Label

Sabtu, 18 Oktober 2014

ZPE (Zero Point Energy) –Energi Tanpa Polusi?


Beberapa dekade terakhir ini para ilmuwan memimpikan sumber energi baru yang murah, aman, bebas polusi dan melimpah. Mungkinkah energi ini dapat terwujud justru dari ruang hampa? Pada sekitar abad ke-17 orang berpendapat untuk membuat sebuah ruang hampa adalah cukup dengan menghisap keluar semua materi yang mengisi ruang tersebut yang dalam hal ini adalah molekul-molekul udara. Kemudian pada abad ke-19 orang menyadari dalam ruang hampa yang dibuat dengan cara demikian, akan masih tersisa radiasi thermal, yaitu radiasi disebabkan oleh perbedaan temperatur. Untuk menghilangkan radiasi thermal, cukup dengan mendinginkan ruang tersebut pada temperatur nol absolut. Secara teori, pada temperatur ini tidak ada radiasi thermal dan semua partikel akan diam serta ruangan pun akan kosong dari partikel yang berseliweran.

Namun hasil penelitian mutakhir menunjukkan hal yang baru. Pada kondisi hampa seperti di atas masih terdapat radiasi yang tetap ada walau temperatur telah diturunkan hingga nol absolut. Radiasi ini disebut dengan "zero point radiation", dinamakan demikian karena sesuai dengan sifatnya yang tetap muncul pada temperatur nol absolut, dan energi pembangkitnya disebut dengan "zero point energy" (ZPE).

Keberadaan ZPE sesungguhnya telah diperkirakan secara teoritis dalam teori mekanika Quantum. Paul Dirac, salah seorang pentolan pendiri teori mekanika quantum, pernah mengemukakan bahwa sebuah ruang hampa sesungguhnya di dalamnya berisi partikel berenergi negatif. Hal ini menumbuhkan konsep baru bahwa "hampa secara fisik" tidaklah sama sekali hampa.

Mekanika quantum meramalkan bahwa partikel-partikel tak terlihat ini bisa berubah wujud menjadi materi nyata dalam waktu yang singkat dan menghasilkan gaya yang dapat terukur. Pernyataan Dirac di atas adalah salah satu implikasi dari prinsip ketidak pastian yang dinyatakan oleh seorang ilmuwan dari Jerman bernama Werner Heisenberg pada tahun 1927. Prinsip ini pada intinya mengatakan bahwa mustahil kita mengetahui secara eksak semua properti yang dimiliki oleh suatu partikel secara sekaligus melainkan akan selalu terdapat ketidak-pastian pada kuantitas tertentu. Misalnya, kita tidak dapat mengetahui kedudukan dan kecepatan partikel kedua-duanya secara eksak. Semakin teliti kita mengukur kecepatan sebuah partikel, kedudukannya makin tidak teliti, dan begitu juga sebaliknya. Ketidak pastian ini berlaku secara umum, tidak bergantung dari metode dan instrument yang digunakan, dan tidak dapat dihindari.

Dasar dari prinsip ketidak pastian dan mekanika quantum adalah bahwa terdapat fenomena fundamental yang tidak dapat diprediksikan oleh hukum-hukum fisika klasik. Sebagai contoh: menurut hukum fisika klasik, sebuah bandul yang berayun perlahan-lahan akan melambat berayun karena gaya gesek dan akhirnya diam di titik kesetimbangan. Dalam teori mekanika kuantum, bandul tersebut tidak akan pernah benar-benar diam di titik kesetimbangan. Bandul tersebut akan selalu berayun secara acak di sekitar titik kesetimbangannya. Gerakan acak ini disebabkan oleh suatu fenomena yang dikenal dengan fluktuasi quantum. Namun secara praktis sangat sulit mengamati fluktuasi quantum pada benda relatif besar semisal sebuah bandul jam. Fluktuasi quantum lebih teramati pada materi sebesar atom atau elektron.

ZPE adalah hasil dari fluktuasi quantum yang timbul secara acak dari energi ruang hampa sebagaimana diramalkan oleh prinsip ketidak pastian Heisenberg. Pada kasus bandul di atas, energi yang menyebabkan bandul terus bergerak di sekitar titik diamnya adalah ZPE. Walaupun ZPE dalam kasus di atas sangat kecil. Namun terdapat sangat banyak kemungkinan modus propagasi yang penjumlahannya akan menghasilkan ZPE yang sangat besar. Dalam beberapa kasus, fluktuasi yang terjadi harus cukup besar untuk menciptakan partikel secara spontan dari kehampaan, walau akhirnya akan lenyap kembali sebelum melanggar prinsip ketidak-pastian.

Dari semua fenomena fluktuasi zero point, fluktuasi dari energi elektoromagnetik yang paling mudah dideteksi dan diukur. Salah satu eksperimen yang pernah dilakukan adalah dikenal dengan efek Casimir (di ambil dari nama ilmuwan yang pertama kali menemukannya, Hendrik B.G Casimir), di mana efek ini menunjukkan jika terdapat dua plat metal saling didekatkan dalam jarak yang sangat-sangat dekat (pada kisaran sekitar satu per sejuta meter) akan timbul gaya saling tarik menarik antara kedua plat tersebut. Gaya ini tetap muncul walaupun dalam kondisi hampa udara dan pada suhu nol absolut, yang menjadi bukti adanya ZPE.

ZPE di duga berperan penting dalam berbagai fenomena lain. Mengapa gas helium tidak dapat dibekukan (helium adalah satu-satunya unsur yang tidak dapat mencapai fase zat padat walau temperaturnya dibuat nol absolut) –diduga ZPE-lah penyebabnya. Beberapa penelitian lain menemukan anomali fisika yang diduga akibat dari konversi energi dari ZPE. Akhir-akhir ini fisikawan juga mencoba menghubungkan gaya gravitasi dan elektromagnetik sebagai implikasi dari ZPE.

