Label

Jumat, 23 Mei 2014

Ia yang Digelari Haidar dan Abu Thurab



Dilahirkan di dalam Ka'bah (karena ketika Ibunda beliau, Fatimah binti Asad, hendak melahirkan beliau, dinding Ka'bah tiba-tiba terbelah hingga menjadi sebuah pintu masuk), Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah tumbuh menjadi pemuda bertubuh kekar dan berbahu bidang. Tingginya sedang namun hidungnya mancung dan bermata tajam. Beliau tahan cuaca panas atau dingin. Bahkan di musim dingin yang begitu menyengat sampai orang menggigil kedinginan, Imam Ali tahan hanya memakai baju tipis saja.

Keberanian dan kekuatan Imam Ali dalam perang tak lagi diragukan. Tenaganya di atas orang rata – rata. Beliau sanggup membanting seorang penunggang kuda berikut kudanya. Beliau mampu mencabut pintu gerbang benteng musuh Khaibar, yang gagal ditaklukkan Umar dan Abu Bakar dan kemudian berhasil ditaklukkan Imam Ali. Suara beliau lantang, menggetarkan musuh sampai ke dalam sumsum.

Dengan kekuatan dan keberaniannya itu, Imam Ali tak gentar menghadapi 4 orang lawan sekaligus. Prinsipnya dalam perang tanding adalah, “Janganlah mulai mengajak berduel, tetapi jika ditantang jangan mundur.”

Namun kekuatan fisik dan keberanian beliau diimbangi dengan kekuatan dan ketinggian akhlak yang tidak disamai oleh sahabat-sahabat Rasulullah yang lain, dan sudah jamak diketahui bahwa Imam Ali memang lebih utama daripada para sahabat Rasulullah yang lainnya.

Beliau benar – benar mencamkan apa yang dinasihatkan Rasulullah kepadanya, “Wahai Ali, berilah orang yang tak pernah memberi kepadamu. Maafkanlah orang yang telah merugikanmu dan bersilaturrahmilah dengan orang yang pernah memutuskan hubungan denganmu.”

Imam Ali sangat memperjuangkan nasib orang kecil. Ia pernah berkata, “Barangsiapa memperkerjakan buruh namun tidak memenuhi upahnya, akulah musuh orang itu di Hari Kiamat.”

Akhlak Imam Ali yang dididik dari kecil oleh Rasulullah membuatnya menjadi orang yang murah hati, lapang dada, tidak mendendam, selalu menyambung silaturahmi dan pemaaf. Ia amat sering menahan marah.

Beberapa keistimewaan Imam Ali yang tak dimiliki para sahabat lain adalah menjauhi kemegahan duniawi, menjauhi segala dosa dan hal meragukan, serta syarat dipenuhi ilmu. Kezuhudan beliau ini diakui para sahabat Rasulullah lainnya. Orang dapat bertanya hampir apa saja kepada beliau dan selalu mendapat jawaban yang memuaskan. Dan wajar, karena memang beliau adalah pintu ilmunya Rasulullah dan murid terbaik Rasulullah.

Berkat keistimewaan – keistimewaan inilah orang yang mengenalnya amat hormat dan setia kepada beliau. Bahkan seorang bekas budak yang telah ia merdekakan tak mau berpisah dari beliau. Walaupun akhirnya diketahui bahwa bekas budak itu adalah pewaris tahta negeri Habasyah. 


Agama Bermahkota Akhlaq




Ini adalah sepenggal kisah tentang tasamuh dan iman yang dimahkotai dengan kasih-sayang kepada sesama.

“Derajat ini Allah berikan kepada Ali, karena ia  telah menghormati orang yang sudah tua renta meski beragama Nashrani”

Pada suatu ketika, Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah berangkat ke masjid untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah dengan tergesa-gesa. Di tengah jalan ia bertemu dengan orang tua yang sedang berjalan di depannya dengan pelan dan berada di pinggir jalan. Imam Ali yang tergesa-gesa ingin shalat berjamaah tersebut tidak mendahului orang tua tersebut dan tetap berjalan di belakangnya. Imam Ali merasa ta’zhim (menghormati) orang tua tersebut karena umurnya yang sudah tua.  

