbitnya berbagai gagasan, kenangan dan renungan. Gayanya mendekati gaya Armijn Pane dalam roman Belenggu. Tetapi Burung-burung Manyar mempunyai daya lintas pikiran lebih luas dan dalam.
Di dalam roman ini bukanlah pertikaian suami-istri dalam semacam perang perlawanan seks yang kita ikuti gaungnya da lam kehidupan batin para anggota rumah tangga itu. Melainkan peristiwa perang bersejarah dan kondisi goyah bangsa yang baru merdeka, yang hendak dicerna maknanya oleh tokoh-tokoh utama yang terlibat di dalamnya. Masing-masing kepada bangsanya. Hakikat kemenangan dan kekalahan. Masalah situasi yang mengharuskan, dan kebebasan memilih. Pertalian ikatan kolektivitas dan kepentingan pribadi. Perbedaan antara kuantitas dan kualitas kehidupan. Makna seksualitas dan penjagaan keturunan. Perihal kegagalan dan kelestarian. Gagasan-gagasan mereka menyentuh pertanyaan-pertanyaan dasar kehidupan di balik kejadian-kejadian khusus yang mereka hadapi.
Berdarah Indo
Kehidupan di dalam roman Mangunwijaya ini menampilkan berbagai segi pengalaman dan arah pikiran, yang masing-masing menuntut perhatian. Toh, setelah kita berhasil menyibakkan gelombang kejadian-kejadian yang beriak-riak itu, maka kita akan mendapatkan lubuk cerita. Pada intinya roman ini ternyata berpangkal pada suatu archetype, suatu acuan purba cerita yang berulang muncul sebagai tema sastra. Tema itu berasal dari sebuah tamsil dalam surat Injil tentang anak yang mursal. Ia telah meninggalkan rumah orangtuanya dan membuang-buang harta kekayaannya di rantau. Tetapi ia akhirnya sadar akan perbuatannya yang salah dan kembali ke kampung. Ayahnya menyambutnya dengan acara penghormatan yang melimpah. Sebab, menurut tamsil itu, orang yang berdosa dan kemudian tobat patut diterima dengan rahab dan sukacita, bahkan juga surga akan terbuka baginya.
Di dalam Burung-burung Manyar anak mursal itu adalah Setadewa, dengan nama panggilan Teto atau Leo. Pada bagian roman akhir Teto sendiri mengakui, bahwa dia anak mursal "yang lari dari rumah." Sebelum sadar akan perbuatannya yang salah, Teto dengan suka rela masuk tentara kolonial Belanda, KNIL. Ia memerangi bangsanya sendiri yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan kembali pemerintahan Belanda. Pilihan Teto untuk berpihak pada musuh didorong oleh bencinya pada segala yang berbau Jepang -- termasuk pemimpin dan rakyat Indonesia yang dilihatnya membantu dan kerjasama dengan pemerintahan militer Jepang. Ia ingin membalas dendam. Bapaknya yang tertangkap oleh Kenpeita/tidak kembali. Dan ibunya terpaksa mau menjadi gundik opsir Jepang, untuk mencegah suaminya jangan dihukum bunuh. Dendam dan benci itu justru menjadi pangkal penderitaan batin Teto selama perang kemerdekaan.
Karena berada pada pihak Belanda, dia tidak dapat melangsungkan pertalian cintanya dengan Larasati atau Atik. Wanita ini berjiwa nasionalis dan menjadi pembantu khusus Perdana Menteri Syahrir. Pertarungan dalam diri Teto antara benci kepada bangsanya sendiri dan cintanya kepada seorang wakil dari bangsa itu, menyebabkan dia makin merasa penasaran dan berbuat kalap. Memang, berbagai situasi di dalam suasana perang itu mengingatkan dia akan kebenaran cita-cita perjuangan bangsa Indonesia. Tetapi desakan hendak membalas dendam masih meneguhkan pendiriannya yang cenderung goyah.