Lalu pertanyaannya adalah: Seberapa besar potensi ZPE? Dua orang ilmuwan, Richard Feynman dan John Wheeler, menghitung bahwa energi dari ruang vakum seukuran bola lampu biasa, dapat memiliki kandungan energi yang lebih dari cukup untuk menguapkan semua air di lautan! Sungguh merupakan potensi yang sangat besar. Yang menantang adalah bagaimana menyadap energi sebesar itu untuk dimanfaatkan. Bila manusia mampu menciptakan teknologi ZPE, masalah krisis energi akan terpecahkan dan perusakan lingkungan akibat polusi dari penggunaan bakar minyak atau limbah nuklir dapat dihilangkan. Bahkan bukan tidak mungkin bagi manusia dapat pergi menjelajah ruang angkasa dengan mesin ZPE.

Sumber: Astronomi.us - Blog Astronomi Indonesia

Jumat, 17 Oktober 2014

Mengenali Azerbaijan


AZERBAIJAN KUNA

Para ilmuan mendefinisikan Azerbaijan sebagai suatu wilayah yang kini dihuni oleh bangsa Azerbaijan-Turk; yaitu orang-orang yang mendiami sebuah kawasan yang membentang dari lereng bagian Utara pegunungan Kaukasus di sepanjang Laut Kaspia hingga dataran tinggi Iran. Pada penghujung millennium ke-4 SM dan awal millennium ke-3 SM mulai tampak adanya pertumbuhan lapisan atas dalam kelas-kelas sosial yang mempunyai ciri keunggulan peradaban proto-urban dan telah memiliki embrio struktur kenegaraan. Pada masa ini aliansi suku-suku bangsa telah membentuk sebuah Negara Aratta, Negara Lullubum (sejak 2300 SM) dan Negara Gutian (setelah paruh kedua 3000 SM). Pada tahun 2175 SM rakyat Gutian berhasil menundukkan Sumer dan Akkad serta menguasainya hingga satu abad lamanya.

Antara abad 9 hingga 7 SM, kerajaan Mannaean mengguncang daerah sekitar Danau Urmia. Kerajaan Simmeria-Scythia-Saka tumbuh pesat pada abad ke-7 dan 6 SM di bagian Selatan–Barat Daya Azerbaijan. Pada pertengahan abad 6 SM kerajaan Mannaean runtuh. Peran penting dalam sejarah Azerbaijan dimainkan kerajaan Atropaten yang muncul di bagian Selatan pada thun 520an SM. Kerajaan ini sangat kental dipengaruhi tradisi Hellenisme. Negara Albania di Kaukasus berdiri di sebelah Utara Azerbaijan pada penghujung millennium ke-4 dan awal millennium ke-3 SM dengan sungai Araz sebagai garis perbatasan di sebelah Selatan. Negara ini berhasil mempertahankan wilayahnya dari serangan-serangan musuhnya hingga pada akhirnya ditaklukkan Romawi pada tahun 66 SM. Bangsa Albania terdiri dari berbagai kebangsaan yang pada umumnya berbicara dalam bahasa Turki.

AZERBAIJAN PADA ABAD PERTENGAHAN

Seiring dengan invasi bangsa Arab, maka sejak awal abad ke-8 M Islam menjadi agama dominan di Azerbaijan. Beberapa Negara baru didirikan di wilayah Azerbaijan pada abad 9 M. Negara Shirwan dengan ibukotanya Shemakha, merupakan Negara adikuasa yang diperintah dinasti Mezyedi. Dinasti inilah yang terutama sekali banyak memainkan peran penting dalam sejarah Azerbaijan hingga abad 16 M. Disamping itu beberapa Negara merdeka seperti Sajid, Salarid, Rvvadid (masing-masing berpusat diibukota Maragha, Ardabil dan Tabriz) serta Shaddadids (dengan ibukota Ganja) tumbuh di wilayah Azerbaijan pada abad 9 hingga abad 11 M. Azerbaijan pernah pula dikuasai dinasti Seljuk sejak akhir abad 11 M. Setelah berkuasa dari tahun 1136-1225, pemerintahan Atabek Eldegiz di Azerbaijan runtuh.

Keragaman populasi yang terdiri dari penduduk asli yang berbahasa Turki dan keturunan bangsa Turki serta kesamaan keyakinan yang dianut (Islam) telah memungkinkan berlangsungnya proses konsolidasi bangsa Azerbaijan yang mencapai puncaknya pada abad 11 dan 12 M. Pada periode ini pula tampak perkembangan budaya Azerbaijan yang mengagumkan yang telah menjadi warisan dunia berupa para filosof terkemuka, arsitek, puisikus dan ilmuan-ilmuan terkenal. Kejayaan pemikiran social dan budaya Azerbaijan pada era ini dapat dilihat dalam bentuk karya Nizami Ganjavi (1141-1209), puisikus sekaligus filosof yang hingga kini dipandang sebagai salah satu permata warisan khazanah peradaban dunia.

Sejak pertengahan abad 13 M, Negara-negara di Azerbaijan jatuh dalam kekuasaan dinasti Mongol, Khulagu (1258-1356). Pada pertengahan abad 14 M, seiring dengan bangkintya kesadaran para penduduk pribumi untuk mengusir para penjajah, tokoh feudal setempat yang bernama Jalairid memimpin pergerakan perjuangan dan mengambil alih kekuasaan di Azerbaijan. Dengan dukungan para bangsawan Azerbaijan lainnya, ia berhasil membentuk Negara Jalairid (1359-1410). Sejak akhir abad 14 M, Azerbaijan kembali diduduki Tamerlan dan menjadi panggung teater dalam epoh peperangannya melawan Horde Emas.