Imam Ali tetap berjalan di belakang orang tua tersebut sampai dekat terbitnya matahari. Pada saat dekat masjid, orang tua tersbut tidak memasuki masjid. Imam Ali bertanya-tanya, mengapa orang tua tersebut tidak memasuki masjid. Akhirnya Imam Ali mengetahui bahwa orang tua tersebut adalah orang Nashrani. Setelah itu, Imam Ali langsung masuk ke dalam masjid dan melihat Rasulullah SAW masih dalam keadaan ruku’. Rasulullah memanjangkan ruku’ hampir sama dengan ukuran dua ruku’.

Maka pada saat selesai shalat, Imam Ali bertanya kepada Rasulullah. “Duhai Rasulullah, mengapa engkau memanjangkan ruku’ dalam shalat ini tidak seperti yang biasa engkau kerjakan?” Rasulullah menjawab: “Ketika aku dalam keadaan ruku’ dan membaca subhana rabbial ‘azimi wa bihamdih, aku ingin mengangkat kepalaku. Namun tiba-tiba malaikat Jibril datang dan meletakkan sayapnya di punggungku serta menahanku agar ruku’ lebih lama.

Ketika Jibril mengangkat sayapnya, aku angkat kepalaku dan berkata. “Mengapa engkau berbuat seperti ini wahai Jibril?”. Kemudian Jibril menjawab, “Ya Muhammad, sesungguhnya Ali berangkat tergesa-gesa untuk berjamaah, namun di tengah jalan ia bertemu orang Nashrani yang sudah tua. Dan Ali tidak mengetahui bahwasanya orang tua tersebut adalah orang Nashrani. Ali memuliakan dan menghormatinya karena orang tersebut sudah tua. Ali tidak mendahulinya dan menjaga haknya. Oleh karena itu, Allah memrintahkan kepadaku agar menahanmu pada saat ruku’ agar Ali sempat untuk shalat subuh berjamaah. Allah juga memerintahkan kepada malaikat Mikail AS untuk menahan matahari dengan sayapnya agar tidak terbit.

“Derajat ini Allah berikan kepada Ali, karena ia  telah menghormati orang yang sudah tua renta meski beragama Nashrani”. 


Kamis, 22 Mei 2014

Dinamisasi Ala Binatang


Oleh Mahbub Djunaidi

Mulanya saya kira cuma Hippy, Beatnik, The New Left saja yang dijuluki orang “subkultur”. Belakangan saya diberitahu lewat tulisan Abdurrahman Wahid Hasyim (Kompas, 11 Maret 72) bahwa pesantren juga suatu profil subkultur. Terserah bagaimana baiknya sajalah. Subkultur yang namanya pesantren ini sekarang sedang jadi bulan-bulanan Menteri Agama Profesor Doktor Mukti Ali. Segera sesudah Menteri Agama membabat eksponen-eksponen penting di departemennya dan menggantinya dengan orang-orang yang diduga lebih cocok, kerlingan mata bergeser ke pesantren. Apakah gerangan salah pesantren?

Salah sih tidak, cuma “kurang”. Sebagai muslim modernisator, apalagi sekaligus kedudukan Menteri Agama, Mukti Ali tentu tidak ingin modern sendirian, karena toh tidak akan banyak faedahnya. Menjadi modern bukan tugas avonturir. Maka, dengan mekanisme Departemen yang ada padanya, pilihan jatuh pada pesantren. Pesantren harus modern, dinamik, supaya tidak tercecer meningkapi kiprahnya pembangunan. Lebih dari itu: Pesantren jangan jadi penghambat, jangan jadi seteru pembangunan yang naik darah, jangan malas, lamban atau pun kikuk.

Bagaimana caranya? Modernisasi adalah urusa yang hampir-hampir tak ada ujungnya. Sebab, apa saja sebetulnya terbuka untuk dimodernisasi. Mulai dari struktur politik, hukum, penagihan pajak, menakut-nakuti maling atau cara merekat prangko. Begitu pula halnya tentu dengan pesantren. Asal ongkos cukup, pintu perubahan menganga lebar. Mau pasang diesel, pakai kursi puter, sirene, apa saja bisa. Kurikulum pun bisa diatur. Berani bertaruh, tak seorang pun akan menyongsong gagasan modernisasi itu sambil mengacungkan golok. Asal paham lubang-lubangnya, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kiai-kiai yang seangker apa pun adalah manusia seperti kita-kita, tak kecuali redaktur majalah berita ini. Jangan dibilang lagi santri-santrinya. Sifat manusiawinya fleksibel.

