Label

Jumat, 02 Desember 2016

Apa Syi'ah Itu?



Belakangan ini, seiring merebaknya media-media internet dan situs-situs yang hobi menyebar berita palsu (hoax), hasutan, dan fitnah, banyak orang yang bertanya saja keliru. Alih-alih malah hanya doyan menuduh tanpa hujjah & ‘ilmu, contohnya dalam kasus Syi’ah. Seorang yang benar dalam bertanya, contohnya dalam masalah Syi’ah, mestinya akan bertanya:

[1] Apa Syi’ah itu secara bahasa? [2] Apa pengertian Syi’ah itu secara teologis, dan [3] Kepada siapa sajakah sebutan Syi’ah itu dimaksudkan?

Maka, jika pertanyaan-pertanyaannya benar, seperti yang dicontohkan, (ini sebagai misal saja), akan didapat jawaban, PERTAMA:

Syi’ah secara bahasa berasal dari Al-Qur’an: ….. وإن من شيعته لإبراهيم

“Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh)” (QS. Ash-Shaaffaat: 83). Jika kita membaca ragam kitab tafsir, umumnya akan dikatakan bahwa kata “Syi’ah” dalam ayat tersebut artinya atau memiliki arti dan pengertian sebagai “golongan”, “penerus”, “penolong”, “pengikut”, dan “pembela” (Silahkan bandingkan dengan ayat yang ada dalam Surah Al-Baqarah ayat 15….هذا من شيعته وهذا من عدوه) = Hadza min Syi’atihi (Dan ini dari Syi’ahnya Musa) wa hadza min ‘aduwwihi (dan ini dari musuhnya Musa as).

Syi’ah di sana (dalam Surah As-Shaffat ayat 83) berarti sebuah kelompok atau seseorang yang meneruskan agama atau “iman”-nya Nabi Nuh as –di mana yang dimaksud secara khusus dalam Surah As-Shaffat ayat 83 tersebut adalah Nabi Ibrahim as, sedangkan Syi’ah dalam Surah Al-Baqarah ayat 15 adalah ‘golongan’, ‘ummat’, dan ‘pengikut’ nabi Musa as. Maka dikatakan bahwa Ibrahim as adalah Syi’ah-nya Nuh as.

KEDUA (Secara teologis, siapa peletak dasar Syi’ah?): Orang yang pertama memberikan nama Syi’ah kepada para pengikut Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib as adalah Rasulullah Saw dan ia pula sebagai peletak dasar batu fondasinya serta penanam benihnya, sedangkan orang yang mengukuhkannya adalah Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib as. Semenjak saat itu, para pengikut ‘Ali dikenal sebagai Syi’ah ‘Ali bin Abi Thalib.

Ibn Khaldun berkata di dalam Muqaddimah-nya, “Ketahuilah! Sesungguhnya Syi’ah secara bahasa artinya adalah sahabat dan pengikut. Dan di dalam istilah para fuqaha dan ahli kalam, dari kalangan salaf dan khalaf, sebutan Syi’ah ditujukan kepada para pengikut ‘Ali dan anak keturunannya.”

Dan di dalam Khuthathu Syâm, karya Muhammad Kurd ‘Ali, cukuplah sebagai hujjah tentang penamaan istilah Syi’ah. Ia secara tegas berkata bahwa Syi’ah adalah sekelompok dari golongan sahabat Rasulullah Saw yang dikenal sebagai Syi’ah ‘Ali. Muhammad Kurd’ Ali berkata, “Adapun sebagian penulis yang berpandangan bahwa mazhab Tasyayyu’ (Syi’ah) adalah ciptaan ‘Abdullah bin Saba’, yang dikenal dengan Ibn As-Sauda’, maka itu merupakan khayalan belaka dan sedikitnya pengetahuan mereka tentang mazhab Syi’ah.”

Di dalam Tafsir Al-Qurthubi diriwayatkan: Sesungguhnya Rasulullah saw tatkala berada di Ghadir Khum beliau menyeru manusia, maka mereka pun berkumpul. Lalu Rasulullah saw mengangkat tangan Ali as seraya berkata, ‘Barangsiapa yang aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali sebagai pemimpinnya’.

Berita itu pun tersebar ke seluruh pelosok negeri, dan sampai kepada Harits bin Nukman Al-Fihri. Lalu dia mendatangi Rasulullah saw dengan menunggang untanya. Kemudian dia menghentikan untanya dan turun darinya. Harits bin Nukman Al-Fihri berkata:

“Hai Muhammad, kamu telah menyuruh kami tentang Allah, supaya kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa kamu adalah utusan-Nya, dan kami pun menerimanya.