Dinasti-dinastiAzerbaijan “Qara-Qoyunlu” dan “Aq-Qoyunlu” memerintah Azerbaijan pada tahun 1410-1468 dan 1468-1501. Di bawah pemerintahan kedua dinasti tersebut kekuatan Azerbaijan telah tumbuh secara signifikan. Pada tahun 1501 negara Safawid didirikan di Azerbaijan, yang kemudian disebut pula dengan dinasti Azerbaijan yang beribukota di Tabriz. Di bawah dinasti ini, seluruh wilayah Azerbaijan berhasil dipersatukan untuk pertama kalinya dalam sejarah yakni menjadi satu Negara Azerbaijan. Wilayah dinasti Safawid membentang dari Sungai Amu Darya hingga sungai Euphratdan dari Derben hingga pesisir pantai Teluk Persia. Entitas politik ini terbentuk dan terus berkembang menjadi Negara Azerbaijan secara essensial di mana seluruh kekuatan politik berada dalam kendali kaum bangsawan Azerbaijan. Pegawai-pegawai senior di pengadilan, para jenderal militer dan para gubernur diangkat dari kalangan bangsawan Azerbaijan. Tentara juga dibentuk dari kelompok milisi yang berasal dari suku terkuat dan berkuasa di Azerbaijan. Bahasa Azerbaijan dijadikan bahasa resmi Negara Safawid. Pada akhir abad 16 M, ibukota negara Safawid dipindahkan dari Isfahan dan shah mendapatkan dukungan penuh dari kalangan bangsawan Persia. Di bawah pemerintahan dinasti Azerbaijan, negara ini berkembang dengan corak ke-Persia-an.

KEMERDEKAAN NEGARA-NEGARA KHANAT AZERBAIJAN.

AZERBAIJANTERBAGI ANTARA RUSIA DAN IRAN

Pada pertengahan abad 18 M, seiring dengan melemahnya kekuatan Shah Persia atas wilayah Azerbaijan, negara mengalami perpecahan hingga menjadi duapuluh khanat yaitu: Ardabil, Ganja, Derbent, Erivan, Javad, Karabakh, Karadakh, Khoi, Maku, Maragin, Nakhchivan, Quba, Baku, Sarab, Shirvan, Sheki, Tabriz, Talysh dan Urumi. Selain itu negara juga terpecah belah ke dalam beberapa kesultanan yaitu Kazah-Samshadil, Ilisu, Arash, Gutgashen dan Nagorno-Karabakh, yang banyak dihuni oleh umat Islam Azerbaijan dan sebagian umat Kristen Albania, membentuk suatu bagian integral dalam khanat Karabakh yang meliputi wilayah yang membentang antara sungai Kura dan Araxes. Bangsawan lokal (atau “melikdoms”) dari Dizak, Varanda, Kachen dan Gulistan, yang seluruhnya terletak di antara wilayah pegunungan Karabakh, juga merupakan bagian dari khanat tersebut, dimana penduduknya bersumpah setia kepadanya sebagai daerah bawahan.

Pada penghujung abad 18 dan pada sepertiga awal abad 19 Azerbaijan menjadi kawasan yang diperebutkan Persia, Rusia dan Turki Usmani. Masing-masing kekuatan berupaya menancapkan hegemoninya di Negara yang memiliki situasi dan letak strategis serta menentukan secara geopolitik. Terjadi penambahan jumlah persenjataan khanat guna mempertahankan kedaulatannya. Sementara itu kelompok yang lainpun dipersenjatai sebagai upaya mempertahankan berbagai kepentingannya masing-masing, dan atau untuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang memposisikan lawan menjadi berstatus taklukan. Karenanya pada tanggal 14 Mei 1805 sebuah piagam kesepakatan ditandatangani di tepian sungai Kura antara Khan Ibrahim Khalil dari Azerbaijan yang menyatakan bahwa kemerdekaan khanat Karabakh di Azerbaijan tunduk kepada pemerintahan Rusia. Piagam ini seringkali diangkat ke permukaan akhir-akhir ini untuk membuktikan bahwa secara historis Karabakh merupakan bagian dari Azerbaijan.

Perang pertama Rusia-Persia pada tahun 1804-1813 pecah untuk memperebutkan dominasi atas khanat Azerbaijan dan berakhir dengan pembagian wilayah Azerbaijan bagi Rusia dan Persia. Piagam perdamaian Gulistan yang ditandatangani pada tanggal 12 Oktober 1813 oleh Rusia dan Persia telah memberikan legalitas yang mengakui aneksasi yang dilakukan Rusia terhadap beberapa khanat di bagian Utara Azerbaijan dengan pengecualian daerah Nakhchivan dan Erivan. Perang kedua Rusia-Persia pecah pada tahun 1826-1828 diakhiri dengan penandatanganan piagam perdamaian Turkmanchai pada tanggal 10 Pebruari 1828 yang memuat pernyataan resmi klaim Persia atas wilayah Utara Azerbaijan serta pengakuan terhadap aneksasi yang dilakukan Rusia terhadap Nakhchivan dan Erivan.

Penting pula dicatat bahwa sejumlah khanat di atas, tak terkecuali Karabakh yang dianeksasi Rusia, adalah sejatinya milik Azerbaijan. Kesemuanya adalah bangsa Azerbaijan yang sesungguhnya, wilayah yang dikuasai oleh rakyat Azerbaijan, serta komposisi etnis kelompok elite-feodal yang dominan (baik meliputi para khan itu sendiri, maupun para pemilik tanah serta para pemuka agama dan lainnya). Berdasarkan maklumat Tsar Rusia, Nicholas I, pada tanggal 21 Maret 1828 Khan Nakhchivan dan Erivan dibubarkan serta dialihkan pemerintahannya menjadi sebuah administrasi baru yang disebut “Armenian Oblast” dibawah kendali Rusia. Pada tahun 1849 “Armenian Oblast” berganti nama menjadi provinsi Erivan.

Antara tahun 1828-1920, dalam rangka mengikuti kebijakan yang bertujuan merubah keseluruhan demografi Azerbaijan, bangsa Armenia bermaksud mengusir sejumlah besar penduduk Azerbaijan. Lebih dari dua juta jiwa penduduk Azerbaijan terusir dari kampung halamannya dan sejumlah lainnya tewas terbunuh. Dalam dua peristiwa pada tahun 1828 dan 1854, Rusia menduduki bagian Timur Anatolia dan dalam kesempatan ini pula mereka telah membawa serta seratus ribu orang Armenia pindah ke Kaukasus untuk merebut posisi orang-orang Turki (dan juga Azerbaijan) yang terpaksa beremigrasi atau meninggal dunia.