Naga-naganya, pintu masuk yang dipilih Mukti Ali dalam rangka menjelmakan cita-citanya yang agung adalah peternakan. Untuk tingkat permulaan, tentu digunakan binatang piaraan yang sudah popular, semisal ayam negeri, entah jenis Leghorn, Minorca, Barnevelder, Orpington, atau Sussex, pokoknya ayam. Di beberapa pesantren, berdasarkan situasi-kondisi (disingkat sikon) mungkin para ayam piaraan itu ditemani keluarga unggas lainnya, seperti bebek. Bukan mustahil, pada tahap berikutnya terjadi peningkatan kualitatif dengan peternakan binatang berkaki empat, atau yang tak berkaki sama sekali, misalnya ikan. Asal prinsip-prinsipnya sudah diletakkan, variasinya soal gampang. Bahkan, jenis binatang yang kepalang tanggung, ayam bukan burung pun bukan, seperti puyuh, bisa juga dijadikan ancer-ancer jangka agak panjangan.

Apa sebab para santri itu diperkenalkan dengan pergaulan binatang ternak? Mereka tentu sudah pernah melihat ayam, atau memegangnya, bahkan memakannya sekali. Bahkan juga mungkin pernah memeliharanya satu dua ekor. Soalnya bukan itu. Soalnya adalah menggiring mereka untuk berproduksi. Selama ini, rata-rata orang, khususnya Menteri Agama, memandang pesantren itu ibarat gugusan besar para konsumen. Pemakan protein hewani maupun nabati, sonder ikut menghasilkan. Status begini tidak dikehendaki. Bukan cuma mulut yang mesti bekerja, tapi juga tangan. Kerja mesti dikuduskan. Mereka akan disulap dari konsumen menjadi produsen. Tanpa harus mengubah sifat pesantren sebagai balai rohani, binatang piaraan dimasukkan ke sana sebagai sarana dinamisasi.

Kalau mau lebih tenang sedikit, sebenarnya patut ditanyakan, kenapa para siswa santri saja yang dicap sebagai konsumen murni, sedangkan siswa-siswa perguruan umum, termasuk mahasiswa, tidak. Belum pernah terdengar, mereka itu disindir sebagai pihak yang kerjanya cuma tidur-bangun-makan-berak. Kalau asal konsumen-konsumenan, apalah bedanya. Mereka adalah peludes yang cekatan dari hasil mata pencarian bapaknya. Mereka bukan produsen dalam arti yang sebenar-benarnya. Namun, tak pernah Menteri Mashuri berkesimpulan sebaiknya dikirim anak-anak ayam atau kambing ke pekarangan sekolah, untuk memperoleh perawatan dan pengembangbiakan, yang hasilnya bisa dilego ke pasar oleh dewan guru di bawah pengawasan orang tua murid.

Umpama saja Mukti Ali seorang ekonom berkualitas penuh, di samping keahliannya yang langka di bidang urusan banding-membanding agama di dunia ini, pastilah dia telah melihat kehidupan kita ini secara terbalik sungsang dengan John Kenneth Galbraith, orang Harvard yang pernah ditunjuk Presiden Kennedy jadi dubes AS di India, penulis buku-laris The Affluent Society. Kalau Galbraith merangssang kalangan ekonomi makmur untuk mencampurkan kegiatan-kegiatannya dengan aspirasi sosial, moral dan aspek-aspek aestetika, Mukti Ali sedang merangsang kalangan rohaniah untuk mencemplungkan juga sebelah kakinya ke urusan ekonomi-produksi. Kalau John Kenneth Galbraith menuding ekonom Inggris John Maynard Keynes karena yang belakangan ini terlalu gila-pajak dan gila-moneter, Mukti Ali lebih aman karena tidak seorang pun yang merasa ditentangnya. Biarpun boleh jadi ada satu dua orang yang tersenyum-senyum mendengar usulnya menerjunkan binatang piaraan ke pekarangan pesantren, namun tidak ada orang yang mengritiknya terang-terangan. Soalnya memang tidak ada urgensinya. Sepanjang menyangkut pesantren, orang harus banyak memahami.