Kamu perintahkan kami untuk menunaikan salat lima waktu, dan kami pun menerimanya. Kamu perintahkan kami untuk menunaikan zakat, dan kami pun menerimanya. Kamu perintahkan kami untuk berpuasa di bulan Ramadhan, dan kami pun menerimanya.

Kamu perintahkan kami untuk melaksanakan ibadah haji, dan kami pun menerimanya. Kemudian kamu tidak merasa puas dengan semua ini sehingga kamu mengangkat tangan sepupumu dan mengutamakannya atas kami semua dengan mengatakan ‘Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka inilah Ali pemimpinnya’. ‘Apakah ini dari kamu atau dari Allah?’

Rasulullah saw menjawab: Demi Allah yang tidak ada Tuhan melainkan Dia, sesungguhnya ini berasal dari Allah SWT.

Mendengar itu Harits bin Nukman Al-Fihri berpaling dari Rasulullah saw dan bermaksud menuju ke kendaraannya sambil berkata, ‘Ya Allah, seandainya apa yang dikatakan Muhammad itu benar maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.’

Maka sebelum Harits bin Nukman Al-Fihri sampai ke kendaraannya tiba-tiba Allah menurunkan sebuah batu dari langit yang tepat mengenai ubun-ubunnya dan kemudian tembus keluar dari duburnya, dan dia pun mati.

Kemudian Allah SWT menurunkan firman-Nya: Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi. Untuk orang-orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya.

KETIGA (Siapakah sajakah Syi’ah Ali itu?): Selain tokoh-tokoh inti sahabat Rasulullah, semisal Abu Dzar Al-Ghifari, Salman Al-Farisi, Miqdad, Ammar, Hudzaifah Al-Yamani, Hasan bin Tsabit, Usamah bin Zaid, masih banyak lagi tokoh-tokoh Syi’ah lainnya di kalangan para sahabat, seperti Malik Al-Asytar, Utsman bin Mazh’un, Umar bin Abi Salamah, Muhammad bin Abu Bakar bin Quhafah (dan masih banyak lagi lainnya), juga banyak tokoh-tokoh Syi’ah yang tersebar dalam ragam bidang dan domain (dari kalangan para sahabat dan tabi’in), antara lain

[1] Abdullah ibn Abbas. Ia adalah orang pertama dari kaum Syi’ah yang mendiktekan tafsir Al-Qur’an. Seluruh ulama Syi’ah (dan sejumlah Ulama Sunni) telah mengungkapkan fakta dan memberikan kesaksian mereka atas ke-Syiahan Ibn Abbas (wafat 67 Hijriah), yang mana menjelang wafatnya, beliau berikrar di dalam doanya; “Ya Allah, sungguh aku memohon kedekatan diriku kepadamu dengan kesetiaanku pada kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib”.

[2] Jabir ibn Abdullah Al-Anshari; (wafat 70 Hijriah) berada di jajaran pertama dari silsilah kedudukan para mufassir.

[3] Abdullah Bin Mas’ud.


[4] Ubay bin Ka’ab bin Qais Al-Anshari, yang pertama menyusun Fadhailul Qur’an (Keutamaan-keutamaan Al-Qur’an), dan masih banyak lagi.

Kamis, 17 November 2016

Album Fotografi Sulaiman Djaya

Memotret Senja di Halaman Rumahku (Kragilan, Serang, Banten 17 November 2016). 
 Jalan Menuju Rumahku (Kragilan, Serang, Banten 16 November 2016)
Memotret Wajah Industri dari Kejauhan (Kragilan, Serang, Banten 17 November 2016) 
Cahaya Bola Lampu di Halaman Rumahku (Kragilan, Serang, Banten 17 November 2016) 
Lanskap Malam di Belakang Rumahku (Kragilan, Serang, Banten) 
Jalan Setapak Masa Kanakku (Kragilan, Serang, Banten 16 November 2016) 
Senja dan Lampu di Halaman Rumahku (Kragilan, Serang, Banten 17 November 2016) 
Pematang Sawah di Belakang Rumahku (Kragilan, Serang, Banten 18 November 2016) 
Cahaya Bola Lampu di Belakang Rumahku (Kragilan, Serang, Banten 17 November 2016) 
Lanskap Malam di Depan Rumah (Kragilan, Serang, Banten 17 November 2016) 
Lanskap senja di depan rumahku (Kragilan, Serang, Banten 17 November 2016)
Lanskap Malam di Depan Rumah (Kragilan, Serang, Banten 16 November 2016) 
Cahaya Matahari di Pematang Sawah (Kragilan, Serang, Banten 16 November 2016)



Jumat, 16 September 2016

Penulis dan Menulis



oleh Sulaiman Djaya (penyair dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Banten)

Jangan berkata kepadaku tentang bulan purnama, tapi perlihatkanlah padaku kilatan cahaya pada pecahan kaca jendela” (Anton Chekhov, pujangga Rusia)

Salah satu tugas “penulis” –entah penyair, novelis, cerpenis (atau kapasitas ketiganya yang menyatu dalam satu orang) adalah untuk mengungkap kemungkinan–kemungkinan baru dari sebuah pemahaman. Seorang penulis harus menjangkau bentuk-bentuk baru dari pemahaman dengan karya-karya dan tulisan-tulisannya, semacam memberikan wacana dan diskursus alternatif yang sebelumnya tidak dilihat dan tidak dipikirkan mereka yang bukan penulis.