Pada perang 1877-1878, Rusia merampas wilayah Kars-Ardahan dengan mengusir populasi muslim dan menempatkan tujuh puluh ribu orang Armenia sebagai gantinya. Sekitar enam puluh ribu orang Armenia kembali ditempatkan oleh Rusia di Kaukasus dalam perang 1895-1896. Akhirnya migrasi pada perang dunia I terjadi secara besar-besaran dimana sekitar empat ratus ribu orang Armenia dari Timur Anatolia dipindahkan untuk ditukar dengan empat ratus ribu orang muslim Kaukasus. Menurut informasi McCarthy, antara tahun 1828-1920 sekitar lima ratus enam puluh ribu orang Armenia kembali ditempatkan di Azerbaijan. Dengan kata lain, bahwa secara aktual pasca pendudukan wilayah Selatan Kaukasus oleh Rusia jumlah orang Armenia di bumi Azerbaijan, khususnya di bagian Utara sungai Araxes, telah bertambah secara dramatis.

Ketika kita menengok ke Karabakh, segera kita jumpai catatan-catatan resmi bertahun 1810 (sebelum aneksasi Rusia) bahwa khanat Karabakh memiliki dua belas ribu rumah tangga yang dihuni oleh sembilan ribu lima ratus jiwa orang Azerbaijan dan hanya kurang dari dua ribu lima ratus jiwa orang Armenia. Menurut data tahun 1823, terdapat sebuah kota di wilayah khanat Karabakh yaitu kota Susha dan enam ratus desa yang empat ratus lima puluh diantaranya dihuni oleh orang Azerbaijan dan hanya sekitar seratus lima puluh orang Armenia, dengan total populasi sembilan puluh ribu jiwa. Angka-angka relative tentang rumahtangga Azerbaijan dan Armenia di kota Susha mencatat seribu empat puluh delapan dan empat ratus tujuh puluh empat, dan diperkirakan di daerah perkotaan lain dua belas ribu sembilan ratus dua dan empat ribu tiga ratus tiga puluh satu.

Sejak pertengahan abad 19 M, industri minyak tumbuh pesat di bagian Utara Azerbaijan. Untuk pertama kalinya industri minyak berhasil diperoleh pada tahun 1848. Pada akhir abad 19 M dan awal abad 20 M, daerah ini menyuplai 95% produksi minyak Rusia dan sekitar 50% minyak dunia. Penghargaan-penghargaan dan Rathschilds banyak diraih karena daya tarik minyak tersebut dan telah menjelma menjadi pendapatan yang sangat diperhitungkan. Begitu banyak keuntungan yang diraup berkat hasil industri minyak Azerbaijan.

REPUBLIK PERTAMA: REPUBLIK AZERBAIJAN (1918-1920)

Setelah revolusi 1917 di Rusia, proses keruntuhan dan disintegrasi Imperium tersebut menjadi semakin nyata. Situasi dan kondisi ini banyak dimanfaatkan berbagai etnis di daerah-daerah bekas imperium Rusia untuk membentuk Negara-negara yang merdeka. Maka pada tanggal 28 Mei 1918 Republik Demokrasi Azerbaijan diproklamasikan di daerah bagian Timur kawasan Selatan Kaukasus. Inilah demokrasi parlementer yang pertama di dunia Timur; suatu demokrasi yang memainkan peran historis dalam arus kebangkitan kembali dan pembentukan kesadaran identitas etnik maupun identitas kenegaraan bangsa Azerbaijan. Pada saat itu, pemimpin Azerbaijan adalah Muhammad Amin Rasulzade.

Perkembangan Republik Demokrasi Azerbaijan baik sebagai bangsa dan Negara didasarkan atas idea “Azerbaijanisme” yang memadukan prinsip-prinsip modernisme, Islamisme dan Turkisme, sekaligus menyimbolkan aspirasi rakyat Azerbaijan untuk maju berdasarkan kesadaran dan keyakinan bersama terhadap peradaban Islam dan identitas ke-Turki-an.

Selama tak lebih dari dua tahun eksistensi gemilang parlemen Azerbaijan yang multi-partai dan koalisi pemerintahan memimpin negeri untuk mengambil langkah-langkah penting dalam proses pembentukan bangsa dan pembangunan negara yang meliputi bidang pendidikan, pembentukan angkatan bersenjata, kemandirian secara finansial dan sistem ekonomi, serta menjaga citra baik dan pengakuan dunia internasional terhadap Republik muda ini sebagai anggota penuh dalam konteks percaturan antar bangsa. Pada tanggal 11 Januari 1920 diadakan Konferensi Damai Paris yang menghasilkan Piagam Versailles yang mengabadikan pengakuan secara de fakto kemerdekaan Republik Azerbaijan.

Di penghujung tahun 1919 dan awal tahun 1920, situasi politik di Republik Demokrasi Azerbaijan baik domestic maupun luar negeri mulai memburuk. Azerbaijan terjebak dalam peperangan antara Entente, Rusia dan Persia, di mana masing-masing pihak mencoba menanamkan tujuan politiknya terhadap kawasan penting dan strategis serta kaya minyak ini.

REPUBLIK KEDUA: REPUBLIK SOSIALIS SOVIET-AZERBAIJAN (1920-1991).

Keputusan politik yang diambil pemerintah Bolsheviks di Republik Sosialis Federasi Rusia untuk tidak mengakui Republik Demokrasi Azerbaijan dengan mengirim “tentara merah ke-11” ke Azerbaijan pada musim semi 1920, agresi yang dilancarkan rezim Dashnak Armenia ke Azerbaijan di Karabakh dan Zangezur, kelompok-kelompok teroris Armenia dan Bolshevik menggerogoti kedamaian penduduk Azerbaijan di Azerbaijan dan krisis social serta ekonomi yang melanda negeri, adalah beberapa factor yang telah menyebabkan melemahnya Republik Demokrasi Azerbaijan yang berakhir dengan okupasi “tentara merah ke-11” pada tanggal 27-25 April 1920. Seperti dimuat dalam telegram dari Staff Umum Front Kaukasus kepada komandan “tentara merah ke-11” bertanggal 1 Mei 1920, menyebutkan: bahwa tentara Rusia telah diinstruksikan untuk mengambil alih seluruh wilayah Azerbaijan yang terdapat dalam wilayah Imperium Rusia, tanpa melanggar perbatasan dengan Persia.

