Label

Rabu, 30 April 2014

Khutbah Imam Ali Bin Abi Thalib As tentang Asy’ats Ibn Qais


Keitka itu Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib As sedang menyampaikan ceramah di mimbar ketika Asy’ats ibn Qais[i] menyatakan keberatan seraya berkata, “Hai Amirul Mukminin, hal ini tidak bagi Anda melainkan terhadap Anda.”[ii] Amirul Mukminin melihat kepadanya seraya berkata: “Bagaimana Anda mengetahui apa yang bagi saya dan apa yang terhadap saya? Kutukan Allah dan yang lain-lainnya atas Anda. Anda penenun dan anak dari penenun. Anda anak seorang kafir dan Anda sendiri seorang munafik. Anda pernah ditawan oleh kaum kafir dan sekali oleh kaum Muslim, tetapi kekayaan dan asal-usul Anda tak dapat menyelamatkan Anda dari keduanya. Orang yang berusaha agar kaumnya menjadi umpan pedang, dan mengundang maut dan kehancuran bagi mereka, pantas dibenci kerabat dekat, dan kerabat yang jauh tidak akan mempercayainya”.

Sayid Radhi mencatat bahwa orang ini pernah ditawan ketika dia masih kafir dan juga ketika dia sudah masuk Islam. Tentang kata-kata Amirul Mukminin bahwa orang itu menjerumuskan kaumnya sendiri untuk dipancung, itu berkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada Asy’ats ibn Qais dalam pertarungan dengan Khalid ibn Watid di Yamamah, di mana ia menipu kaumnya dan membuat siasat licik sampai Khalid menyerang mereka. Setelah kejadian itu kaumnya menjulukinya Urfun-Naar dalam dialek mereka berarti pengkhianat.

*****
[i] Nama aslinya Ma’di Karib, laqab-nya Abu Muhammad. Tetapi, karena rambutnya yang acak-acakan, ia lebih dikenal sebagai al-Asy’ats (si rambut acak). Setelah pengutusan Nabi, ketika ia ke Makkah bersama sukunya, Nabi meng-undang dia dan sukunya untuk menerima Islam. Namun, mereka semua berpaling tanpa seorang pun masuk Islam. Setelah Hijrah, ketika Islam telah mapan dan jaya, dan wakil-wakil mulai berdatangan ke Madinah dalam jumlah besar, ia pun datang menghadap Nabi bersama Bani Kindah, dan menerima Islam. Penulis Al-lsti’ab mengatakan bahwa setelah wafatnya Nabi, orang ini berpaling lagi jadi kafir; tetapi, di masa Khalifah Abu Bakar, ketika Abu Bakar ia dibawa kembali ke Madinah sebagai tawanan, ia menerima Islam lagi, walau kini pun Islamnya hanya pura-pura. Demikianlah, Syekh Muhammad ‘Abduh menulis dalam syarahnya tentang Nahjul Balaghah,

“Sebagaimana ‘Abdullah ibn ‘Ubay ibn Salul adalah sahabat Nabi, al-Asy’ats adalah sahabat ‘Ali, dan keduanya adalah orang munafik kelas tinggi.”

la kehilangan sebelah matanya dalam perang Yarmuk. Ibn Qutaibah memasukkannya ke dalam daftar orang yang bermata satu. Saudara perempuan Abu Bakar, Umm Farwah binti Abi Quhafah, janda al-Azdi dan kemudian istri Tarrum ad-Darimi, kawin ketiga kalinya dengan al-Ays’ats ini. Tiga putra lahir darinya, yakni Muhammad, Isma’il dan Ishaq. Menurut buku-buku biografi, istrinya itu pun bermata satu. Ibn Abil Hadid mengutip pernyataan berikut ini dari Abul Faraj di mana orang ini nampak terlibat dalam pembunuhan Ali a.s.,

“Pada malam pembunuhan itu Ibn Muljam datang kepada Asy’ats ibn Qais dan keduanya menyendiri ke sudut mesjid lalu duduk di situ. Ketika Hujr ibn ‘Adi lewat pada sisi itu ia mendengar Asy’ats berkata kepada Ibn Muljam, “Cepatlah sekarang, atau cahaya fajar akan menggaibkan Anda.” Ketika men-dengar ini Hujr berkata kepada Asy’ats, “Hai Mata Satu, engkau bersiap-siap membunuh ‘Ali,” dan bersegera kepada ‘Ali ibn Abi Thalib. Tetapi, Ibn Muljam telah mendahuluinya dan menyerang ‘Ali dengan pedang. Ketika Hujr berpaling, orang berteriak, ‘Ali telah dibunuh’.”

Putrinyalah yang membunuh Imam Hasan a.s. dengan meracuninya. Mas’udi menulis bahwa,

“Istrinya (istri Hasan), Ja’dah binti Asy’ats, meracuninya sementara Mu’awiah bersekongkol dengannya bahwa apabila ia (Ja’dah) dapat meracuni Hasan, maka ia (Mu’awiah) akan membayarnya seratus ribu dirham dan akan mengawinkannya dengan putranya Yazid.” (Muruj adz-Dzahab, jilid II, h. 450)

Putranya Muhammad ibn al-Asy’ats aktif dalam mencurangi Muslim ibn ‘Aqil di Kufah dan dalam penumpahan darah Imam Husain di Karbala’. Namun, ia termasuk di antara perawi hadis dari Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan ibn Majah.

[ii] Setelah pertempuran Nahrawan, ketika Amirul Mukminin sedang berbicara di mesjid Kufah tentang akibat-akibat buruk “Arbitrasi” (Tahkim) di Shiffin, seorang laki-laki berdiri seraya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, pertama Anda menentang kami mengenai Tahkim itu, tetapi kemudian Anda mengizinkannya. Kami tak dapat mengerti mana di antara kedua ini yang lebih benar dan patut.” Ketika mendengar ini, Amirul Mukminin menepuk tangan seraya berkata, “Inilah ganjaran bagi orang yang melepaskan pandangan yang kukuh,” yakni, inilah hasil perbuatan Anda sendiri karena Anda telah meninggalkan keteguhan dan kecermatan dan mendesakkan Tahkim.” Tetapi, Asy’ats salah paham. la mengira Amirul Mukminin menyiratkan bahwa “kecemasan saya adalah karena menerima arbitrasi itu”. Maka ia pun berkata, “Wahai Amirul Mukminin, ini tidak akan menguntungkan Anda, melainkan merugikan Anda sendiri.” Atasnya Amirul Mukminin berkata dengan kasar,

“Apa yang Anda ketahui tentang yang akan saya katakan, dan apa yang kamu mengerti tentang apa yang menguntungkan saya atau merugikan saya? Engkau “penenun” (hayik) dan anak si “penenun” yang dibesarkan oleh orang-orang kafir dan seorang munafik. Kutuk Allah dan segala yang ada di dunia ini menimpamu.”

Para pensyarah telah menulis beberapa sebab mengapa Amirul Mukminin menyebut Asy’ats si “penenun”. Sebab yang pertama ialah karena ia dan ayahnya, sebagaimana kebanyakan penduduk di tempat kelahirannya, melakukan kerajinan menenun kain. Maka untuk mengacu kerendahan pekerjaannya ia disebut “penenun”. Orang Yaman mempunyai mata pencarian lain pula, namun terutama profesi ini yang mereka lakukan. Dalam menggambarkan pekerjaan tnereka, Khalid ibn Shafwan telah menyebutkannya,

“Apa yang dapat saya katakan tentang suatu kaum yang di antara mereka hanya ada penenun, penyamak kulit, pemelihara dan penunggang keledai …. Tikus membanjiri mereka, dan seorang wanita memerintah mereka.” (Al-Bayan wa at-Tabyin, I, h. 130)

Sebab yang kedua, “hiyakah” berarti berjalan dengan miring ke kiri atau ke kanan. Karena kesombongan dan tipu daya, orang ini biasa berjalan sambil meng-hentakkan bahunya dan memiringkan badannya, maka ia disebut “hayik”.

Sebab yang ketiga—dan ini yang lebih nyata dan jelas—bahwa ia disebut “penenun” untuk menunjukkan ketololannya dan kerendahannya, karena setiap orang yang rendah dipribahasakan sebagai “penenun”. Ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa ketololan mereka telah menjadi peribahasa, dan tak ada yang sampai mendapatkan status peribahasa tanpa ciri khas. Nah, Amirul Mukminin menggunakannya; tak perlu lagi argumen atau penalaran selanjutnya.

Sebab yang keempat adalah bahwa dengan ini dimaksud orang yang bersekongkol melawan Allah dan Nabi-Nya dan menyiapkan jaringan rekayasa, ciri khas penghianatan. Maka, dalam Wasa’il asy-Syi’ah, XII, h. 101, dinyatakan,

“Disebutkan di hadapan Imam Ja’far ash-Shadiq a.s. bahwa si “penenun” terkutuk, ketika ia menerangkan bahwa “penenun” bermakna orang yang mengada-ada terhadap Allah dan Nabi.”

Setelah kata “penenun”, Amirul Mukminin menggunakan kata munafik, dan tak perlu penjelasan lagi untuk menekankan kedekatan artinya. Maka, atas basis kemunafikan dan penyembunyian kebenaran ini ia memaklumkannya sebagai patut mendapat kutukan Allah dan semua lainnya, karena Allah SWT bersabda,

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turun-kan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitdb, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat.” (QS. 2:159)

Setelah Amirul Mukminin mengatakan bahwa “Engkau tak dapat mengelakkan keaiban sebagai tawanan ketika engkau kafir, tidak pula aib ini terbebas darimu setelah engkau menerima Islam, dan engkau tertawan.” Waktu masih kafir, peristiwa tertawannya terjadi sebagai berikut. Ketika suku Bani Murad membunuh ayahnya, Qais, ia (Asy’ats) mengumpulkan para prajurit Banl Kindah dan membagi mereka dalam tiga kelompok. Satu kelompok ia pimpin sendiri, sedang yang lainnya ia serahkan kepada pimpinan Kabs ibn Hani’ dan al-Qasy’am ibn Yazid al-Arqam, lalu berangkat untuk mengahadapi Bani Murad. Tetapi celakanya, ketimbang Bani Murad, ia menyerang Bani Harits ibn Ka’b. Akibatnya, Kabs ibn Hani’ serta Qasy’am ibn Yazid tewas, dan Asy’ats tertawan hidup-hidup. Akhirnya ia dibebaskan dengan membayar tebusan tiga ribu unta. Dalam kata-kata Amirul Mukminin, “Kekayaan atau kelahiranmu tak dapat menyelamatkanmu dari kedua-duanya,” acuan bukan kepada fidyah (uang pembebasan) yang sesungguhnya, karena sebenarnya ia telah dibebaskan dengan pembayaran uang tebusan; maksud-nya ialah bahwa kelimpahan kekayaan, kedudukan dan martabat dalam sukunya, tak dapat menyelamatkan dia dari aib, dan ia tak dapat melindungi dirinya dari tertawan.

Peristiwa tertawannya yang kedua ialah setelah wafatnya Nabi Muhammad (saw), ketika timbul pemberontakan di kawasan Hadhramaut. Untuk melawannya, Khalifah Abu Bakar menulis surat kepada gebernur di tempat itu, Ziyad ibn Labid al-Bayadi al-Anshari bahwa ia harus mendapatkan baiat dan menerima zakat dan sedekah dari rakyat. Keika Ziyad ibn Labid mendatangi suku Bani ‘Amr ibn Mu’awiah untuk mengumpulkan zakat, ia sangat tertarik pada seekor unta betina milik Syaithan ibn Hujr yang amat bagus dan besar. la melompat ke atas punggungnya dan mengambilnya. Syaithan ibn Hujr tidak mau melepaskannya dan mengatakan kepadanya untuk mengambil unta lainnya sebagai gantinya, tetapi Ziyad tak mau. Syaithan menyuruh panggil saudara lelakinya al-’Abda’ ibn Hujr untuk mendukungnya. Ketika tiba, ia pun berbicara, tetapi Ziyad bersikeras pada pendiriannya dan sama sekali tak mau melepaskan unta betina itu. Akhirnya kedua bersaudara itu menghadap kepada Masruq ibn Ma’di Karib untuk meminta bantuan. Masruq pun menggunakan pengaruhnya supaya Ziyad meninggalkan unta betina itu, tetapi ia menolak dengan tegas. Masruq menjadi galak dan melepaskan ikatan unta betina itu lalu menyerahkannya pada Syaithan. Ziyad menjadi berang lalu mengumpulkan orang-orangnya, bersiap untuk berperang. Di sisi lain, Bani Wali’ah pun berkumpul untuk menghadapi mereka, tetapi tak dapat me-ngalahkan Ziyad, dan terpukul dengan parahnya. Kaum wanita mereka dibawa dan harta mereka dijarah. Akhiraya orang-orang yang selamat terpaksa meminta perlindungan Asy’ats. Asy’ats menjanjikan bantuan, dengan syarat bahwa ia harus diakui sebagai pemimpin di daerah itu. Orang-orang itu setuju atas syarat ini dan penobatannya pun dilakukan dengan khimat dan resmi. Setelah wewenangnya diakui, ia menyiapkan pasukan lalu berangkat untuk memerangi Ziyad.

Sementara itu Abu Bakar telah menulis surat kepada pemimpin Yaman, Muhajir ibn Abl Umayyah, untuk pergi membantu Ziyad dengan pasukan. Muhajir datang dengan kontingennya lalu mereka berhadap-hadapan. Mereka menghunus pedang lalu mulai bertempur di az-Zurqan. Pada akhirnya Asy’ats melarikan diri dari pertempuran dengan membawa orangnya yang tersisa ke benteng an-Nujair. Pasukan Ziyad dan Muhajir mengepung benteng itu. Asy’ats berpikir, berapa lama ia dapat tinggal terkurung dalam benteng dengan perlengkapan dan orangnya yang kurang itu; ia lalu memikirkan suatu jalan untuk meluputkan diri. Pada suatu malam, secara sembunyi-sembunyi, ia keluar dari benteng itu lalu menemui Ziyad dan Muhajir dan bersekongkol dengan mereka bahwa apabila mereka memberikan perlindungan kepada sembilan anggota keluarganya maka ia akan membukakan pintu benteng itu. Mereka menerima ketentuan itu dan memintanya menuliskan nama kesembilan orang termaksud. la menulis nama kesembilan orang itu lalu menyerahkannya kepada mereka, tetapi dalam kepandiran tradisionalnya ia lupa menuliskan namanya sendiri pada daftar itu.

Setelah membereskan ini, ia mengatakan kepada orang-orangnya bahwa ia telah mendapatkan perlindungan bagi mereka dan supaya pintu benteng dibuka. Ketika pintu gerbang terbuka, pasukan Ziyad menyerbunya. Mereka mengatakan bahwa kepada mereka telah dijanjikan perlindungan, yang dijawab tentara Ziyad bahwa itu salah, dan bahwa Asy’ats hanya meminta perlindungan atas sembilan orang anggota keluarganya, yang nama-namanya ada pada mereka. Singkatnya, delapan ratus orang terbunuh dan tangan beberapa orang perempuan terpotong putus, sedang, sesuai pembicaraan, sembilan orang dibebaskan. Tetapi, kasus Asy’ats sendiri menjadi rumit. Akhirnya diputuskan bahwa ia harus dikirimkan dengan terbelenggu kepada Abu Bakar, yang akan memutuskan kasusnya.

Ia dikirimkan ke Madinah dalam belenggu bersama seribu orang perempuan tawanan. Dalam perjalanan, para kerabat dan lain-lainnya, lelaki dan perempuan, melimpahkan kutukan kepadanya. Perempuan-perempuan itu menamakannya penghianat dan orang yang menjerumuskan kaumnya sendiri kepada tebasan pedang. Siapa lagi penghianat yang lebih besar? Namun, ketika tiba di Madinah, Abu Bakar membebaskannya, dan pada kesempatan itu ia dikawinkan dengan Umm Farwah. (Sumber: Khutbah No.19 dalam Nahjul Balaghah)

Selasa, 29 April 2014

Dalam Cahaya Dua Fatimah



Oleh April Kukuh

Fatimah binti Asad bin Hasyim 

Nama lengkap ibunda Imam Ali ialah Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushaiy bin Kilab. Fatimah binti Asad adalah seorang puteri dari Bani Hasyim yang pertama bersuamikan seorang berasal dari Bani Hasyim juga. Inilah yang menjadikan Imam Ali adalah keturunan Hasyim dari kedua sisi ayah dan ibu. Ia adalah istri Abu Thalib. Ia termasuk yang paling dini memeluk agama Islam, serta memberikan dukungan kepada da'wah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau sangat menghargai dan menghormati Fatimah binti Asad, bahkan memanggilnya dengan sebutan "Bunda" dan dipandang sebagai ibu kandung beliau sendiri.

Beliau dilahirkan dalam rumah tangga yang merupakan pusat spiritualitas. Hasyim bin Manaf adalah pemimpin Quraisy dan penjaga Ka’bah, menikah dengan seorang gadis dari keluarganya sendiri yang melahirkan anaknya, Asad, yang adalah ayah dari Fatimah binti Asad. Keluarga Hashimi dalam suku Quraisy adalah keluarga yang terpandang dan sangat terkenal dalam kebajikan moral serta ketinggian akhlaq di antara suku-suku Arab saat itu. Kemurahan hati, kedermawanan, keberanian dan begitu banyak kebaikan lainnya yang sudah melekat sebagai karakteristik Bani-Hasyim. Pasangan suami istri Fatimah dan Abu Thalib dikaruniakan empat laki – laki dan dua perempuan (Thalib, Aqil, Ja’far, Ali, Fakhitah, Jumanah), Imam Ali adalah anak termuda. Dan Rasulullah sebagai anak angkat beliau.

Ketika itu hari Jum'at, 13 bulan Rajab, 12 tahun sebelum Nabi Muhammad SAW. mendapat risalah, seorang wanita, meskipun perutnya nampak besar sekali, bersama suaminya melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah. Wanita yang bernama Fatimah itu tiba-tiba merasakan perutnya sakit. Ketika rasa sakitnya bertambah, segera diberitahukan kepada suaminya, Abu Thalib. Mendengar keluhan itu, Abu Thalib segera menggandeng isterinya masuk ke dalam Ka'bah. Menurut perkiraan, isterinya kelelahan. Diharapkan dengan beristirahat sebentar rasa sakitnya akan berkurang.

Kenyataannya tidak seperti yang diperkirakan Abu Thalib. Perut Fatimah bertambah sakit. Fatimah yang sudah berkali-kali melahirkan, telah mengerti isyarat apa yang sedang dialaminya. Sebagai seorang wanita yang saleh, ia tidak mengungkapkan isyarat itu kepada suaminya. Dia khawatir jika suaminya tahu, tentu maksud suaminya menyelesaikan tawaf akan terganggu. Ia tidak ingin berbuat demikian. Suaminya tetap dianjurkan menyelesaikan tawafnya.

Dalam keheningan dan keredupan Baitullah, rumah Allah, Fatimah merasa perutnya bertambah mulas. Di saat itu yang teringat di hati Fatimah ialah bahwa rasa sakitnya akan berkurang dengan datangnya pertolongan Allah. Fatimah segera mengangkat tangan, yang sebelumnya memegang perut untuk menahan rasa sakit dan dengan suara sayu tersengal-sengal berucap: "Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku bernaung kepada-Mu, kepada utusan-utusan-Mu dan Kitab-kitab yang datang dari-Mu. Aku percaya kepada ucapan datukku Ibrahim, pendiri rumah ini. Maka demi pendiri rumah ini dan demi jabang bayi yang ada di dalam perutku, aku mohon kepada-Mu untuk dimudahkan kelahirannya".

Beberapa saat seusai mengucapkan doa, lahirlah bayi dengan selamat. Bayi ini adalah putra ke-empat dari Fatimah. Sepanjang ingatan orang, inilah untuk pertama kali seorang wanita melahirkan puteranya dalam Ka'bah. Kelahiran bayi ini hanya disaksikan oleh ayah bundanya saja. Kejadian yang luar biasa ini segera tersiar ke berbagai penjuru. Berbondong-bondonglah mereka, terutama keluarga Bani Hasyim, datang ke Ka'bah, guna menyaksikan bayi yang baru lahir. Di antara yang datang ialah Nabi Muhammad SAW. Bayi ini saudara misan beliau sendiri. Beliau menggendong bayi tersebut, kemudian bersama ayah-ibunya pulang ke rumah Abu Thalib.

Meskipun bayi ini merupakan putera keempat, namun oleh ayahnya dipandang sebagai kurnia besar yang dilimpahkan Allah SWT kepada keluarganya. Kegembiraan Abu Thalib ini tercermin dari perintah yang segera dikeluarkan untuk menyelenggarakan walimah. Guna memeriahkan acara itu, beberapa ekor ternak dipotong. Pemuka-pemuka Quraisy diundang mengunjungi pesta itu sebagai penghormatan atas kelahiran puteranya. Pada kesempatan itulah Abu Thalib mengumumkan pemberian nama "Ali" kepada puteranya yang baru lahir. "Ali" berarti "luhur". Pada tahun 10 kenabian, Nabi mengalami tahun kesedihan – meninggalnya paman dan istri beliau -. Fatimah tampil sebagai pengganti keduanya, yang mendukung dan membantu dakwah Nabi.

Fatimah membela Rasulullah SAW dari tekanan kaum Kafir Quraisy, hingga akhirnya berhasil hijrah ke Madinah.  Ia pun turut berhijrah ke kota suci kedua bagi umat Muslim itu bersama kaum Muslimin lainnya. Bagi Fatimah binti Asad, Madinah merupakan kota yang penuh dengan kebahagiaan serta kemuliaan, seperti halnya Makkah.

Dedikasi dan pengorbanan Fatimah dalam membela agama Allah SWT sungguh sangat tak ternilai. Ia sungguh wanita yang agung. Rasulullah SAW begitu menghormati sosok Fatimah, bibi sekaligus besannya. Dalam sebuah hadis yang dikeluarkan Ibnu Abi Ashim dari Abdullah bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Abu Thalib dikisahkan bawah ketika Fatimah wafat, Rasulullah SAW mengkafaninya dengan bajunya.

Pada waktu Fatimah binti Asad wafat, kesedihan nampak dialami Nabi Saw. Nabi Muhammad SAW bersembahyang untuk jenazahnya. Di saat pemakamannya, Nabi yang menyiapkan segala sesuatunya. Nabi Muhammad SAW turun sendiri ke liang lahat dan setelah jenazahnya diselimuti dengan baju beliau, beliau berbaring sejenak di samping jenazahnya.

Mengetahui hal itu, beberapa orang sahabat sambil keheran-heranan bertanya: "Ya Rasul Allah, kami tidak pernah melihat Anda berbuat seperti itu terhadap orang lain!” "Tak seorangpun sesudah Abu Thalib yang kupatuhi selain dia", jawab Nabi Muhammad SAW dengan segera. "Kuselimutkan bajuku, agar kepadanya diberi pakaian indah di dalam sorga, Aku berbaring di sampingnya, agar ia terhindar dari jepitan dan tekanan kubur."

Fatimah Az-Zahra binti Muhammad
Fatimah az Zahra terlahir dari pasangan manusia paripurna, Nabi Muhammad SAW dan Khadijah, pada tahun kelima setelah kenabian. Besar harapan keduanya kelak menjadi anak yang baik. Salah satu dari manusia suci dan diberkahi yang paling utama dan yang memiliki kebesaran dan kesempurnaan yaitu Az-Zahra. Kedua orangtua ini pun dipenuhi perasaan bahagia dan gembira. Sebagai jawaban atas umat yang kala itu sangat membenci jika mempunyai anak perempuan, lahirnya Fatimah Az-Zahra telah membawa perubahan perilaku suku Quraisy terhadap anak perempuan mereka.

Kenapa Fatimah dinamakan Az-Zahra, dikarenakan Allah SWT telah menciptakannya dari cahaya keagungan-Nya. Ketika bersinar, ia menerangi langit  dan bumi dengan cahayanya menutup pandangan para malaikat, hingga para malaikat bertanya dan Allah menjawabnya “Ini adalah cahaya dari cahaya-Ku. Aku tempatkan ia dilangit-Ku dan aku ciptakan ia dari keagungan-Ku. Aku keluarkan dari sulbi seorang Nabi besar diantara para Nabi. Dari cahaya itu Aku keluarkan para Imam yang membimbing manusia sampai akhir zaman. Dan Aku jadikan mereka Khalifah-khalifah-Ku di bumi setelah terputusnya wahyu”. Pada masa kanak – kanak telah mengalami beberapa kejadian dan peristiwa pahit, sehingga meninggalkan pengaruh pada jiwanya yang halus.

Setelah kematian Ibunda Khadijah, Fatimah menggantikan posisinya sebagai pelayan ayahnya, tanggung jawab di dalam rumah jatuh kepada Fatimah, hingga Nabi menikah dengan Saudah, guna meringankan tugas Fatimah. Tetapi sulit bagi seorang yatim yang kehilangan Ibundanya melihat orang lain menggantikan posisi Ibunya, setiap kali bertambah perasaan kehilangan itu bertambah pula rasa cinta Nabi kepadanya. Setelah Nabi hijrah ke Madinah, Nabi memerintahkan Imam Ali untuk menggantikannya di Mekkah dari tempat tidur Nabi, mengembalikan barang – barang orang yang dititipkan hingga memimpin hijrah gelombang kedua setelahnya.

Imam Ali membeli seekor unta untuk kendaraan bagi wanita yang akan berangkat hijrah bersama-sama. Rombongan hijrah yang menyusul perjalanan Rasulullah terdiri dari keluarga Bani Hasyim dan dipimpin sendiri oleh Imam Ali. Di dalam rombongan Imam Ali ini termasuk Sitti Fatimah r.a., Fatimah binti Asad bin Hasyim (ibu Imam Ali), Fatimah binti Zubair bin Abdul Mutthalib dan Fatimah binti Hamzah bin Abdul Mutthalib. Aiman dan Abu Waqid Al Laitsiy ikut bergabung dalam rombongan.

Rombongan Imam Ali dalam perjalanan ini tidak dilakukan secara diam-diam. Ketika itu Abu Waqid berjalan cepat-cepat menuntun unta yang dikendarai para wanita, agar jangan terkejar oleh orang-orang kafir Quraisy. Mengetahui hal itu, Imam Ali segera memperingatkan Abu Waqid supaya berjalan perlahan-lahan, karena semua penumpangnya wanita. Rombongan berjalan melewati padang pasir di bawah sengatan terik matahari. Imam Ali, sebagai pemimpin rombongan, berangkat dengan semangat yang tinggi. Beliau siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal dilakukan orang-orang kafir Quraisy terhadap rombongan. Ia bertekad hendak mematahkan moril dan kecongkakan mereka.

Pertumpahan Darah Pertama Kali

Mendengar rombongan Imam Ali berangkat, orang-orang Quraisy sangat penasaran. Lebih-lebih karena rombongan Imam Ali berani meninggalkan Makkah secara terang-terangan di siang hari. Orang-orang Quraisy menganggap bahwa keberanian Imam Ali yang semacam itu sebagai tantangan dan hinaan terhadap mereka. Orang-orang Quraisy cepat-cepat mengirim delapan orang anggota pasukan berkuda untuk mengejar Imam Ali dan rombongan.

Pasukan itu ditugaskan menangkapnya hidup-hidup atau mati. Delapan orang Quraisy tiba di sebuah tempat bernama Dhajnan, berhasil mendekati rombongan Imam Ali. Setelah Imam Ali mengetahui datangnya pasukan berkuda Quraisy, beliau segera memerintahkan dua orang lelaki anggota rombongan agar menjauhkan unta dan menambatnya. Ia sendiri kemudian menghampiri para wanita guna membantu menurunkan mereka dari punggung unta. Kemudian ia maju seorang diri menghadapi gerombolan Quraisy dengan pedang terhunus. Rupanya Imam Ali hendak berbicara dengan mereka. Ia tahu benar bagaimana cara menundukkan mereka.

Mereka lalu berusaha mendekati unta dan rombongan wanita. Imam Ali menghalangi usaha mereka. Jenah, seorang hamba sahaya milik Harb bin Umayyah, mencoba hendak memukul Imam Ali dari atas kuda. Akan tetapi belum sempat ayunan pedangnya sampai, hantaman pedang Imam Ali telah mendahului tiba di atas bahunya. Tubuhnya terbelah menjadi dua, sehingga pedang Imam Ali sampai menancap pada punggung kuda. Serangan-balas secepat kilat itu sangat menggetarkan teman-teman Jenah. Sambil menggeretakkan gigi, Imam Ali berkata: "Lepaskan orang-orang yang hendak berangkat berjuang! Aku tidak akan kembali dan aku tidak akan menyembah selain Allah Yang Maha Kuasa!" Gerombolan Quraisy mundur. Mereka meminta kepada Imam Ali untuk menyarungkan kembali pedangnya. Imam Ali dengan tegas menjawab: "Aku hendak berangkat menyusul saudaraku, putera pamanku, Rasulullah. Siapa yang ingin kurobek-robek dagingnya dan kutumpahkan darahnya, cobalah maju mendekati aku!"
Tanpa memberi jawaban lagi gerombolan Quraisy itu segera meninggalkan tempat. Kejadian ini mencerminkan konfrontasi bersenjata yang bakal datang antara kaum muslimin melawan kafir Quraisy.

Di Dhajnan, rombongan Imam Ali beristirahat semalam. Ketika itu tiba pula Ummu Aiman (ibu Aiman). Ia menyusul anaknya yang telah berangkat lebih dahulu bersama Imam Ali. Bersama Ummu Aiman turut pula sejumlah orang muslimin yang berangkat hijrah. Keesokan harinya rombongan Imam Ali beserta rombongan Ummu Aiman melanjutkan perjalanan.

Waktu itu Rasulullah bersama Abu Bakar sudah tiba dekat kota Madinah. Untuk beberapa waktu, beliau tinggal di Quba. Beliau menantikan kedatangan rombongan Imam Ali Kepada Abu Bakar, Rasulullah memberitahukan bahwa beliau tidak akan memasuki kota Madinah, sebelum putera pamannya dan puterinya sendiri datang. Selama dalam perjalanan itu Imam Ali tidak berkendaraan sama sekali. Ia berjalan kaki-telanjang menempuh jarak kurang lebih 450 km. Setelah itu tibalah semua anggota rombongan dengan selamat di Quba. Betapa gembiranya Rasulullah menyambut kedatangan orang-orang yang disayangi dan orang – orang muslim lain dalam hijrah gelombang kedua itu dengan selamat.

Sesampai di Madinah Nabi menikah dengan Ummu Salamah binti Umayyah dan menyerahkan segala urusan putrinya kepadanya. Ummu Salamah pun mendidik dan membimbingnya. Setelah dewasa Fatimah Az-Zahra melebihi wanita-wanita lain di masanya dalam hal kemuliaan dan keturunan dari Nabi dan Khadijah. Akhlaknya mewarisi Nabi dengan kecantikan dari Khadijah, serta jauh dari kemusyrikan. Sehingga banyak pembesar – pembesar Quraisy yang telah melamarnya ketika menginjak remaja, tetapi Rasulullah tidak pernah menyambut lamaran tersebut. Rasulullah sendiri telah menahan Fatimah dengan orang lain untuk memberikannya kepada Imam Ali, bahkan kepada dua sahabatnya Abu Bakar dan Umar bin Khattab, karena Rasulullah telah diperintahkan oleh Allah SWT melalui Jibril untuk menikahkan dua cahaya.

Pernikahan Imam Ali dan Fatimah Az-Zahra

Ketika dewasa timbullah cinta didada Imam Ali, setelah didorong oleh Abu Bakar, memberanikan diri untuk menemui Rasulullah, dan menyatakan ingin menjadikan salah satu wanita penghuni surga Fatimah Az-Zahra, dengan mas kawin 400 dirham dari hasil menjual baju besi pemberian Nabi. Saat itu hanya tiga harta yang dimiliki Imam Ali, pedang, unta dan baju besi-. Rasul pun menerimanya dengan bersabda “ Hai Ali, sebelum aku menikahkan kamu dibumi, Allah SWT telah menikahkan kalian berdua dilangit”. Pernikahan ini bagi Imam Ali adalah sama ketika kedua orang tua beliau menikah, dikarenakan pasangan ini berasal dari kakek yang sama yaitu Abdul Mutholib, seperti halnya orangtua Imam Ali dari kakek yang sama yaitu Hasyim.

Pernikahan mereka dilaksanakan setelah Perang Badr, sekitar tahun kedua Hijriah, bulan Zulhijjah. Acara pernikahan berlangsung sederhana dan khidmat, saat itu usia ‘Ali diperkirakan 18 tahun, ada pula pendapat yang menyatakan usia ‘Ali saat itu 25 tahun, sementara usia Fatimah diperkirakan 14 atau 16 tahun. Nabi meletakkan tangan Fatimah di atas tangan ‘Ali dan bersabda, “Wahai ‘Ali, Fatimah adalah istri yang baik untukmu.” Kepada Fatimah, Nabi bersabda, “Wahai Fatimah, ‘Ali adalah suami yang baik untukmu.”

Pernikahan keduanya merupakan gambaran pernikahan yang Islami. Suami adalah seorang keturunan yang mulia , juga sebagai Panglima perang Rasulullah, sedangkan istri adalah wanita dengan kesempurnaan akhlak, kedudukan mulia dan keturunan manusia agung. Salah satu dari empat wanita surge, perkawinan yang sederhana tidak ada beban dan pemborosan. Rumah tangga ini adalah rumah tangga yang telah disucikan sehingga maksum dan mempunyai sifat-sifat akhlak yang utama dan sempurna, dikarenakan dari rumah tangga inilah kelak akan lahir keturunan – keturunan yang menjadi Imam. Dikarenakan keduanya pula berada dalam satu universitas wahyu.

Fatimah hidup dalam pribadi Muslim terbesar kedua setelah ayahandanya, panglima perang, pembantu dan penasihat khusus Rasul. Beliau senantiasa memberikan semangat kepada Imam Ali dan membantunya dalam mempersiapkan diri dari menghadapi peperangan satu ke peperangan yang lain. Tidak pernah membuat suaminya marah walau satu hari, beliau tahu bahwa Allah SWT tidak akan menerima perbuatan seorang istri yang membuat marah suaminya sampai suami kembali ridha.

Rumah tangga ini dikaruniakan lima orang anak (Hasan –kelak menjadi Imam kedua-, Husain –Imam ketiga-, Zainab, Ummu Kultsum, Muhsin – meninggal saat keguguran-). Jadi kedua orangtua ini bertanggung jawab mengawasi anak-anak dengan teliti, mempersiapkan masa depan mereka dengan baik, dan menjaga fitrah mereka agar tak bercampur dengan noda,  karena Allah SWT telah mensucikan mereka lewat doa Nabi (Ahlul Bait: Ali, Fatimah, Hasan, Husain).

Setelah wafatnya Nabi, Fatimah bangkit untuk membela suaminya dan berdiri dengan tegar di belakang pintu ketika pengepungan dirumahnya untuk menciduk Imam Ali, tidak melarikan diri setelah rumahnya diserang, Fatimah bertahan dengan segala kekuatan untuk membela Imam Ali. Jika menang maka akan dapat mencegah mereka mengambil kekhalifan dari yang berhak, dan jika mereka memukul, mematahkan rusuk dan membuatnya keguguran maka terbukalah kesalahan mereka dan seluruh alam akan mengerti secara nyata dampak dari penyimpangan.

 Ketika beberapa bulan setelah Rasulullah wafat, Fatimah mengalami penurunan kesehatan yang sangat drastis karena adanya konflik yang tajam tentang Khalifah sepeninggal Rasulullah. Ia dirawat oleh Asma’ dengan anak anak berada disisinya. Imam Ali menyebutkan saat – saat terakhir Fatimah sebelum meninggal, Fatimah berkata “ Wahai anak pamanku, engkau tidak pernah menemukanku berdusta dan berkhianat”. Imam Ali pun menjawab “Aku berlindung kepada Allah SWT, engkau lebih mengetahui tentang Allah SWT, lebih baik, lebih bertakwa, lebih takut kepada-Nya. Demi Allah SWT rasa ini seperti apa yang saya rasakan ketika aku kehilangan anak pamanku (Rasulullah). Sungguh kewafatanmu adalah kehilangan yang sangat besar.”

Fatimah wafat beberapa bulan setelah meninggalnya Rasulullah. Pada usia 27 tahun meninggalkan keempat anak mereka yang masih kecil. Sebelum kematiannya, Fatimah sempat berwasiat kepada Imam Ali untuk merahasiakan tempat pemakamannya kelak kepada siapapun. Beliau tinggalkan Hasan yang masih 7 tahun, Husain yang masih 6 tahun, Zainab yang masih 5 tahun, dan Ummi Kultsum yang baru saja memasuki usia 3 tahun. Yang paling berat dalam perpisahan ini, ia harus meninggalkan suami termulia Ali As, pelindung ayahnya dalam jihad dan teman hidupnya di segala medan.

Inilah kedua wanita hebat yang bernama Fatimah yang menjadi cahaya dalam kehidupan Imam Ali.

Senin, 28 April 2014

Nabi SAW, Imam Ali, dan Abu Thalib




Oleh April Kukuh

Setelah ditinggal oleh kakek beliau Abdul Mutholib, ketika itu Rasul berusia delapan tahun, Abdul Mutholib – yang merupakan saudara kandung satu bapak dan satu ibu – dari Abdullah (Bapak Nabi) mengambil Nabi untuk mengasuhnya dikarenakan paman Nabi yang satu ini mempunyai perangai yang halus dan dihormati dikalangan Quraisy, inilah alasan kakek Nabi menyerahkan pengasuhan kepadanya, tidak kepada paman yang lain, baik Harist maupun Abbas.

Abu Thalib mencintai keponakannya ini sampai ia mendahulukannya daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Nabi yang agung, luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati itulah yang menarik hati pamannya. Walaupun dalam keadaan miskin dengan makanan yang terbatas, sehingga Abu Thalib pun tidak membeda-bedakan sedikitpun sehingga apa yang dimakan Abu Thalib sekeluarga, Nabi pun juga ikut memakannya, selama rentang waktu Rasul dalam pengasuhan, menerima kondisi tersebut dengan ikhlas.

Abu Thalib bukan hanya mengenal kebenaran Nabi Muhammad s.a.w., tetapi juga mengenal pribadi beliau dengan baik. Ia paman beliau, pengasuh dan pemelihara beliau sejak kanak-kanak sampai dewasa. Dalam waktu yang amat panjang, Abu Thalib menyaksikan sendiri bagaimana praktek kehidupan Nabi Muhammad s.a.w. sehari-hari. Abu Thalib rindu sekali ingin melihat hakekat kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Hatinya pedih dan kesal menyaksikan kaumnya menyia-nyiakan akal fikiran dan hidup mereka di depan tumpukan batu, yang dianggapnya sebagai sesembahan dan tuhan-tuhan.

Suatu ketika Paman Nabi pergi ke Syam (Suriah) membawa dagangan, saat itu Nabi berusia dua belas tahun, mengingat medan yang akan dilalui begitu berat, tidak ada niat Abu Thalib untuk membawa Nabi. Tetapi Nabi dengan ikhlas tanpa ragu menyatakan akan menemani pamannya itu, sehingga sikap ragu-ragu paman Nabi pun hilang, – sikap dari Nabi inilah yang kelak mirip sekali dengan sikap Imam Ali kepada Rasul, di mana Imam Ali tidak pernah dan menolak apapun perintah Nabi- Anak itu lalu turut serta dalam rombongan kafilah, hingga sampai di Bushra (Bostra) di sebelah selatan Syam. Dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda keNabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan, bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap beliau.

Dalam perjalanan itulah sepasang mata Nabi Muhammad yang indah itu melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya daerah-daerah Madyan, Waditul Qura serta peninggalan bangunan-bangunan Tsamud. Didengarnya dengan telinganya yang tajam segala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau. Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun yang lebat dengan buah-buahan yang sudah masak, yang akan membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta’if serta segala cerita orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Mekkah itu. Di Syam ini juga beliau mengetahui berita-berita tentang Kerajaan Romawi dan agama Kristennya, didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia.

Sekalipun usianya baru beranjak dua belas tahun, tetapi sudah memiliki kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman otak, mempunyai daya ingat yang kuat. Yang menandakan bahwa sejak muda beliau telah diantar takdir kepada suatu jalan sejarah sebagai risalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Imam Ali bin Abu Thalib dalam pengasuhan Rasulullah

Ketika Imam Ali menginjak usia 6 tahun, Makkah dan sekitarnya dilanda paceklik hebat. Sebagai akibatnya, kebutuhan pangan sehari-hari sulit diperoleh. Bagi mereka yang berkeluarga besar dan ekonomi lemah, seperti keluarga Abu Thalib, pukulan paceklik terasa parah sekali.

Pada masa paceklik ini, Nabi Muhammad SAW telah berumah tangga dengan Sitti Khadijah binti Khuwalid r.a. Beliau tak dapat melupakan budi pamannya yang telah memelihara dan mengasuh beliau sejak kecil hingga dewasa. Bertahun-tahun beliau hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib, mengikuti suka-dukanya dan mengetahui sendiri bagaimana keadaan penghidupannya. Dalam suasana paceklik ini, Nabi Muhammad SAW. menyadari betapa beratnya beban yang dipikul pamannya, Abu Thalib, yang sudah lanjut usia. Hati beliau terketuk dan segera mengambil langkah untuk meringankan beban pamannya.

Nabi Muhammad SAW. mengetahui, bahwa Abbas bin Abdul Mutthalib, juga paman beliau, adalah seorang terkaya di kalangan Bani Hasyim. Dibanding dengan saudara-saudaranya, Abbas mempunyai kemampuan ekonomis yang lebih baik. Dengan tujuan untuk meringankan beban Abu Thalib, beliau temui Abbas bin Abdul Mutthalib. Kepada pamannya itu beliau kemukakan betapa berat derita yang ditanggung Abu Thalib sebagai akibat paceklik. Kemudian, dalam bentuk pertanyaan, Nabi Muhammad SAW berkata: "Bagaimana paman, kalau kita sekarang ini meringankan bebannya? Kusarankan agar paman mengambil salah seorang anaknya. Aku pun akan mengambil seorang."

Abbas bin Abdul Mutthalib menyambut baik saran Nabi Muhammad SAW. Setelah melalui perundingan dengan Abu Thalib, akhirnya terdapat kesepakatan: Ja'far bin Abi Thalib diserahkan kepada Abbas, sedang Ali bin Abi Thalib r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad SAW.

Sejak itu Imam Ali diasuh oleh Nabi Muhammad SAW. dan isteri beliau, Sitti Khadijah binti Khuwailid r.a. Bagi Imam Ali sendiri lingkungan keluarga yang baru ini, bukan merupakan lingkungan asing. Sebab Nabi Muhammad sendiri dalam masa yang panjang pernah hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib apalagi yang menikahkan Nabi Muhammad SAW. dengan Sitti Khadijah binti Khuwalid r.a., juga Abu Thalib.

Bagi Nabi Muhammad SAW., Imam Ali bukan hanya sekedar saudara misan, malahan dalam pergaulan sudah merupakan saudara kandung. Lebih-lebih setelah dua orang putera lelaki beliau, Al Qasim dan Abdullah, meninggal. Betapa besar kasih sayang yang beliau curahkan kepada putera pamannya itu dapat diukur dari berapa besarnya kasih-sayang yang ditumpahkan Abu Thalib kepada beliau. Bahkan pada waktu dekat menjelang bi'tsah, Nabi Muhammad SAW sering mengajak Imam Ali menyepi di gua Hira, yang terletak dekat kota Mekkah. Ada kalanya Imam Ali diajak mendaki bukit-bukit sekeliling Makkah guna menikmati keindahan dan kebesaran ciptaan Allah s.w.t.

Sejak usia muda Imam Ali sudah menghayati indahnya kehidupan di bawah naungan wahyu Ilahi, sampai tiba saat kematangannya untuk menghadapi kehidupan sebagai orang dewasa. Selama masa itu beliau mengikuti perkembangan yang dialami Rasulullah SAW dalam kehidupannya.

Sungguh merupakan saat yang sangat menguntungkan bagi pertumbuhan jiwa Imam Ali dengan berada di dalam lingkungan keluarga termulia itu. Periode yang paling berkesan dalam kehidupan Imam Ali adalah dimulai dari usia 6 tahun sampai Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama dari Allah s.w.t. Imam Ali mendapat kesempatan yang paling baik, yang tidak pernah dialami oleh siapa pun juga, ketika Nabi Muhammad SAW. sedang dipersiapkan Allah s.w.t. untuk mendapat tugas sejarah yang maha penting itu.

Imam Ali menyaksikan dari dekat saudara misannya melaksanakan ibadah kepada Allah s.w.t dengan cara yang berbeda sama sekali dari tradisi dan kepercayaan orang-orang Makkah ketika itu. Imam Ali menyaksikan juga betapa saudara misannya menjauhi kehidupan jahiliyah, menjauhi kebiasaan minum khamar, menjauhi perzinahan. Selain itu, dengan mata kepala sendiri Imam Ali menyaksikan dan mengikuti perkembangan jiwa dan fikiran Nabi Muhammad SAW.

Semua warisan yang telah diterima Imam Ali dari para orangtuanya, kini berkembang mekar di hadapan seorang maha guru yang cakap dan bijaksana, yaitu putera pamannya sendiri. Manusia terbesar di dunia itulah yang menghubungkan diri dengan Imam Ali.

Pada waktu Nabi Muhammad SAW menerima tugas da'wah Ilahiyah, Imam Ali menyambutnya tanpa bimbang dan ragusikap sama yang telah ditunjukkan Nabi ketika ikut berdagang bersama pamannya ke Syam. Hal itu dimungkinkan karena lama sebelumnya ia telah langsung hidup di bawah naungan Rasulullah SAW. Bila ada hal yang ketika itu tidak mudah dipahami Imam Ali hanyalah mengenai cara-cara pelaksanaan risalah dan beban tanggung jawab yang harus dipikulnya sebagai orang beriman.

Pada waktu Rasulullah SAW menerima perintah Allah s.w.t. supaya melakukan da'wah secara terbuka dan terang-terangan, Imam Ali ikut ambil bagian sebagai pembantu. Imam Ali antara lain menyampaikan seruan-seruan Rasulullah SAW kepada sejumlah orang tertentu di kalangan anggota-anggota keluarganya.

Untuk itu Rasulullah SA. menyampaikan da'wahnya lebih dahulu kepada anggota-anggota keluarga yang paling dekat, yaitu isterinya sendiri Sitti Khadijah r.a. dan saudara misan asuhannya, Imam Ali. Setelah kepada dua orang itu, barulah kepada Zaid bin Haritsah, putera angkatnya.

Imam Ali sendiri sebagai orang yang paling dini melakukan tugas da'wah membantu Rasulullah SAW pernah menerangkan, bahwa pada masa itu tidak ada satu rumah pun yang menghimpun anggota-anggota keluarga dalam agama Islam, selain rumahtangga Rasulullah SAW. dan Khadijah r.a. "Dan akulah orang ketiga dalam rumah itu. Aku menyaksikan langsung cahaya wahyu dan risalah serta mencium semerbaknya bau keNabian" demikian kata Imam Ali.

Ketika Rasulullah SAW berjuang menyampaikan risalah tidak pernah sedikitpun Imam Ali membantah apa yang diperintahkan kepada Imam Ali, hingga Rasulullah menunjuknya sebagai pengganti, sebagai washi.