Dalam hal ini, menulis adalah masalah mengeksplorasi makna, horizon baru yang selama ini tidak dipikirkan mereka yang bukan penulis. Karena itulah, acapkali karya-karya sastra mampu melahirkan wawasan baru dan pandangan-pandangan alternatif yang tidak disentuh dan dipikirkan para ilmuwan, misalnya, oleh para pengamat politik dan yang sejenisnya, dan karena itulah, bersama filsafat, para filsuf menyebut sastra sebagai ‘ibunya’ sains dan ilmu pengetahuan.

Dan hal lainnya adalah sudut pandang, yang mana sudut pandang akan menentukan suatu ‘identitas’ dari ‘yang memandangnya’. Suatu subjek dapat dipandang secara berbeda tergantung kepentingan dan perspektifnya. Sebagai contoh: seekor kuda bagi seorang ahli biologi adalah binatang mamalia yang memiliki surai yang berbeda dengan sapi, kerbau, dan binatang lainnya.

Tetapi bagi seorang penulis, seekor kuda akan dilihat dalam konteks yang beragam dan dalam kadar eksistensial. Kuda yang dibayangkan sebagai makhluk hidup yang konkrit, yang menarik pedati, yang menjadi sahabat seorang ksatria, yang mengalami kelelahan dalam perjalanan menuju medan perang, dan lain sebagainya.

Demikianlah, seorang seniman legendaris, Vincent Van Gogh, melukis sepasang sepatu petani, tetapi sepatu yang dilukisnya itu tidak ia pahami sebagai benda mati, melainkan sepatu yang telah menjalani hari-hari melelahkan bersama seorang petani yang memakainya, sepatu yang mengisahkan riwayat hidup petani itu sendiri.

Seorang penulis, entah ia seorang penyair, novelis, cerpenis (atau kapasitas ketiganya dalam satu orang) mestilah mahir dalam mengisahkan, menarasikan, mewacanakan, memainkan, dan mendadarkan sebuah sudut pandang yang sebelumnya tidak dipikirkan oleh mereka yang bukan penulis atau oleh penulis sebelumnya.

Sudut pandang inilah yang akan turut menentukan apakah Anda seorang penulis yang berhasil atau sebaliknya. Sudah banyak penulis hebat yang melahirkan karya-karya hebat sebelum Anda, dan karena itu, Anda dapat menawarkan materi yang sesuai jaman atau mengeksplorasi bentuk dan eksperimentasi narasi itu sendiri, atau yang juga disebut strategi literer.

Pelajaran pertama seorang penulis adalah menuliskan dan menarasikan apa yang akrab dengan dirinya. Dengan pengalaman, perasaan, dan kehidupannya sendiri. Sebagai contoh, para penulis hebat dikenal sebagai para narator ulung yang mengisahkan dirinya sendiri, yang acapkali sebenarnya bersifat personal dan eksistensial......


kehidupannya sendiri, kesekitarannya sendiri, segala yang akrab dengan dirinya sendiri. Itulah yang disebut sebagai kejujuran. Tuliskan apa yang Anda rasakan, Anda pikirkan, Anda alami dalam hidup Anda. Terminal pemberangkatan pertama menulis adalah kehidupan dan kesekitaran Anda sendiri. Top of Form


Jumat, 12 Agustus 2016

Seni Achdi Gunawan (Krakatau Art Painting)

Potret Sayid Ali Khamenei. 
Potret Vladimir Putin. 
 Potret Diri.
Potret Mahmoud Ahmadinejad.

Senin, 11 Juli 2016

Interpretasi Alegoris Mazhab Alexandria (Kajian Teologi, Sastra, dan Hermeneutik)


Foto: Persatuan dan Solidaritas Muslim Sunni, Kristen (Ortodoks), dan Muslim Syi’ah dalam Melawan ISIS (Wahabi Takfiri, Amerika, Israel, Rezim Saudi, NATO dkk)

Dalam sejarah Kristiani, Alexandria sudah tentu bukan nama yang asing bagi sejarawan dan para sarjana yang konsen pada sejarah dan teologi Kristiani, sebagaimana Anthiokia yang merupakan pusat Kristen Ortodoks Suriah. Salah-satu sumbangan Alexandria dalam sejarah Kristen adalah Sekolah Teologi mereka yang bahkan murid-muridnya dari Barat (Yunani dll). 