Selama tujuh puluh tahun berikutnya, sebagai bagian dari Republik Sosialis Uni-Soviet, dapat dianggap sebagai sebuah tahapan baru dan penting dalam perkembangan Negara Azerbaijan karena selama itu pula Republik Sosialis Soviet-Azerbaijan telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara sosial, ekonomi dan budaya.

Selama era Soviet daerah bagian Nakhchivan dan wilayah-wilayah lainnya telah dianeksasi teroris Zangezur, Goycha, dan digabungkan dengan tetangganya, Armenia. Sebagai akibatnya, wilayah territorial Negara yang pada masa Republik Demokrasi Azerbaijan seluas 114.000 km2 telah berkurang pada tahun 1920-1921 menjadi hanya 86.600 km2. Terlebih lagi pada tanggal 7 Juli 1923, atas inisiatif para pemimpin Moskow-Bolshevik, daerah otonom Nagorno-Karabakh yang secara dominan telah dihuni populasi Armenia, secara artificial dicerabut dari cakupan wilayah territorial sejarah Karabakh, yang dulunya dihuni mayoritas orang-orang Azerbaijan. Kebijakan tersebut merupakan langkah awal kampanye politik untuk menganeksasi Nagorno-Karabakh dari bekas wilayah Azerbaijan.

REPUBLIK KETIGA: REPUBLIK AZERBAIJAN.

Pada tahun 1988-1990, gerakan nasional-demokratik di Azerbaijan mengkampanyekan pentingnya melakukan restorasi kemerdekaan Negara. Pada tanggal 23 September 1989, Azerbaijan merupakan salah satu Negara pertama yang memutuskan untuk segera mengakhiri kekuasaan Republik Soviet. Dalam rangka menekan gerakan ini pada tanggal 20 Januari 1990 dengan restu para pemimpin Soviet di bawah kepemimpinan Mikhail Gorbachev, beberapa unit tentara Soviet dikirim ke Baku. Tindakan represif pasukan ini cenderung sangat brutal sehingga mengakibatkan ratusan jiwa rakyat Azerbaijan yang tak berdosa jatuh menjadi korban. Situasi gawat darurat segera diumumkan dan terus berlanjut hingga pertengahan tahun 1991. Perjuangan yang tak mengenal lelah terus dilakukan para pejuang patriotik Azerbaijan hingga akhirnya berbuahkan Deklarasi Dewan Tertinggi Republik Azerbaijan tanggal 31 Agustus 1991 tentang restorasi kemerdekaan Republik Azerbaijan.


Deklarasi tersebut mengukuhkan kemerdekaan Negara Republik Azerbaijan dan menyempurnakan perjalanan panjangnya pada tanggal 18 Oktober 1991 dengan tersusunnya fondasi kenegaraan Azerbaijan yang merdeka, serta terumuskannya prinsip-prinsip politik dan struktur perekonomian. Dengan deklarasi tersebut Republik Azerbaijan sekali lagi, setelah tujuh puluh satu tahun lamanya, menjadi negara yang merdeka. Pada tahun 1991 Azerbaijan menjadi negara anggota OKI, PBB, UNESCO dan pada tahun 1992 menjadi anggota Konferensi Keamanan dan Kerjasama di Eropa (CSCE), yang kini dikenal dengan Organisasi Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE). Pada tahun 1996 masuk keanggotaan Dewan Eropa, dan pada tahun 1997 menjadi anggota GUAM serta lainnya. Dewasa ini Azerbaijan telah menjadi anggota penuh pada sebagian besar organisasi-organisasi regional maupun internasional.

Kamis, 16 Oktober 2014

Peningkatan Hilangnya Keanekaragaman Hayati Mengancam Kesejahteraan Manusia


Dua puluh tahun setelah KTT Bumi di Rio de Janeiro, 17 ahli ekologi terkemuka menyerukan upaya internasional untuk menekan hilangnya keanekaragaman hayati, yang mengorbankan kemampuan alam untuk menyediakan barang dan jasa yang penting bagi kesejahteraan manusia. Selama dua dekade terakhir, bukti ilmiah yang kuat telah menunjukkan bahwa hilangnya keanekaragaman hayati di dunia mengurangi produktivitas dan keberlanjutan ekosistem alam serta mengurangi kemampuannya dalam menyediakan barang dan jasa seperti makanan, kayu, pakan ternak, tanah subur, serta perlindungan dari hama dan penyakit, demikian menurut tim internasional yang dipimpin ahli ekologi Bradley Cardinale dari University Michigan.

Tindakan-tindakan manusia telah memporak-porandakan ekosistem alam di bumi, mengakibatkan kepunahan spesies dalam tingkat beberapa kali lipat lebih cepat dari yang pernah teramati dalam catatan fosil. Meskipun demikian, masih ada waktu – jika negara-negara di dunia membuat prioritas internasional pelestarian keanekaragaman hayati – untuk menyelamatkan berbagai spesies yang masih hidup dan untuk mengembalikan sebagian dari apa yang telah hilang, demikian menurut Cardinale dan rekan-rekannya. Para peneliti mempresentasikan temuan mereka pada jurnal Nature edisi 7 Juni, dalam sebuah artikel berjudul “Hilangnya Keanekaragaman Hayati dan Dampaknya terhadap Kemanusiaan.” Makalah ini merupakan pernyataan konsensus ilmiah yang merangkum bukti-bukti dari 1.000 lebih studi ekologi selama dua dekade terakhir.

“Seperti halnya pernyataan konsensus dari para dokter dengan peringatan publiknya tentang bahaya penggunaan tembakau bagi kesehatan, ini adalah pernyataan konsensus dari para ahli yang sepakat bahwa punahnya spesies liar di bumi akan berbahaya bagi ekosistem dunia dan bisa membahayakan masyarakat dengan berkurangnya layanan ekosistem yang penting bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia,” kata Cardinale, seorang profesor di Sekolah Sumber Daya Alam dan Lingkungan serta di Departemen Ekologi dan Biologi Evolusioner UM. “Kita harus menanggapi hilangnya keanekaragaman hayati dengan jauh lebih serius – dari individu-individu hingga badan-badan internasional – dan mengambil tindakan yang lebih besar untuk mencegah kepunahan spesies lebih lanjut,” kata Cardinale, penulis pertama dalam makalah Nature.