Sebenarnya, mengajak pesantren untuk tercebur ke dalam soal-soal duniawi tidaklah sesusah yang diduga orang. Mereka itu sebetulnya orang-orang praktis belaka pada dasarnya, lebih-lebih pengasuhnya. Di mana saja, kapan saja, pesantren perlu ongkos hidup, tak bedanya dengan balai pertemuan atau rumah sakit. Bukan saja perlu, tapi kalau bisa jumlahnya terus meningkat. Itu sebabnya, tak pernah kedengaran ada pesantren yang menolak pemberian Presiden Soeharto. Yang kedengaran malahan sebaliknya: yang kelupaan berusaha tidak kelupaan lagi pada fase berikutnya.

Satu-satunya kesulitan yang mungkin dihadapi Mukti Ali adalah: menderasnya permintaan-permintaan akan bibit ayam, atau anak bebek, atau mesin penetas, atau Sulphamezathine untuk memberantas penyakit Coccidiosis pada ayam, atau ongkos-ongkos operasi produksi. Cara mengatasinya sudah tentu dengan memperbanyak dana, sebab modernisasi pun perlu ongkos. Jadi, bukannya kesulitan menghadapi mereka yang menolak pembangunan atau menghardik modernisasi, atau tukang-tukang pukul tradisi yang kepala batu, yang tidak mau menerima perubahan apa pun. Insya Allah mereka itu tidak akan muncul. Sebab, memang tak akan pernah ada semuanya itu.

Sumber: Majalah Tempo, 26 Maret 1972

Sabtu, 17 Mei 2014

Sunnah-sunnah Umar Bin Khattab


Sunnah-sunnah Umar Bin Khattab yang bertentangan dengan al Qur’an dan Sunnah Nabi Saw serta akal adalah melebihi 50 perkara sebagaimana dicatat oleh para ulama Ahlu s-Sunnah (Sunni) di dalam buku-buku mereka. Sekiranya mereka berbohong di dalam catatan mereka, maka merekalah yang berdosa dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Dan sekiranya catatan mereka itu betul, kenapa kita menolaknya dan terus memusuhi Sunnah Nabi Saw yang bertentangan dengan sunnah Umar?

Berikut dikemukakan sebagian daripada sunnah Umar Bin Khattab yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw serta akal yang sejahtera:

1. Umar telah menghalang Nabi Saw dari menulis sunnahnya yang terakhir. Lantas Nabi Saw mengusir Umar dan kelompoknya supaya keluar dari rumahnya (al Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69).

2. Umar dan kelompoknya bertengkar di hadapan Nabi Saw demi menentang sunnahnya Nabi Saw supaya dibawa kepadanya pensil dan kertas untuk menulis wasiatnya (sunnahnya). (al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69).

3. Umar telah memisahkan Kitab Allah daripada Nabi SAW ketika dia berkata di hadapan Nabi Saw:  “Kitab Allah adalah cukup bagi kita”. Kata-kata Umar adalah secara langsung merendahkan martabat Nabi Saw. ( al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69)

4. Umar tidak mempercayai kemaksuman Nabi Saw ketika dia berkata: “Cukuplah bagi kita Kitab Allah”. Kata-katanya itu ditentang oleh Nabi Saw sendiri. Lalu beliau (Nabi Saw) menjadi marah dan lalu mengusir Umar serta kelompoknya supaya keluar. (al Bukhari, Sahih, I, hlm. 36; Muslim, Sahih, III, hlm. 69).

5. Umar telah mengatakan bahwa Nabi Saw sedang meracau (yahjuru) maka permintaan beliau (Nabi Saw) supaya dibawa pensil dan kertas untuk beliau menulis perkara-perkara yang tidak akan menyesatkan ummatnya selama-lamanya tidak perlu dilayani lagi. (Muslim, Sahih, III, hlm. 69; al-Bukhari, Sahih, I, hlm. 36). Justeru itu sunnah Umar adalah bertentangan dengan firman-Nya di dalam Surah al-Najm (53):3-4: ”Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya”.