Secara teologis dan filosofis, cara pandang utama Alexandria menganut paham alegorisme, filsafat (Yunani), dan menekankan “pengetahuan” (gnosis) yang saling berkaitan satu sama lain. Selain itu masih ada karakteristik yang mengikutinya, yang dapat ditemukan di dalam pembahasan mengenai: 

[1] Rahmat Pembaharuan (Deification), yang menekankan bahwa “hidup baru” merupakan rahmat Ilahi yang diterima melalui Roh Kudus yang menyatukan kita dengan Bapa dalam Yesus Kristus

[2] Keutuhan Hidup ada dalam Yesus Kristus 

[3] Soteriologi, di mana penyelamatan hanya dapat dikerjakan oleh seorang yang sehakekat dengan Allah dan yang tanpa menanggalkan keilahiannya menjadi satu dengan manusia. Bahayanya, batas antara ke-Allah-an dan kemanusiaan menjadi kabur 

[4] Inkarnasi (Kristologi) lebih dipikirkan menurut pola Yohanes 1:14 (Logos itu ”telah menjadi manusia atau daging) daripada menurut pola Filipus 2:7 (Mazhab Anthiokia) (Logos “mengambil rupa seorang hamba”, menjadi “sama dengan manusia”). Dominasi Allah menjadi terlalu besar. Bahaya monophysitisme ini menjadi nyata dalam Eutyches (378-454): ‘Kemanusiaan Kristus tenggelam dalam ke-Allah-an, bagaikan setetes air dalam laut’.

Salah satu tokoh Alegorisme Alexandria yang cukup masyhur adalah Philo (20 SM-50M), yang membuat sebuah metode sistematis untuk menghubungkan jurang antara wahyu dalam Perjanjian Lama dan Filsafat Platonis.

Sementara itu, kata “alegori” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu “alla” yang berarti “lain” (other), dan “agoreuo” yang berarti “menyatakan” (proclaim). Hal ini awalnya menunjuk pada seorang figur ahli pidato, Cicero yang mendefinisikan “alegori” sebagai sebuah “aliran lanjutan dari metafora-metafora (kiasan)”.

Menurut Santo Agustinus (354-430), alegori adalah sebuah model pidato atau khutbah, di mana sesuatu itu dapat dimengerti oleh yang lain. Dalam hal ini, alegori dibedakan dari “perumpamaan”. Alegori lebih merupakan sebuah penyajian sistematis dari segi-segi (features) ide yang berbeda, yang mengilustrasikan “isi” dengan penjelasan yang terperinci (exposition) dari kebenaran-kebenaran teoritis daripada sebuah nasihat praktis.

Dalam eksegese (penafsiran) alegoris, contohnya, teks suci (dalam kitab suci) diperlakukan hanya sebagai simbol atau alegori dari kebenaran-kebenaran spiritual.

Ada tiga macam metode pendekatan alegoris yang digunakan. PertamaAlegori Figuratif, dalam Kitab Suci penggambaran ini dapat  ditemukan dalam 1 Korintus 13: 1-13 (Kasih). Kedua, Alegori Naratif, penggambaran ini dapat ditemukan dalam perikop mengenai “Orang Samaria yang Baik Hati” (Lukas 10: 30-35), dan KetigaAlegori Tipologis, penggambaran ini merupakan sebagian besar bentuk karakteristik biblis, metode eksegese (penafsiran) Perjanjian Baru yang memperlakukan peristiwa-peristiwa dan figur-figur Perjanjian Lama sebagai kombinasi realitas historis dengan maksud profetis.

Menurut Santo Agustinus, alegori yang para penulis Perjanjian Baru temukan dalam Perjanjian Lama tidak hanya figur-figur retoris melainkan kenyataan-kenyataan historis (non in verbis sed in facto).

Alegori Tipologis dikritik oleh Antiochene Criticism (Golongan atau Mazhab Anthiokia) yang membedakan antara alegori dan tipologi. Alegori didefinisikan sebagai sebuah metode, di mana realitas keduniawian diinterpretasikan secara simbolik untuk menunjuk pada realitas surgawi. Sedangkan, tipologi, di mana realitas historis diinterpretasikan sebagai “pemberi tanda yang lain”, khususnya pribadi dan karya Kristus. Metode Alegori secara umum membawa kebingungan (bahkan dalam zaman patristik).