Diperkirakan ada sekitar 9 juta spesies tumbuhan, hewan, protista dan jamur yang menghuni bumi, berbagi dengan sekitar 7 miliar manusia. Himbauan untuk bertindak diserukan di saat-saat para pemimpin internasional mempersiapkan diri untuk berkumpul di Rio de Janeiro pada tanggal 20-22 Juni untuk menghadiri Konferensi PBB mengenai Pembangunan Berkelanjutan, yang dikenal sebagai Konferensi Rio +20. Konferensi mendatang ini menandai 20 Tahun KTT Bumi 1992 di Rio yang menghasilkan dukungan dari 193 negara terhadap tujuan-tujuan Konvensi pada Keanekaragaman Hayati berupa konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.

KTT Bumi 1992 yang didorong oleh besarnya minat untuk memahami tentang hilangnya keanekaragaman hayati mungkin berdampak pada dinamika dan pemfungsian ekosistem, begitu pula pada penyediaan barang dan jasa yang berharga bagi masyarakat. Dalam makalah Nature, Cardinale dan para kolega meninjau studi-studi terkait yang sudah dipublikasikan dan membuat daftar enam pernyataan konsensus, empat kecenderungan yang muncul serta empat pernyataan “keseimbangan bukti”.

Keseimbangan bukti menunjukkan, misalnya, bahwa keragaman genetik meningkatkan hasil panen tanaman komersial, meningkatkan produksi kayu di hutan, meningkatkan produksi pakan ternak di padang rumput, serta meningkatkan stabilitas hasil panen pada perikanan. Meningkatnya keanekaragaman tumbuhan juga menghasilkan resistensi yang lebih besar terhadap invasi, menghambat patogen tanaman seperti infeksi jamur dan virus, meningkatkan penyerapan karbon di di udara melalui penyempurnaan biomassa, serta meningkatkan remineralisasi nutrisi dan bahan organik tanah.

“Tak akan ada yang setuju dengan apa yang akan terjadi jika ekosistem kehilangan spesies, namun kebanyakan dari kita setuju bahwa itu tidak akan menjadi baik. Dan kita setuju bahwa jika ekosistem kehilangan sebagian besar spesiesnya, maka itu akan menjadi bencana,” kata Shahid Naeem dari Universitas Columbia, salah satu penulis pendamping dalam makalah Nature. “Dua puluh tahun dan seribu studi kemudian, apa dipikir benar oleh dunia dalam pertemuan di Rio pada tahun 1992 akhirnya telah terbukti: Keanekaragaman hayati mendasari kemampuan kita untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.”

Meskipun terdapat dukungan luas terhadap Konvensi pada Keanekaragaman Hayati, namun hilangnya keanekaragaman hayati terus berlangsung selama dua dekade terakhir, bahkan seringkali dengan tingkat yang menanjak. Sebagai responnya, satu set tujuan baru pelestarian keanekaragaman untuk tahun 2020, yang dikenal sebagai target Aichi, baru-baru telah dirumuskan. Juga, sebuah badan internasional baru yang disebut Panel Antarpemerintah tentang Keanekaragaman Hayati dan Jasa Ekosistem telah dibentuk pada bulan April 2012 untuk memandu respon global terhadap pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistem dunia.

Kesenjangan yang signifikan dalam ilmu pengetahuan di balik keanekaragaman hayati masih tetap ada dan harus diatasi apabila target Aichi harus dipenuhi, kata Cardinale dan para kolega dalam makalah Nature. “Beberapa pertanyaan kunci yang kami uraikan dapat membantu menunjukkan jalan bagi penelitian generasi berikutnya tentang bagaimana perubahan keanekaragaman hayati mempengaruhi kesejahteraan manusia,” kata David Hooper dari Universitas Western Washington, salah satu penulis pendamping studi. Tanpa adanya pemahaman tentang proses ekologis mendasar yang menghubungkan keanekaragaman hayati, fungsi dan jasa ekosistem, maka upaya untuk meramalkan konsekuensi sosial akibat hilangnya keragaman, dan untuk memenuhi tujuan kebijakan, akan cenderung gagal, demikian menurut 17 ahli ekologi. “Tapi dengan adanya pemahaman yang mendasar dalam genggaman, kita mungkin bisa membawa era modern hilangnya keanekaragaman hayati ke arah jalur yang aman bagi kemanusiaan,” simpul mereka.

Selain Cardinale, Naeem dan Hooper, penulis pendamping dalam makalah Nature ini adalah J. Emmett Duffy dari The College of William and Mary, Andrew Gonzalez dari Universitas McGill, Charles Perrings dan Ann Kinzig dari Universitas Arizona, Patrick Venail dan Anita Narwani dari Sekolah Sumber Daya Alam dan Lingkungan UM; Georgina Mace dari Imperial College London, David Tilman dari Universitas Minnesota, David Wardle dari Universitas Ilmu Pertanian Swedia; Gretchen Daily dari Universitas Stanford, Michel Loreau dari Pusat Nasional de la Recherche Scientifique di Moulis, Perancis, James Grace dari US Geological Survey; Anne Larigauderie dari Museum Nasional d’Histoire Naturelle di Rue Cuvier, Perancis, serta Diane Srivastava dari Universitas British Columbia.

Penelitian ini memperoleh pendanaan dari National Science Foundation dan dari University of California-Santa Barbara dan negara bagian California. “Kemurnian air, produksi pangan dan kualitas udara bisa mudah untuk digunakan begitu saja, namun semua itu sebagian besar disediakan oleh komunitas organisme,” kata George Gilchrist, direktur program di Divisi Biologi Lingkungan National Science Foundation, yang mendanai penelitian. “Makalah ini menunjukkan bahwa bukan hanya jumlah makhluk hidup, tetapi juga keanekaragaman hayati spesies, genetik dan sifat mereka yang mempengaruhi ketersediaan berbagai ‘jasa ekosistem’ yang penting.”

