Label

Kamis, 14 Januari 2016

Kegagalan Operasi Barbarossa


Oleh GIOVANIRONI JEREMY

Banyak orang menganggap operasi Barbarossa (1941) adalah salah satu operasi paling fenomenal yang pernah ada. Namun, tak sedikit yang mengklaim ini menjadi salah satu blunder terbesar yang dilakukan oleh Hitler semasa perang dunia II. Benarkah demikian? Bukankah Hitler memang berniat menginvasi Soviet sejak awal? Namun atas dasar pikiran apa mereka melabelkannya sebagai blunder? Pernyataan dibawah akan menjawabnya.

MISKALKULASI KEKUATAN SOVIET
Komando Tinggi Jerman pada masa itu mengkalkulasikan jumlah pasukan Soviet (Rusia saat ini) yang dimobilisasi pada akhir 1941, sebanyak 825 divisi dalam jumlah total[1] dan kemudian meningkat mencapai total 10 juta prajurit[2]. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bahwa Soviet tak pernah kehabisan pasukan. Sehingga sebanyak apapun Jerman menghabisi tentara Soviet (bahkan tercatat sampai 3 juta tawanan), tetap tidak berpengaruh dalam kekuatan pasukan Grand Army yang masih memiliki 7 juta prajurit. Disinilah miskalkulasi fatal itu dilakukan. Dalam pertempuran, Soviet sukses mengatur ulang defense of Moscow dengan sisa pasukannya, namun Jerman tidak pernah bisa mengatur ulang jumlah pasukannya, dikarenakan Army Group Center bahkan tidak menyentuh angka 100.000 tentara.

SMOLENSK, BATU LONCATAN ATAU BATU SANDUNGAN?
Banyak yang bilang bahwa pertempuran di kota ini merupakan bagian utama dari awal kehancuran seluruh Operasi Barbarossa. Nah, klaim ini secara total saya tolak jika faktanya didasari oleh masalah Logistik.        

MENGAPA?
Pada saat menghadap ke Smolensk, 2nd dan 3rd Panzer Army (Jerman) menghadapi sekitar 6 kesatuan yang menyerang ke arah mereka dengan total 700 tank. Untunglah skuadron udara pimpinan Marsekal Kesselring cepat tanggap dan melakukan serangan balik, sehingga hampir dari seluruh kekuatan penyerang Soviet musnah. Namun serangan penjepit dari dua arah yang kemudian dilakukan oleh kedua Panzer Army tetap gagal untuk menjaring seluruh armada Soviet. Dan sekitar 100.000 pasukan Soviet meloloskan diri dari kepungan Jerman. Pada saat ini, Hitler sudah kehilangan kepercayaan untuk memaksa Rusia menyerah, dan memerintahkan serangan total.[3]

PENGHANCURAN INDUSTRI RUSIA
Ada beberapa orang berkata, Jerman tidak ingin menghancur leburkan seluruh industri Russia karena mereka tidak ingin memulai dari nol. Hal ini jelas dikemukakan oleh para pembela Hitler. Adalah nonsense atau omong kosong yang luar biasa konyol jika hal ini diperdebatkan. Sebelumnya sudah dikatakan bahwa Hitler berniat menghancurkan seluruh Soviet dengan serangan total. Karena itu dia melakukan pengepungan di Leningrad dan serangan besar-besaran di Stalingrad. Sebelumnya, Hitler memerintahkan serangan langsung ke Leningrad, dimana pada saat tersebut, ternyata korban jiwa dipihak Jerman meningkat, dan kemajuan pasukan hanya 10 km. Sehingga akhirnya Hitler memerintahkan pengepungan besar-besaran di Leningrad yang akan bertahan selama 900 hari kedepan.

Dan selama pengepungan tersebut, Jerman banyak menjatuhkan bom di wilayah tengah kota Leningrad, yang apalagi maksudnya kalau bukan menghabisi kemampuan industri Soviet.[4]

Stalingrad kemudian menjadi bukti berikutnya. Bagaimana mungkin kota yang dihancur-leburkan dari semua arah, siang malam, dengan berbagai jenis bomber, tidak menghancurkan sisi industrinya? Namun, bukanlah Industri yang diincar Jerman di Stalingrad. Melainkan lambang kota tersebut (“Stalin-grad” kotanya Stalin) sebagai lambang moral Pasukan Utama Soviet. Walau begitu, pertempuran di kota ini menjadi pertempuran paling brutal sepanjang front timur Perang Dunia II. Terutama semenjak Friedrich Paulus dan seluruh 6th Army masuk ke kota tersebut. Hancur leburnya seluruh infrastruktur kota dan jalur-jalur kereta api dalam kota kemudian melumpuhkan seluruh Stalingrad, baik tepi barat maupun timur sungai Volga.

CUACA
Inilah faktor terpenting dari seluruh kehancuran operasi Barbarossa. Simpel memang, tapi mematikan. Pada saat operasi Typhoon yang dilakukan untuk menyerang Moscow setelah Kiev dan Kharkhov ditaklukkan, adalah cuaca ekstrim (-6 derajat Celsius) yang memaksa pasukan Jerman berhenti bergerak. Hujan yang terus turun membuat jalanan berubah menjadi lumpur dan menyulitkan pergerakan kendaraan tempur, terutama Tank.

Para Jenderal Jerman mulai membandingkan Operasi ini dengan nasib yang menimpa Napoleon Bonaparte saat menginvasi Rusia pada tahun 1812. Cuacalah yang menghentikan mereka.[5] Rencana Hitler sudah gagal total, dan bukanlah sebuah hal yang di besar-besarkan jika itu semua karena kegagalan Grand Army menyelesaikan tugasnya sebelum musim dingin datang. Bahkan ketika musim dingin tersebut akhirnya tiba, tak satupun pasukan Jerman yang dibekali dengan pakaian musim dingin sehingga mereka terpaksa membakar bahan supply yang dalam keadaan menipis untuk sekedar menghangatkan badan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan supply logistic habis seketika.[6]

Bahkan ketika Marsekal Kesselring dan skuadron udaranya kembali dari Afrika dan berusaha mendrop supply di posisi Jerman, kembali mereka mengalami kegagalan akibat cuaca buruk.

Akhirnya musim semi pun tiba. Namun, bukannya mempermudah situasi bagi Jerman, kembali malapetaka yang mereka dapat. Sekali lagi curah hujan intensif yang membanjiri tanah Soviet membuat jalanan menjadi lumpur dan membuat berbagai tank Jerman yang kebanyakan Pz. III dan Tiger mengalami kemacetan di bagian as roda. Hal ini membuat pertempuran berubah menjadi Man vs Man, Rifle vs Rifle, Bayonet vs Bayonet. Hal tersebut tak bertahan lama, sebelum akhirnya Soviet sukses menemukan Tank yang berguna disegala cuaca, yaitu T-34 dan KV-1. Kedua jenis tank ini mampu tetap berjalan walau berada dalam situasi Hujan lebat maupun hujan salju. Dan tank-tank ini yang kemudian menjadi kunci dari pelaksanaan Operasi Bagration yang sukses menghentikan seluruh Operasi Barbarossa dan memukul mundur Jerman hingga ke Berlin dalam waktu setahun.


CATATAN:
[1] Glantz, David. The Soviet-German War:Myth and Realities: Asurvey essay
[2] Glantz, David. Barbarossa Derailed : The Battle for Smolensk Vol.2 Hal.27
[4] Glantz & House 1995, Hal.77
[5] Diary Jenderal Gunther Blumentritt, salah seorang field commander di operasi Typhoon

[6] Sumber dari paper yang ditulis oleh US Army Combat Studies Institute mengenai Operasi Barbarossa tahun 1981