Lebih Luas & Dalam
Sementara Atik, di tengah kesibukannya membantu perbekalan di garis depan, sering tercenung dalam perenungan. Dia sadar, kekasihnya terlalu terjerat oleh gagasan abstraksi tentang yang disebut penguasa Jepang, pihak Belanda atau bangsa Indonesia. Kesalahan harusnya dilemparkan kepada individu yang berbuat keji, bukan kepada bangsa. Atik pun kehilangan bapaknya -- tertembak oleh kapal terbang Belanda. Tetapi ia tidak menaruh benci kepada bangsa itu. Tambahan lagi, pertikaian manusia yang sedang berlaku di negerinya diharapkannya jangan bertujuan kalah atau menang. Melainkan, harmoni, keselarasan. Perkelahian dan perbantahan seharusnya teremban dalam cinta. Dengan demikian akan berlangsung dialog, bukan dialektika.
Cerita roman ini disangkutkan pada peristiwa sejarah yang kongkrit dan faktual. Yakni, perjuangan senjata dan diplomasi antara bangsa Belanda dan Indonesia di zaman perang kemerdekaam Kemudian, pada suasana kehidupan yang sungguh ada di zaman kemerdekaan. Cuma kejadian-kejadian lebih banyak berlangsung dalam alam pikiran dan batin tokoh-tokohnya. Peristiwa-peristiwa permukaan, seperti serbuan tentara Belanda ke Yogya atau adegan-adegan percakapan rupanya hanya berfungsi sebagai pencetus saja bagi terbitnya berbagai gagasan, kenangan dan renungan. Gayanya mendekati gaya Armijn Pane dalam roman Belenggu. Tetapi Burung-burung Manyar mempunyai daya lintas pikiran lebih luas dan dalam.
Di dalam roman ini bukanlah pertikaian suami-istri dalam semacam perang perlawanan seks yang kita ikuti gaungnya da lam kehidupan batin para anggota rumah tangga itu. Melainkan peristiwa perang bersejarah dan kondisi goyah bangsa yang baru merdeka, yang hendak dicerna maknanya oleh tokoh-tokoh utama yang terlibat di dalamnya. Masing-masing kepada bangsanya. Hakikat kemenangan dan kekalahan. Masalah situasi yang mengharuskan, dan kebebasan memilih. Pertalian ikatan kolektivitas dan kepentingan pribadi. Perbedaan antara kuantitas dan kualitas kehidupan. Makna seksualitas dan penjagaan keturunan. Perihal kegagalan dan kelestarian. Gagasan-gagasan mereka menyentuh pertanyaan-pertanyaan dasar kehidupan di balik kejadian-kejadian khusus yang mereka hadapi.
Berdarah Indo
Menarik adalah bentuk aku yang dipakai pengarang dalam bab-bab
yang memusatkan perhatian pada tokoh Teto -- seakan-akan untuk menegaskan
keakuannya yang menonjol. Sedang dalam bab-bab yang mengenai tokoh-tokoh lain
dipergunakan bentuk dia dan mereka. Rupanya untuk menyarankan kepada ikatan
kolektivitas masyarakat yang berhadapan dengan Teto, yang mursal. Perang batin dalam
diri Teto baru mendapat penyelesaian kemudian di zaman merdeka, waktu ia
mendapat kesempatan menengok ke Yogya dan bertemu dengan Atik. Di dalam karya
sastra yang bernilai hampir tidak kentara batas tegas antara lambang dan bukan
lambang. Gejala-gejala dapat berdiri sendiri dan berperan sebagai unsur dalam
kesatuan cerita. Tetapi bisa sekaligus menyaran untuk ditafsirkan lebih dalam
daripada yang nampak pada permukaan.
Pencarian Teto kepada Papi dan Maminya memanglah bagian dari alur cerita. Tetapi di balik itu menunjuk kepada makna pencarian pada identitas dirinya. Ayahnya adalah seorang bangsawan Jawa yang mengharapkan kembalinya kekuasaan pemerintahan Belanda. Ibunya berdarah Indo, jadi tak sepenuhnya Indonesia. Orang tuanya yang hilang dan dicali itu akan memberinya jawaban tentang identitasnya yang sebenarnya. Juga kata-kata ibunya yang diulang-ulang waktu dirawat di rumah sakit jiwa: "Ya, segala telah kuberikan. Tetapi mereka mengingkari janji." Kata-kata itu boleh ditafsirkan sebagai penyesalan terhadap orang Jepang yang tidak mau menyelamatkan Jiwa suaminya, sesudah la menyerahkan dirinya sebagai gundik. Tetapi boleh juga berarti gugatan kepada Teto yang hanya mementingkan diri sendiri dan tidak mau menyatu dengan bangsanya sendiri. Atau juga tuduhan terhadap bangsa Indonesia yang tidak mau memperbaiki kualitas kehidupannya setelah diberi infusi budaya Eropah.