Kredit: University of British Columbia. Jurnal: Bradley J. Cardinale, J. Emmett Duffy, Andrew Gonzalez, David U. Hooper, Charles Perrings, Patrick Venail, Anita Narwani, Georgina M. Mace, David Tilman, David A. Wardle, Ann P. Kinzig, Gretchen C. Daily, Michel Loreau, James B. Grace, Anne Larigauderie, Diane S. Srivastava, Shahid Naeem. Biodiversity loss and its impact on humanity. Nature; 486, 59–67 (07 Juni 2012); DOI: 10.1038/nature11148

Sumber: Fakta Ilmiah (http://www.faktailmiah.com/2012/06/07/peningkatan-hilangnya-keanekaragaman-hayati-mengancam-kesejahteraan-manusia.html)

Selasa, 14 Oktober 2014

Suap dan Anak yang Tak Diakui Ibunya


Seorang anak datang kepada khalifah Umar bin Khattab untuk mengadu. Dia berkata: “Ibuku menahan warisan dari ayahku, dengan alasan bahwa aku bukanlah anaknya, sehingga aku tidak memperoleh warisan itu.” Kala itu khalifah Umar mendatangkan ibunya, lalu berkata kepadanya: “Mengapa kamu mengingkari anakmu?” Si Perempuan berkata: “Dia bohong! Aku mempunyai saksi bahwa aku masih perawan dan aku belum pernah menikah.” “Mana saksi-saksimu?” tanya Umar.

Perempuan itu pun mendatangkan 7 orang, yang semuanya bersaksi bahwa si Perempuan memang belum menikah. Tapi si anak masih membela diri dan berkata:“Aku punya bukti yang akan aku jelaskan, mudah-mudahan Anda memahaminya.” Umar berkata:“Katakan sesukamu!” “Ayahku sudah tua, namanya Sa`ad bin Malik “jelas si Anak. “Aku dilahirkan pada musim panas. Selama dua tahun aku disusui dengan susu kambing. Ketika aku dewasa, ayahku pergi bersama suatu rombongan. Tapi ia tidak kembali. Menurut kabar, ia telah meninggal di perjalanan. Ketika ibuku mendengar berita ini, ia mengingkariku dan menjauhiku”.

“Sekarang aku terdesak kebutuhan.” Umar berkata,“Ini perkara sulit. Mari kita pergi kepada Abal Hasan (Ali Bin Abi Thalib karramallahu wajhah)!” Di rumah Imam Ali, si Anak menceritakan duduk perkaranya kepada Ali Bin Abi Thalib karramallahu wajhah. Demikian pula si Perempuan ditanya, dan Imam Ali mendengarkan pembelaannya. Kepada Imam Ali, perempuan itu menjelaskan hal yang sama.

“Wahai Amir al Mukminin”, kata si Perempuan kepada Imam Ali, “aku seorang perawan. Aku tidak punya anak dan belum tesentuh oleh laki-laki.” Sayidina Ali berkata lagi kepadanya: “Jangan bicara terlalu panjang. Aku adalah putra Paman-nya Bulan Purnama (Rasulullah). Sungguh aku tahu kejadian yang sebenarnya.” Perempuan itu masih membela diri dan berkata: “Datangkanlah seorang bidan, biar dia memeriksa saya, apakah saya masih perawan atau tidak.”

Imam Ali berkata bahwa ia berkenan memenuhi permintaan perempuan tersebut dengan mendatangkan bidan. Kepada pembantunya Imam Ali berkata: “Qonbar, datangkanlah seorang bidan!” “Baiklah, ya Amir al Mu’minin!” Jawab Qonbar. Usai pemeriksaan keperawanan di kamar tertutup, bidan itu keluar dan berkata: “Benar ya Amir al Mu’minin, dia masih perawan.” Imam Ali berkata: “Bidan ini berbohong, periksalah dia, dan ambil gelang darinya!”

Kemudian si bidan diperiksa, dan ditemukan sebuah gelang diselipkan di pundaknya. Itu adalah gelang sogokan (suap –gratifikasi) dari perempuan tadi. Sebelum diperiksa, perempuan tadi menyerahkan gelang emas kepada si bidan dan berkata: “Saksikanlah dan katakanlah kepada Amir al Mu’minin (–Ali)  bahwa aku perawan.”


Kini perempuan itu dihadapkan kembali kepada Imam Ali:“Wahai Perempuan, aku adalah sarang ilmu kenabian, penghias dan hakim agama. Aku ingin mengawinkan kamu dengan anak muda ini!”Perempuan tadi tersentak dan sontak berkata: “Tidak! Yaa Amir al Mu’minin, apakah Anda ingin membatalkan syariat Muhammad? Dia itu anakku!”Imam Ali berkata: “Datanglah kebenaran, sirnalah kebatilan. Rahasiamu telah terbuka. Sebenarnya apa yang kamu inginkan?” Perempuan itu menyesali dirinya, lalu ia berkata: “Aku takut dengan warisan, yaa Amir al Mu’minin!” Imam Ali berkata: “Mintalah ampun dari Allah, bertaubatlah kepadanya!” 

Senin, 13 Oktober 2014

Pengantar Syahid Sayid Baqir al Shadr Untuk Bukunya, Falsafatuna


Setelah Dunia Islam jatuh ke tangan kaum penjajah, arus pemikiran Barat yang bersandar pada budaya kolonialis telah menyapu bersih prinsip-prinsip dan konsep-konsep budaya Islam berkenaan dengan alam, kehidupan dan kemasyarakatan. Keadaan tersebut membantu kolonialisme dalam upayanya melakukan ekspansi ideologis secara terus-menerus guna memusnahkan eksistensi pemikiran Islam dan warisan luhur Islam.

Pada gilirannya, pertentangan antara pemikiran Barat dengan kehidupan, intelektual dan politik umat Islam pun tak dapat dielakkan. Gelombang dahsyat konsep-konsep Barat yang beraneka-ragam yang merasuki negeri-negeri Islam dan berusaha untuk memusnahkan konsep-konsep kebudayaan Islam mendapatkan perlawanan. Adalah suatu keharusan bagi Islam untuk menyatakan pandangannya dalam kancah pertentangan yang pahit ini. Pandangan itu harus kukuh, dalam, jelas, tegas, lengkap, dan komprehensif – baik yang berhubungan dengan alam semesta, kehidupan, manusia, masyarakat, negara maupun sistem lain – sehingga umat dapat memproklamasikan kalimah Allah dalam pertentangan tersebut dan mengajak dunia untuk tunduk kepadanya, serta bagaimana umat terdahulu telah melakukannya.

Buku ini tak lain adalah bagian dari kalimah Allah yang di dalamnya masalah-masalah alam semesta ditelaah sebagaimana ia harus dipecahkan lewat sorotan Islam. Dalam buku kami yang lain dibahas bagaimana Islam menjelaskan dan memecahkan secara tepat berbagai problem alam semesta dan kehidupan.

Falsafatuna adalah sekumpulan konsep kita yang mendasar tentang dunia dan metode berpikir kita tentang dunia tersebut. Karena itu, buku ini –kecuali bagian pendahuluan – kami bagi dalam dua pembahasan: Pertama, berkaitan dengan teori pengetahuan (epistemologi) dan kedua berkaitan dengan metafisika (konsep filsafat tentang dunia).

Bagian pertama tersebut ingin mengemukakan pembahasan yang dapat dirinci sebagai berikut:

[1] Mengemukakan suatu tesis yang menyatakan bahwa metode rasional dalam berpikir adalah logis dan dapat dipercaya akal, termasuk pengetahuan-pengetahuan yang tidak bergantung pada eksperimen atau pengetahuan a-priori merupakan kriteria pertama yang menentukan kesahihan pemikiran manusia. Tidaklah mungkin ada pemikiran filosofis atau ilmiah tanpa menundukkannya kepada kriteria umum ini. Bahkan eksperimen yang diduga oleh kaum empiris sebagai kriteria pertama, pada hakikatnya hanyalah sarana bagi penerapan kriteria rasional tersebut. Teori empiris tidak dapat tidak tentu membutuhkan logika rasional.

[2] Mempelajari nilai pengetahuan manusia dan menunjukkan bahwa pengetahuan itu dapat dipandang mengandung nilai yang benar berdasarkan pertimbangan logika rasional, bukan logika dialektik yang tidak mampu memberikan nilai yang benar bagi pengetahuan.

Tujuan pokok dari pembahasan bagian pertama tersebut adalah untuk menentukan metode penelaahan di bagian kedua. Karena, peletakan konsep umum dalam metafisika bergantung, pertama-tama, pada penetapan landasan-landasan berpikir, kriteria umum bagi pengetahuan yang benar, dan keluasan nilai pengetahuan yang benar tersebut. Oleh sebab itulah, studi di bagian pertama pada dasarnya adalah pengantar bagi bagian kedua; dan bagian kedua sendiri membahas soal-soal mendasar yang secara khusus layak mendapat perhatian pembaca.

Di bagian kedua, studi kami bagi menjadi lima bagian:

[1] Mengemukakan pertentangan konsep-konsep filosofis dan penjelasan atasnya.

[2] Mengemukakan konsep dialektika sebagai logika. Konsep ini penting dikemukakan karena ia dijadikan dasar materialisme modern. Dalam bagian ini akan ditelaah secara objektif dan rinci mengenai keseluruhan pemikiran pokok yang dirumuskan oleh dua filosof dialektis, yaitu Hegel dan Marx.

[3] Menelaah prinsip dan hukum-hukum kausalitas yang mengatur dunia, termasuk juga penafsiran filosofis secara komprehensif tentang dunia yang diajukan kepada kita oleh hukum kausalitas. Di bagian ini juga akan dicoba untuk memecahkan sejumlah keraguan (skeptisisme) filosofis yang muncul dalam semangat perkembangan ilmu pengetahuan modern.

[4] Menelaah tentang “materi dan Tuhan”. Di sini penelaahan akan melibatkan perdebatan antara materialisme dan konsep-konsep teologis, yang dengan cara demikian ini pada akhirnya konsep-konsep teologis kita tentang dunia akan dapat dirumuskan atas dasar semangat hukum-hukum filosofis dan ilmu pengetahuan – baik ilmu-ilmu fisika maupun humaniora.

[5] Kemudian di bagian akhir buku ini, akan ditelaah suatu problem filosofis yang terpenting, yaitu tentang wilayah konflik antara materialisme dan spiritualisme. Pembahasan akan dilakukan secara filosofis dan dalam sorotan berbagai ilmu yang berkaitan dengan objek tersebut, seperti misalnya ilmu-ilmu alam, fisiologi, dan psikologi.

Demikianlah kerangka umum buku ini, yang merupakan hasil kerja keras selama sepuluh bulan. Kami berharap sangat, buku ini dapat menyampaikan pesan suci secara damai dan ikhlas. Kami juga berharap agar para pembaca sudi menelaah buku ini secara objektif dan dengan konsentrasi penuh, untuk kemudian menilainya atas dasar pertimbangan filosofis dan ilmiah dan bukan atas dasar emosional atau keinginan-keinginan subjektif – baik penilaian Anda itu ditujukan untuk penolakan ataupun penerimaan atas pemikiran dalam buku ini.

Kami tidak ingin para pembaca menelaah buku ini seperti membaca sebuah novel atau roman atau hanya sekadar dianggap sebagai kesenangan intelektual atau semacam buku sastra. Buku ini jelas bukan berisi tentang cerita-cerita sastra ataupun cerita-cerita yang menyenangkan akal. Pada hakikatnya, buku ini ingin mengungkapkan persoalan-persoalan manusia sebagai makhluk berpikir. Dan tiada taufik bagiku selain dari Allah.  Kepada-Nyalah aku bertawakal dan kepada-Nyalah aku kembali.

Najf Al-Asyraf, 29 Rabi’ul Tsaniy 1379 H
Muhammad Baqir Ash-Shadr