Lalu kemudian muncullah Origenes sebagai orang pertama yang membawa kedua macam interpretasi alegori dan tipologi ini dalam sebuah sintesis yang kuat. Menurutnya, kata-kata dalam Kitab Suci itu seharusnya diwujudkan dalam jiwa setiap orang melalui tiga jalan: 

[1Literal sense, memperhatikan sejarah dan arti secara literal (harfiah), dan hal ini diperuntukkan bagi orang-orang sederhana (awam dan umat biasa kebanyakan) 

[2Moral sense, memahami arti moral, atau mempelajari teks-teks untuk menemukan kemajuan bagi jiwa, hal ini  diperuntukkan bagi orang-orang yang lebih maju 

[3Spiritual sense, kemajuan jiwa diperjuangkan melalui rasa-perasaan spiritual dalam relasinya dengan Kristus yang mengandung bayang-bayang rahmat, hal ini diperuntukkan bagi orang-orang yang “perfect” (lebih maju lagi) atau kaum khusus. 


Sementara itu golongan atau Mazhab Anthiokia (Suriah) tetap yakin bahwa level pertama untuk menginterpretasikan (Kitab Suci) adalah melalui level historis. Mereka memberi perhatian untuk revisi teks, sebuah kesetiaan yang murni untuk kejelasan makna yang natural (wajar, alamiah) berdasarkan penggunaan bahasa dan situasi lingkungan penulis pada saat itu, dan memperhatikan faktor-faktor manusiawi di dalamnya.

Rabu, 06 Juli 2016

Jiwa Bahari Bangsa Viking


oleh Zabir Z.

Tulisan singkat ini tentang pelaut Eropa Utara yang terkenal dalam panggung sejarah. Mereka adalah orang-orang Viking, orang-orang utara, pada abad ke-9, yang dikenal sebagai penjelajah ulung.

Norwegia, Finlandia, Denmark, Swedia, dan Islandia adalah negara-negara yang terletak di Eropa Utara. Kawasan ini disebut Skandinavia, yang mana merupakan rumah bagi Bangsa Norse atau lebih dikenal dengan sebutan Viking. Seperti bangsa Punisia di Asia era Sebelum Masehi, Viking adalah bangsa pelaut dengan sejarah maritim yang tua. Identik dengan kapal dengan layar tunggal yang khas.

Kapal-kapal Viking masa awal memampukan mereka menjelajahi Laut Baltik dan melakukan ekspedisi ke wilayah-wilayah antara Denmark, Norwegia, dan Swedia. Sementara kapal-kapal mereka yang lebih baik menjangkau wilayah yang lebih jauh dari Laut Utara ke Inggris atau lebih jauh lagi di luar kawasan itu.

Bangsa Viking mulai bermukim di pulau-pulau antara Skandinavia dan Skotlandia sekitar tahun 820 M (kemungkinan lebih awal lagi). Mereka mendiami pulau-pulau tersebut karena merasa seperti berada di kampung halaman sendiri di daratan Skandinavia. Pemukiman baru yang memberikan tempat untuk membangun rumah bagi orang Viking.

Di tahun 875 M, semakin banyak orang Viking yang bermigrasi. Keluar dari Norwegia untuk menghindari usaha seorang Harald Fairhair (850-932) yang bertekad menyatukan Norwegia. Para penyintas ini kemudian menetap di wilayah yang sekarang disebut pulau-pulau Skotlandia, Kepulauan Faroe, Orkney dan Shetland, Hebrida, dan Isle of Man. Orang-orang Viking yang menetap di kawasan tersebut tetap berhubungan dengan kerabat mereka satu sama lain di tempat yang berbeda melalui jalur laut.

Tak berhenti sampai di situ, penjelajahan orang Viking terus berlanjut. Kapal-kapal mereka menyusuri Samudera Atlantik yang tidak (belum) dikenal. Beberapa pelayaran hanya menemukan lautan luas seperti tak berujung, yang lainnya tidak kembali karena hilang di laut. Jiwa bahari orang Viking menuntun mereka hingga menemukan pulau Islandia.

Naddodd, pemukim Viking pertama di Kepulauan Faroe diduga menjadi orang Viking pertama yang menemukan Islandia pada tahun 860. Penemuan yang tidak sengaja, karena ketika berlayar kapalnya terbawa arus dan tersesat. Ada sumber yang menyebut bahwa ketika Naddodd tiba di Islandia, pulau itu telah berpenghuni. Para biarawan Irlandia yang kemudian pergi saat orang Viking tiba. Jika benar, kemungkinan mereka (para biarawan) hanyalah kelompok kecil yang tidak menempati suatu pemukiman berskala besar.

Ketika orang Viking tiba di Islandia, iklim di pulau tersebut lebih hangat. Nama Islandia (Iceland) berasal dari bongkahan es yang mengambang di laut tepat di lepas pantai. Pemukim Viking pertama yang menetap di Islandia dipimpin oleh Ingólfur Arnarson. Selanjutnya kelompok Viking lainnya mengikuti jejak Amarson.

Pada 870 M, telah bertebaran pemukiman tetap di Islandia. Dalam kurun waktu 50 tahun, jumlah orang Viking di Islandia telah mencapai 50.000-60.000 jiwa. Di tahun 930 M, Gunnbjörn Ulf-Krakuson seorang pelaut Viking Islandia melihat daratan di barat ketika kapalnya dihempaskan badai. Namun Krakuson tidak mendarat di sana. Belum ada catatan adanya pelaut lain yang mendarat di tanah sebelah barat Islandia tersebut. Hingga pada 980 M, Erik Thorvaldsson (950-1003) atau Erik si Merah melaksanakan pelayaran ke dunia baru itu.

Erik Si Merah adalah Viking asal Norwegia. Ia meninggalkan tanah kelahirannya untuk menghindari suatu konflik dan bermukim di Islandia. Tetapi di sana ia dicap sebagai pelanggar hukum. Pun setelah ia kembali ke Islandia usai melaksanakan ekspedisi ke barat, kembali dicap sebagai pelanggar hukum.

Erik memimpin ekspedisi ke pulau sebelah barat Islandia. Ia menamakan pulau besar itu, Greenland (Tanah Hijau) dan menjadi pemukim pertama di sana. Seperti Islandia, iklim di Greenland saat itu lebih hangat dibandingkan masa sekarang. Kemungkinan Erik menamakannya Greenland berdasarkan keadaannya pada masa itu. Erik bermukim di ujung selatan pulau itu, lokasi yang benar-benar dapat ditinggali. Namun, Greenland bukan penghasil kayu dalam jumlah besar.

Suatu kebutuhan bagi bangsa Viking untuk membuat bangunan, utamanya kapal. Para pemukim di Greenland malah keluar mencari bahan baku tersebut di lokasi yang lebih dekat dari daratan utama (Skandinavia) dan pulau-pulau Skotlandia. Orang Viking bermukim di Greenland (Tanah Hijau) bagian selatan.

Sebelumnya, sekitar 978 M Snaebjorn Gabi, pelaut Viking yang lain, berusaha menempati Gunnbjorn Skerries yang terletak di Tanah Hijau tepat di sebelah barat Islandia, namun gagal. Ada pun pemukiman Viking di Greenland tersebar pada 3 titik: [1] Pemukiman Timur, [2] Pemukiman Tengah, dan [3] Pemukiman Barat.

Seperti disebutkan sebelumnya, ketiga pemukiman ini berada di Greenland bagian selatan. Sekitar 1341 M, Pemukiman Barat digantikan oleh orang Eskimo. Berlanjut 1380 M, orang Eskimo menduduki Pemukiman Tengah. Dan pada akhir abad kelima belas pemukiman terakhir bangsa Norse alias Viking di Greenland lenyap.

Untuk lebih lanjut mengenai Sejarah Norseman, pembaca dapat menemukannya di buku Martin J. Dougherty, A History Of Norse People (2013).

Rabu, 22 Juni 2016

Cinta Abadi Hannah dan Mikhail


Ketika aku berjalan kaki pulang ke rumah di suatu hari yang dingin, kakiku tersandung sebuah dompet yang tampaknya terjatuh tanpa sepengetahuan pemiliknya. Aku memungut dan melihat isi dompet itu kalau-kalau aku bisa menghubungi pemiliknya. Tetapi, dompet itu hanya berisi uang sejumlah tiga Dollar dan selembar surat kusut yang sepertinya sudah bertahun-tahun tersimpan di dalamnya. Satu-satunya yang tertera pada amplop surat itu adalah alamat si pengirim. Aku membuka isinya sambil berharap bisa menemukan petunjuk.

Lalu aku baca tahun “1924″. Ternyata surat itu ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang anggun di atas kertas biru lembut yang berhiaskan bunga-bunga kecil di sudut kirinya. Tertulis di sana, “Sayangku Mikhail”, yang menunjukkan kepada siapa surat itu ditulis yang ternyata bernama Mikhail. Penulis surat itu menyatakan bahwa ia tidak bisa bertemu dengannya lagi karena ibunya telah melarangnya. Tetapi, meski begitu ia masih tetap mencintainya. Surat itu ditandatangani oleh Hannah. Surat itu begitu indah.

Tetapi tetap saja aku tidak bisa menemukan siapa nama pemilik dompet itu. Mungkin bila aku menelepon bagian penerangan mereka bisa memberitahu nomor telepon alamat yang ada pada amplop itu. “Operator,” kataku pada bagian peneragan, “Saya mempunyai permintaan yang agak tidak biasa, sedang berusaha mencari tahu pemiliki dompet yang saya temukan di jalan. Barangkali anda bisa membantu saya memberikan nomor telepon atas alamat yang ada pada surat yang saya temukan dalam dompet tersebut?

Operator itu menyarankan agar aku berbicara dengan atasannya, yang tampaknya tidak begitu suka dengan pekerjaan tambahan ini. Kemudian ia berkata, “Kami mempunyai nomor telepon alamat tersebut, namun kami tidak bisa memberitahukannya pada Anda.” Demi kesopanan, katanya, ia akan menghubungi nomor tersebut, menjelaskan apa yang saya temukan dan menanyakan apakah mereka berkenan untuk berbicara denganku. Aku menunggu beberapa menit.

Tak berapa lama ia menghubungiku, katanya, “Ada orang yang ingin berbicara dengan Anda.” Lalu aku tanyakan pada wanita yang ada di ujung telepon sana, apakah ia mengetahui seseorang bernama Hannah. Ia menarik nafas, “Oh, kami membeli rumah ini dari keluarga yang memiliki anak perempuan bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun yang lalu!” “Apakah anda tahu dimana keluarga itu berada sekarang?” tanyaku. “Yang aku ingat, Hannah telah menitipkan ibunya di sebuah panti jompo beberapa tahun lalu,” kata wanita itu. “Mungkin, bila Anda menghubunginya mereka bisa mencaritahu di mana anak mereka, Hannah, berada.”

Lalu ia memberiku nama panti jompo tersebut. Ketika aku menelepon ke sana, mereka mengatakan bahwa wanita, ibu Hannah, yang aku maksud sudah lama meninggal dunia. Tapi mereka masih menyimpan nomor telepon rumah di mana anak wanita itu tinggal. Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon nomor yang mereka berikan. Kemudian, di ujung telepon sana, seorang wanita mengatakan bahwa Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo.

Semua ini tampaknya konyol,” kataku pada diriku sendiri. Mengapa pula aku mau repot-repot menemukan pemilik dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan surat yang ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu? Tapi, bagaimana pun aku menelepon panti jompo tempat Hannah sekarang berada. Seorang pria yang menerima teleponku mengatakan, “Ya, Hannah memang tinggal bersama kami.” Meski waktu itu sudah menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta agar bisa menemui Hannah. “Ok,” kata pria itu agak bersungut-sungut, “bila Anda mau, mungkin ia sekarang sedang menonton TV di ruang tengah.”

Aku mengucapkan terima kasih dan segera berkendara ke panti jompo tersebut. Gedung panti jompo itu sangat besar. Penjaga dan perawat yang berdinas malam menyambutku di pintu. Lalu, kami naik ke lantai tiga. Di ruang tengah, perawat itu memperkenalkan aku dengan Hannah. Ia tampak manis, rambut ubannya keperak-perakan, senyumnya hangat dan matanya bersinar-sinar. Aku menceritakan padanya mengenai dompet yang aku temukan. Aku pun menunjukkan padanya surat yang ditulisnya.

Ketika ia melihat amplop surat berwarna biru lembut dengan bunga-bunga kecil di sudut kiri, ia menarik nafas dalam-dalam dan berkata, “Anak muda, surat ini adalah hubunganku yang terakhir dengan Mikhail.” Matanya memandang jauh, merenung dalam-dalam. Katanya dengan lembut, “Aku amat mencintainya. Saat itu aku baru berusia 16 tahun, dan ibuku menganggap aku masih terlalu kecil. Oh, Ia sangat tampan. Ia seperti Sean Connery, si aktor itu.” “Ya,” lanjutnya. Mikhail Goldstein adalah pria yang luar biasa. “Bila kau bertemu dengannya, katakan bahwa aku selalu memikirkannya. Dan,…….

Ia ragu untuk melanjutkan, sambil menggigit bibir ia berkata,……katakan, aku masih mencintainya. Tahukah kau, anak muda,” katanya sambil tersenyum. Kini air matanya mengalir, “aku tidak pernah menikah selama ini. Aku pikir, tak ada seorang pun yang bisa menyamai Mikhail.” Aku berterima kasih pada Hannah dan mengucapkan selamat tinggal. Aku menuruni tangga ke lantai bawah. Ketika melangkah keluar pintu, penjaga di sana menyapa, “Apakah wanita tua itu bisa membantu Anda?” Aku sampaikan bahwa Hannah hanya memberikan sebuah petunjuk, “Aku hanya mendapatkan nama belakang pemilik dompet ini. Aku pikir, aku biarkan sajalah dompet ini untuk sejenak. Aku sudah menghabiskan hampir seluruh hariku untuk menemukan pemilik dompet ini.”

Aku keluarkan dompet itu, dompat kulit dengan benang merah disisi-sisinya. Ketika penjaga itu melihatnya, ia berseru, “Hei, tunggu dulu. Itu adalah dompet Pak Goldstein! Aku tahu persis dompet dengan benang merah terang itu. Ia selalu kehilangan dompet itu. Aku sendiri pernah menemukannya dompet itu tiga kali di dalam gedung ini.”

“Siapakah Pak Goldstein itu?” tanyaku. Tanganku mulai gemetar. “Ia adalah penghuni lama gedung ini. Ia tinggal di lantai delapan. Aku tahu pasti, itu adalah dompet Mike Goldstein. Ia pasti menjatuhkannya ketika sedang berjalan-jalan di luar.” Aku berterima kasih pada penjaga itu dan segera lari ke kantor perawat. Aku ceritakan pada perawat di sana apa yang telah dikatakan oleh si penjaga. Lalu, kami kembali ke tangga dan bergegas ke lantai delapan. Aku berharap Pak Goldstein masih belum tertidur. Ketika sampai di lantai delapan, perawat berkata, “Aku pikir ia masih berada di ruang tengah. Ia suka membaca di malam hari. Ia adalah Pak tua yang menyenangkan.”

Kami menuju ke satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Di sana duduklah seorang pria membaca buku. Perawat mendekati pria itu dan menanyakan apakah ia telah kehilangan dompet. Pak Goldstein memandang dengan terkejut. Ia lalu meraba saku belakangnya dan berkata, “Oh ya, dompetku hilang!” Perawat itu berkata, “Tuan muda yang baik ini telah menemukan sebuah dompet. Mungkin dompet Anda?” Aku menyerahkan dompet itu pada Pak Goldstein. Ia tersenyum gembira. Katanya, “Ya, ini dompetku! Pasti terjatuh tadi sore. Aku akan memberimu hadiah.” “Ah tak usah,” kataku. “Tapi aku harus menceritakan sesuatu pada Anda. Aku telah membaca surat yang ada di dalam dompet itu dengan harap aku mengetahui siapakah pemilik dompet ini.”

Senyumnya langsung menghilang. “Kamu membaca surat ini?” “Bukan hanya membaca, aku kira aku tahu dimana Hannah sekarang.” Wajahnya tiba-tiba pucat. “Hannah? Kau tahu dimana ia sekarang? Bagaimana kabarnya? Apakah ia masih secantik dulu? Katakan, katakan padaku,” ia memohon. “Ia baik-baik saja, dan masih tetap secantik seperti saat anda mengenalnya,” kataku lembut. Lelaki tua itu tersenyum dan meminta, “Maukah Anda mengatakan padaku dimana ia sekarang? Aku akan meneleponnya esok.” Ia menggenggam tanganku, “Tahukah kau anak muda, aku masih mencintainya. Aku belum pernah menikah, aku selalu mencintainya.”

Mike,” kataku, “Ayo ikuti aku.” Lalu kami menuruni tangga ke lantai tiga. Lorong-lorong gedung itu sudah gelap. Hanya satu atau dua lampu kecil menyala menerangi jalan kami menuju ruang tengah di mana Hannah masih duduk sendiri menonton TV. Perawat mendekatinya perlahan.

Hannah,” kata perawat itu lembut. Ia menunjuk ke arah Mikhail yang sedang berdiri di sampingku di pintu masuk. “Apakah Anda tahu pria ini?” Hannah membetulkan kacamatanya, melihat sejenak, dan terdiam tidak mengucapkan sepatah katapun. Mikhail berkata pelan, hampir-hampir berbisik, “Hannah, ini aku, Mikhail. Apakah kau masih ingat padaku?” Hannah gemetar, “Mikhail! Aku tak percaya. Mikhail! Kau! Mikhailku!” Mikhail berjalan perlahan ke arah Hannah. Mereka lalu berpelukan. Perawat dan aku meninggalkan mereka dengan air mata menitik di wajah kami. “Lihatlah,” kataku. “Lihatlah, bagaimana Tuhan berkehendak. Bila Ia berkehendak, maka jadilah.”

Sekitar tiga minggu kemudian, di kantor aku mendapat telepon dari rumah panti jompo itu. “Apakah Anda berkenan untuk hadir di sebuah pesta pernikahan di hari Minggu mendatang? Mikhail dan Hannah akan menikah!” Dan pernikahan itu, pernikahan yang indah. Semua orang di panti jompo itu mengenakan pakaian terbaik mereka untuk ikut merayakan pesta. Hannah mengenakan pakaian abu-abu terang dan tampak cantik. Sedangkan Mikhail mengenakan jas hitam dan berdiri tegak. Mereka menjadikan aku sebagai wali mereka. Rumah panti jompo memberi hadiah kamar bagi mereka.

Dan bila anda ingin melihat bagaimana sepasang pengantin berusia 76 dan 79 tahun bertingkah seperti anak remaja, Anda harus melihat pernikahan pasangan ini. Akhir yang sempurna dari sebuah hubungan cinta yang tak pernah padam selama 60 tahun.