Lambang-lambang cenderung punya makna berganda. Sebagai Jembatan Pun nama-nama dalam roman ini menyaran kepada makna yang lebih dalam. Nama Kramat, baik bagi tempat tinggal Atik di Jakarta maupun bagi tempat rumah sakit jiwa ibunya di Magelang, memaksa kita berspekulasi tentang arti nama itu. Bagi Teto rupanya kedua tempat itu sama "keramat" artinya bagi petualangannya mencari keteduhan rumah bagi jiwanya. Juga nama Verbruggen, komandan Teto dalam KNIL. Nama itu memberi perlambangan kepada tugasnya sebagai jembatan atau brug (Belanda) di dalam pencarian jejak ibu Teto, juga jembatan bagi pengertian antara jiwa Bclanda dan Indonesia. Lalu bukankah nama Larasati mencerminkan cita-cita wanita itu yang menghendaki harmoni atau keselarasan? Arti harafiah Setadewa adalah Dewa Putih. Rupanya nama itu petunjuk bagi keradikalannya yang tulus dalam mempertahankan yang dianggapnya benar. Dan juga sebagai jiwa luhur orang yang sudah tobat, dan surga pun terbuka baginya.
Karya sastra yang besar selalu menghimbau angan-angan kita untuk bergerak dengan leluasa di dalam ruang jagatnya. Untuk menemukan makna bagi kehidupan kita sendiri. Burung-burung Manyar telah sanggup memberikan makna itu. Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1981/08/22/BK/mbm.19810822.BK49950.id.html
Pencarian Teto kepada Papi dan Maminya memanglah bagian dari alur cerita. Tetapi di balik itu menunjuk kepada makna pencarian pada identitas dirinya. Ayahnya adalah seorang bangsawan Jawa yang mengharapkan kembalinya kekuasaan pemerintahan Belanda. Ibunya berdarah Indo, jadi tak sepenuhnya Indonesia. Orang tuanya yang hilang dan dicali itu akan memberinya jawaban tentang identitasnya yang sebenarnya. Juga kata-kata ibunya yang diulang-ulang waktu dirawat di rumah sakit jiwa: "Ya, segala telah kuberikan. Tetapi mereka mengingkari janji." Kata-kata itu boleh ditafsirkan sebagai penyesalan terhadap orang Jepang yang tidak mau menyelamatkan Jiwa suaminya, sesudah la menyerahkan dirinya sebagai gundik. Tetapi boleh juga berarti gugatan kepada Teto yang hanya mementingkan diri sendiri dan tidak mau menyatu dengan bangsanya sendiri. Atau juga tuduhan terhadap bangsa Indonesia yang tidak mau memperbaiki kualitas kehidupannya setelah diberi infusi budaya Eropah.
Lambang-lambang cenderung punya makna berganda. Sebagai Jembatan Pun nama-nama dalam roman ini menyaran kepada makna yang lebih dalam. Nama Kramat, baik bagi tempat tinggal Atik di Jakarta maupun bagi tempat rumah sakit jiwa ibunya di Magelang, memaksa kita berspekulasi tentang arti nama itu. Bagi Teto rupanya kedua tempat itu sama "keramat" artinya bagi petualangannya mencari keteduhan rumah bagi jiwanya. Juga nama Verbruggen, komandan Teto dalam KNIL. Nama itu memberi perlambangan kepada tugasnya sebagai jembatan atau brug (Belanda) di dalam pencarian jejak ibu Teto, juga jembatan bagi pengertian antara jiwa Bclanda dan Indonesia. Lalu bukankah nama Larasati mencerminkan cita-cita wanita itu yang menghendaki harmoni atau keselarasan? Arti harafiah Setadewa adalah Dewa Putih. Rupanya nama itu petunjuk bagi keradikalannya yang tulus dalam mempertahankan yang dianggapnya benar. Dan juga sebagai jiwa luhur orang yang sudah tobat, dan surga pun terbuka baginya.
Karya sastra yang besar selalu menghimbau angan-angan kita untuk bergerak dengan leluasa di dalam ruang jagatnya. Untuk menemukan makna bagi kehidupan kita sendiri. Burung-burung Manyar telah sanggup memberikan makna itu. Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1981/08/22/BK/mbm.19810822.BK49950.id.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar