Label

Sabtu, 22 November 2014

Kajian Hadits Palsu


Di antara kepalsuan yang tak henti-hentinya diproduksi kaum murahan adalah hadis palsu di bawah ini: 

Dari Ibnu Abbas ra., dari Nabi saw:

إذا كان يوم القيامة نادى مناد تحت العرش: هاتوا أصحاب محمد فيؤتى بأبي بكر وعمر وعثمان وعلي فيقال لأبي بكر: قف على باب الجنة فأدخل فيها من شئت، ورد من شئت. ويقال لعمر: قف على الميزان فثقل من شئت برحمة الله، وخفف من شئت. ويعطى عثمان غصن شجرة من الشجرة التي غرسها الله بيده فيقال: ذد بهذا عن الحوض من شئت. ويعطى علي حلتين فيقال له: خذهما فإني ادخرتهما لك يوم أنشأت خلق السماوات والأرض.

“Kelak di hari kiamat pengumandang pengumuman menyerukan dari bawah Arsy, ‘Kumpulkan para sahabat Muhammad, lalu didatangkan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Lalu dikataakan kepada Abu Bakar, ‘Berdirlah di depan pintu surga, masukkan orang yang engkau maukan ke dalamnya, dan usirlah orang yang engkau maukan.’ Dan dikatakan kepada Umar, ‘Berdirilah di Mizan (pos penimbangan amal), beratkan timbangan orang yang engkau maukan dan ringankan yang engkau maukan.’ Utsman diberi setangkai dahan dari pohong yang ditaman sendiri oleh Allah dengan tangan-Nya, dengan tangkai ini usirlah dari telaga orang yang engkau maukan.’Ali diberi dua helai baju dan dikatakan kepadanya, ‘terimalah ini! Keduanya telah disiapkan untukmu sejak Aku pertama menciptakan langit dan bumi.’

Hadis ini telah dirawayatkan oleh Ibrahim ibn Abdullah al Mashîshi dan Ahmad ibn Hasan ibn Qasim al Kufi. Keduanya adalah pembohong besar dan pemalsu hadis kelas kakap. Adz Dzahabi menyebutkan hadis ini dalam Mîzân-nya,1/20 dan 42, dan di dalamnya terdapat penyakit berat yaitu:

 وفيه آفة القلب بعد الوضع فإن المحفوظ من لفظه كما في الرياض النضرة 1 ص 32 بعد: وخفف من شئت. ويكسى عثمان حلتين ويقال له. ألبسهما فإني خلقتهما أو ادخرتهما من حين أنشأت خلق السماوات والأرض. ويعطى علي بن أبي طالب عصى عوسج من الشجرة التي غرسها الله تعالى بيده في الجنة فيقال: ذد الناس عن الحوض. فقلبوا ما لعلي عليه السلام من ذود المنافقين عن الحوض وجعلوه لعثمان بعد ما زادوا على الحديث صدرا مفتعلا، وحديث ذود أمير المؤمنين علي عن الحوض أخرجه الحفاظ من عدة طرق عن جمع من الصحابة قد أسلفنا طرقه وتصحيح الحاكم له في الجزء الثاني ص 321.

“Dan di dalamnya terdapat penyakit pembalikan di samping pemalsuan, sebab yang direkam para perawi dari redaksi hadis ini seperti dalam ar Riyâdh an Nadhirah, 1/32 setelah: ’dan ringankan yang engkau maukan.’ Adalah dan Utsman diberi dua baju dan dikatakan kepadanya, ‘Pakailah baju ini, karena Aku telah menciptakannya (atau) Aku telah menyimpannya sejak Aku menciptakan langit dan bumi. Dan Ali ibn ABi Thalib diberi tongkat dari kayu yang pohonnya ditanam sendiri oleh Allah dengan tangan-Nya, dan Dia berkata kepadanya, ‘Halaulah dari haudh siapa saja yang engkau kehendaki.”

Mereka membalik bagian hadis yang untuk Ali yaitu mengusir kaum munafik dari haudh dan dijadikan untuk Utsman, setelah menambah bagian awalnya yang palsu. Dan hadis bahwa Ali mengusir kaum munafiq dari telaga (Rasul) telah diriwayatkan para huffâdz (pakar hadis) melalui banyak jalur dari banyak sahabat (Nabi saw). 


Siapakah Ahlussunah?


Seorang peneliti tidak akan dapat meragukan pelajaran sejarah Nabi saww dan pengetahuan sejarah Islam, bahwa Nabi saww telah menentukan para Imam (12 Imam) dan beliau telah menetapkan mereka sebagai khalifah-khalifah setelahnya dan menjadi penerima wasiat di tengah umatnya. Telah disebutkan jumlah mereka dalam hadis-hadis shahih Sunni bahwa mereka itu adalah dua belas orang semuanya, dan hal itu telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta lainnya. Sebagaimana dalam Sunni telah menyebutkan nama-nama mereka, penjelasan Nabi Muhammad saww, bahwa yang pertama adalah ‘Ali bin Abi Thalib dan setelahnya ialah putranya yakni al-Hasan as, kemudian saudaranya al-Husein as, sedang yang terakhir ialah al-Mahdi. Sebagaimana tersebut dalam hadis berikut ini:

Shahibu Yanabi’ al-Mawaddah telah meriwayatkan dalam kitabnya, dia berkata, “Seorang Yahudi disebut al-A’tal datang kepada Nabi Muhammad saww, dan ia berkata, “Hai Muhammad, saya menayakan kepadamu perkara-perkara yang telah terdetak dalam dadaku semenjak beberapa waktu, jika engkau dapat menjawabnya niscaya saya akan menyatakan masuk Islam di tanganmu. ’Beliau menjawab, ‘Tanyalah wahai Aba Ammarah, maka ia menanyakan beberapa perkara yang dijawab oleh Nabi saww dan ia membenarkan, kemudian ia menanyakan, ‘Beritahukanlah padaku tentang penerimaan wasiatmu, siapakah ia itu? Karena tidak seorang Nabi pun kecuali ia mempunyai seorang penerima wasiat, dan sesungguhnya Nabi kami Musa bin Imran telah berwasiat kepada Yusa’ bin Nun.’ Maka beliau bersabda, ‘Sesungguhnya penerima wasiatku adalah ‘Ali bin Abi Thalib dan setelahnya adalah kedua cucuku al-Hasan dan al-Husein kemudian beliau menyebutkan sembilan Imam dari tulang sulbi al-Husein. ‘Lalu ia berkata, ‘Ya Muhammad, sebutkanlah nama-nama mereka kepadaku!’ Beliau bersabda, “Bila al-Husein telah berlalu maka diganti oleh anaknya “Ali, bila ‘Ali telah berlalu maka diganti anaknya Muhammad, bila Muhammad berlalu maka diganti anaknya Ja’far, Musa, ‘Ali, Muhammad, ‘Ali, Hasan, al Hujjah Muhammad al-Mahdi as, maka itu semuanya adalah dua belas orang Imam.’ Kemudian orang Yahudi itu pun masuk Islam dan ia memuji Allah SWT karena petunjuk-Nya.”

Seandainya kita mau membuka lembaran kitab-kitab Syi’ah dan apa yang terkandung di dalamnya, khususnya tentang masalah ini, niscaya kita akan mendapatkan lebih banyak dari itu. Tapi cukuplah bagi kita sebagai bukti bahwa Sunni mengakui jumlah para Imam yang ke-12 itu, dan tidak terwujud para Imam itu selain ‘Ali dan anak-anaknya yang telah disucikan. Dan yang dapat menambahkan kayakinan bagi kita ialah, bahwa Imam yang ke-12 dari Ahlulbait itu tidak pernah belajar pada satu orang pun dari para ulama umat ini, tidak ada yang meriwayatkan pada kita baik para ahli tarikh maupun ahli hadis dan sejarawan, bahwa salah seorang Imam dari Ahlulbait itu mendapatkan ilmunya dari sebagian sahabat atau tabi’in sebagaimana halnya para ulama umat dan para imam mereka.

Sebagaimana Abu Hanifah belajar kepada Imam Ja’far ash -Shadiq dan Malik belajar kepada Abu Hanifah sedang Syafi’i mendapat ilmu dari Malik dan ia mengambil darinya, begitu pula Ahmad bin Hanbal. Adapun para imam Ahlulbait merupakan pemberian dari Allah SWT yang mereka mewarisi dari Bapak-bapak mereka yang berasal dari datuk mereka, mereka itulah yang diistimewakan oleh Allah SWT dengan firmannya:

“Kemudian kami mewariskan kitab pada orang-orang yang telah kami pilih dari antara hamba-hamba Kami.” (QS. Fathir: 32) Imam Ja’far ash-Shadiq pernah menyatakan tentang hakikat tersebut sekali waktu dengan ungkapannya, “Sungguh mengherankan orang-orang itu, mereka mengatakan bahwa mereka mengambil ilmu seluruhnya dari Rasulullah saww dan mengamalkannya serta mendapat petunjuk! Kemudian mereka mengatakan bahwa kami Ahlulbait tidak mengambil ilmu beliau dan tidak mendapat petunjuk, padahal kami adalah keluarga dan keturunan beliau, di rumah kamilah wahyu itu diturunkan dan dari sisi kami ilmu itu keluar kepada manusia, apakah Anda menganggap mereka berilmu dan mendapat petunjuk sedangkan kami bodoh dan tersesat?”

Ya, bagaimana Imam ash-Shadiq tidak mengherani mereka itu yang mendakwahkan diri telah mengambil ilmu dari Rasulullah saww, padahal mereka memusuhi Ahlulbait beliau dan pintu ilmunya yang melalui dirinya ilmu itu diberikan, bagaimana tidak mengherankan penempatan nama Ahlussunnah, padahal mereka sendiri penentang sunah itu. Dan bila Syi’ah sebagaimana telah disaksikan oleh sejarah, mereka itu mengistimewakan ‘Ali dan membelanya serta mereka berdiri tegak menentang musuhnya, memerangi orang yang memeranginya, dan damai dengan orang yang damai dengannya dan mereka telah mengambil seluruh ilmu darinya. Maka sesungguhnya mereka yang mengklaim sebagai Ahulussunnah (semisal klaim kaum Wahabi-Takfiri) itu tidaklah mengikuti dan malah ingin membinasakannya, dan mereka telah meneruskan sikap itu terhadap anak keturunan setelahnya dengan pembunuhan, penjara, dan pengusiran. Mereka telah bertentangan dengannya dalam kebanyakan hukum dengan dasar mengikuti para pendakwah yang mereka itu saling berselisih sesuai dengan pendapat dan ijtihad mereka dalam perkara hukum Allah, lalu mereka menggantikannya sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan yang mereka tuju.

Dan bagaimana kita sekarang tidak heran terhadap orang-orang yang mendakwahkan mengikuti sunah Nabi saww, dan menyatakan sendiri telah meninggalkan sunah Nabi saww karena ia telah menjadi Syi’ah bagi Syi’ah, bukanlah ini merupakan hal yang mengherankan?

Bagaimana kita tidak heran terhadap mereka itu yang membanggakan diri sebagai Ahlussunnah, padahal mereka telah meninggalkan yang berharga yakni ahlulbaitnya (12 Imam Islam)? Sesungguhnya mereka itu tidak berpegang baik pada Al-Qur’an, sebab dengan meninggalkan ahlulbait yang suci itu berarti mereka telah meninggalkan Al-Qur’an, karena hadis yang mulia menetapkannya bahwa Al-Qur’an dan ahlulbait itu tidak pernah berpisah selama-lamanya, sebagaimana Rasulullah telah menyatakan hal itu dengan sabdanya:

“Tuhan Yang Maha Halus lagi Maha Sadar telah memberitahukan padaku bahwa keduanya yakni Aal-Qur’an dan keluargaku tidak akan pernah berpisah sehingga menemui aku di telaga surga.” Dan bagaimana kita tidak heran kepada kaum yang mendakwahkan diri sebagai Ahlussunnah padahal mereka bersikap menentang terhadap apa yang telah ditetapkan dalam kitab shahih mereka dari hal perbuatan Nabi saww dan perintahnya serta larangannya. Adapun kita meyakini dan membenarkan hadis, “aku tinggalkan pada kalian Kitabullah dan itrah ahlulbaitku, selama kalian berpegang pada keduanya niscaya kalian tidak akan sesat selama-lamanya.” 

Jumat, 21 November 2014

Fitrah dalam Tafsir Marah Labid Nawawi al Bantani




Oleh Siti Nur Wakhidah (UIN Sunan Kalijaga)

“Fitrah” adalah kata yang sering diucapkan, yang sering dimaknai dengan  suci, murni, bahkan kodrati atau alami.  Terdapat juga hadis-hadis Nabi yang memuat tentang “fitrah”. Kata tersebut sering mengundang perdebatan dalam upaya mencari makna dan memahaminya secara tepat. Karena kata tersebut berasal dari al-Qur’an maka pemaknaanya juga harus dikembalikan kepada al-Qur’an. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai kata “fitrah” ini, peneliti memfokuskan diri pada kajian penafsiran “fitrah” yang terdapat dalam Tafsir Marah Labid karya Nawawi al-Bantani.

Dengan mengkaji pemikiran Nawawi Al-Bantani tersebut, diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai makna “fitrah” secara lebih tepat, serta untuk mengetahui bagaimana implikasi penafsiran Nawawi Al-Bantani tentang “fitrah” khususnya jika dikaitkan dengan konteks kekinian.

Dalam penelitian ini penyusun menggunakan metode kualitatif yaitu dilakukan dengan mendiskripsikan data yang telah diperoleh kemudian dianalisis sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa kata Fitrah akar katanya ialah fa-ta-ra yang dalam Al-Qur’an diungkapkan sebanyak 20 ayat pada 17 surat dengan segala bentuk kata urutannya.

Fitrah merupakan keadaan dasar (kholqiyah) yang sudah dicelup oleh Allah dalam diri manusia untuk beragam Tauhid (haq) yang proses aktualisasi dan pengembangannya sangat ditentukan oleh pemberdayaan potensi-potensi munazzalah (potensi yang mendukungnya) yang sangat dipengaruhi oleh dinas luar.

Dalam perkembangannya, fitrah manusia yang mengarah pada tauhid ini bisa berubah ataupun pecah, bisa menjadi baik ataupun buruk, benar atau salah, lurus dan sesat. Oleh karena itu, dalam kenyataan kehidupan banyak dijumpai adanya penyimpangan-penyimpangan fitrah, perilaku-perilaku yang asusila, dan sebagainya.

Hal ini terjadi karena fitrah tersebut dapat dipalingkan oleh dorongan yang ada di luar naluri fitrah, sehingga diperlukan hidayah (petunjuk). Maka untuk itu, menurut Nawawi al-Bantani perlu dipahami adanya uluhiyah dan 'ubudiyah dalam proses aktualisasi dan pengembangannya, fitrah sangat ditentukan faktor-faktor dari luar, terutama faktor keluarga, dan lingkungan sekitarnya, maupun faktor-faktor Munazzalah yang ada dalam diri manusia itu sendiri seperti akal, qalb, ruh, dan nafs.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa Nawawi al-Bantani, menafsikan fitrah dengan cipta, tauhid, ibtida' dan pecah. Dalam hal ini, penulis mengkategorikan, menjadi dua bagian, yaitu fitrah dalam konteks pecah dan fitrah dalam konteks penciptaan. Yang dimaksud ibtida' adalah keawalmulaan sesuatu dan tidak adanya sesuatu jenis yang mendahuluinya. 


Kamis, 20 November 2014

Singa Tuhan Sang Putra Ka'bah


“Wahai yang berziarah ke Najaf, ke makam Ali, ketahuilah di sana terbaring mutiara Ka’bah” (Jalaluddin Rumi, Matsnawi).

Ketika Imam pertama kita, Imam 'Ali al-Murtada as akan lahir, ibundanya Hadrat Fatimah binti al-Asad beranjak menuju ke Ka'bah dan berdoa kepada Allah Swt supaya jabang bayi yang dikandungnya lahir dalam keadaan selamat. Imam 'Ali al-Murtada as memiliki tiga saudara. Mereka adalah Talib, Aqil dan Ja'far. Kesemua saudara Imam 'Ali al-Murtada as ini dilahirkan di rumah, seperti anak-anak yang lain pada umumnya. Akan tetapi kali ini, Hadrat Fatimah bintul Asad merasa bahwa keadaannya kini berbeda. Dan ia benar. Ia berdiri di samping dinding berhadapan dengan gerbang Ka'bah, berdoa kepada Allah ketika ada sebuah pecahan dinding di dekatnya. Pecahan dinding Ka'bah lambat laun semakin membesar hingga mencukupi bagi Hadrat Fatimah untuk menyelinap masuk ke dalamnya. Ia merasa ditarik masuk ke dalam Ka'bah, tiba-tiba saja ia telah berada di dalam bangunan kudus itu.


Ketika ia memasuki Ka'bah, pecahan itu mengecil dan mengecil. Pecahan itu kini masih dapat dijumpai di sekeliling Ka'bah hari ini. Hari itu bertepatan dengan tanggal 13 Rajab, di dalam Ka'bah, Imam Pertama kita lahir ke dunia. Beberapa orang yang berada di sekitar Ka'bah melihat apa yang telah terjadi dan bercerita kepada yang lainnya. Mereka segera pergi mengabarkan Abu Thalib bahwa istrinya secara misterius memasuki Ka'bah dan tidak keluar setelah itu. Abu Thalib menjadi risau atas berita ini, sehingga dia bergegas menyusul istrinya dan mengambil kunci-kunci gerbang Ka'bah. Kendati demikian gerbang tetap tidak terbuka. 


Nabi Saw tidak berada di tempat ketika semuanya ini terjadi. Kira-kira pada waktu yang sama, beliau pulang dari perjalanannya dan mengetahui apa yang telah terjadi. Dengan segera, beliau ke Ka'bah. Ketika beliau mencoba untuk membuka gerbang Ka'bah, gerbang Ka'bah yang terkunci kini telah terbuka dan Hadrat Fatimah beranjak keluar dengan menimang bayi dalam gendongannya. Ketika Nabi Muhammad Saw menggendong Imam 'Ali as, dia membuka matanya untuk pertama kalinya. Hal pertama yang dilihat oleh Imam 'Ali adalah wajah Nabi Saw. Nabi Muhamamd Saw sangat bersuka cita atas kelahiran saudara sepupunya tersebut. Beliau menyunggingkan senyuman dan berkata, "Engkau menantikanku dan Aku telah lama menantikanmu." Imam 'Ali al-Murtada as adalah orang yang yang lahir di dalam Ka'bah.





Sumber: Shah Waliallah Dehlavi, Izalat al-Khifa', Hakim, Mustadrak, 3, hal. 483

Senin, 17 November 2014

Negara dalam Praktik dan Perspektif Imam Ali


“Hidup bersosial sudah terpatri dalam jati diri manusia. Untuk itu, guna menangani seluruh kebutuhan hidup, ia harus hadir aktif di tengah masyarakat. Tapi, dari sisi lain, ia adalah sebuah makhluk yang ingin menang sendiri”

Oleh Hujjatul Islam Malekirad

Keharusan hidup bersosial dan keinginan untuk menang sendiri mendorong manusia untuk saling bertikai dan bertengkar. Untuk menyudahi pertikaian-pertikaian tak berguna ini, diperlukan sebuah undang-undang dan badan yang menjalankan undang-undang ini.

Di sepanjang sejarah, dengan memahami kebutuhan tersebut di atas, umat manusia berusaha menetapkan undang-undang yang sesuai dengan kondisi ruang dan waktu yang mereka hadapi. Di samping itu, mereka juga menetapkan berlandaskan pada akal komunal yang dimiliki sebuah lembaga yang dapat menjalankan undang-undang tersebut dengan benar. Lembaga ini, bergantung kepada kondisi ruang dan waktu, beraneka ragam. Mulai dari kepala kampung hingga kepala kabilah. Dan akhirnya, terbentuklah sebuah lembaga yang lebih besar dan lebih komunal bernama negara.


Faktor terpenting yang mendorong pembentukan negara adalah menjalankan undang-undang guna mewujudkan ketertiban di tengah masyarakat manusia. Yakni seandainya undang-undang yang ditetapkan pun sangat maju dan bahkan bersumber dari kitab-kitab langit sekalipun tetapi tidak memiliki badan mumpuni untuk menjalankannya, maka undang-undang ini pun tidak akan berguna untuk menciptakan ketertiban di tengah masyarakat.


Dengan demikian, kebutuhan terhadap negara dalam sebuah tatanan masyarakat manusia termasuk kebutuhan yang sangat fundamental, karena ketiadaan lembaga ini akan menyebabkan kekacauan di tangan masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, hidup ini bagi semua anggota masyarakat akan menjadi negara.


Dari penjelasan di atas dapat ditarik dua kesimpulan berikut ini:

Pertama, keberadaan sebuah undang-undang untuk kehidupan manusia sangat urgen diperlukan.


Kedua, untuk menjalankan undang-undang tersebut diperlukan sebuah lembaga dan badan resmi bernama negara.

Untuk itu, di sepanjang sejarah manusia, seluruh aliran dan agama, baik yang bersumber dari Tuhan maupun tidak, memiliki satu pesan penting; yakni menciptakan undang-undang. Untuk melaksanakan undang-undang ini, mereka juga mengusulkan sistem pemerintahan kepada masyarakat.


Agama Islam sebagai agama Allah yang terakhir memiliki sistem pengetahuan, nilai, dan undang-undang tinggi yang terjelma dalam al-Quran dan Sunah para manusia maksum as. Tentu saja, guna menjalankan undang-undang ini diperlukan para eksekutor yang adil dan komitmen serta berhubungan dengan sebuah sistem negara yang berkomitmen untuk menjalankan undang-undang tersebut. Hal inilah yang mendorong Rasulullah saw, ketika telah berhasil menancapkan fondasi dakwah di Madinah, untuk membangun fondasi negara di kota suci ini dan membentuk sebuah sistem eksekutif yang sesuai dengan kondisi yang dominan kala itu.


Setelah Rasulullah saw meninggal dunia, Para Imam Maksum as pun aktif dalam roda pemerintahan masing-masing sesuai dengan kondisi ruang dan waktu yang berlaku kala itu. Contoh paling nyata untuk hal ini adalah pemerintahan Imam Ali as selama lima tahun. Sekalipun harus menghadapi banyak pasang surut, beliau telah berhasil menunjukkan sebuah model pemerintahan Ilahi di muka bumi dan meninggalkan banyak pelajaran berharga bagi umat manusia.


Sirah Imam Ali bin Abi Thalib as dalam memanajemen negara bisa dijadikan model oleh para pecinta beliau dalam menjalankan negara.

Dalam perspektif maktab Alawi, undang-undang yang ditetapkan oleh Allah adalah lebih sempurna dan lebih konprehensif dibandingkan dengan undang-undang yang ditetapkan oleh manusia sendiri.


Ketika memaparkan filsafat negara Islam, Imam Ali as menegaskan, “Ya Allah! Engkau sendiri tahu bahwa perang kami ini bukanlah untuk memperebutkan kekuasaan dan menumpuk harta dunia. Tetapi kami hanya ingin mengembalikan tanda-tanda agama-Nya ke tempatnya yang sebenarnya dan ingin melakukan perbaikan di muka bumi-Mu sehingga para hamba-Mu yang terzalimi bisa hidup dengan aman dan seluruh undang-undang-Mu yang telah terlupakan bisa dihidupkan kembali.”


Untuk itu, Imam Ali as menjelaskan seluruh tujuan negara Islam dalam surat kepada Malik Asytar dalam empat barometer:


[a] Mengurusi urusan finansial dan ekonomi.

[b] Menangani urusan militer guna membangun kesiapan untuk melawan musuh.

[c] Mempersiapkan lahan sosial dan stabilitas sosial supaya seluruh kemampuan masyarakat dan nilai-nilai Ilahi-insani bisa berkembang di tengah masyarakat.
[d] Melaksanakan pembangunan dan kemakmuran di segala bidang.


Melihat tujuan-tujuan mulia yang telah dicanangkan di atas, Imam Ali as telah mencincingkan lengan baju pada lima tahun kekuasaan untuk memperkokoh sistem negara Islami. Akhirnya, beliau pun gugur syahid di jalan ini. 



Sabtu, 15 November 2014

Ragam Politik Islam

(Foto: Burrard Lucas Photography) 

Oleh Abu Husein

Ada beberapa hal yang perlu kita perjelas keberadaannya –baik dalam batasan wacana maupun realitas dalam politik Islam. Pertama, kelompok yang sengaja memolitisasi Islam. Kedua, dugaan-dugaan politik yang ingin di-Islam-kan. Ketiga, etika dan roh politik Islami.

Perang Shiffin sudah dimulai. Pasukan Ali bin Abi Thalib hampir saja memenangkan pertempuran. Sebuah hasrat dan nafsu yang mengental kotor telah tersirat di benak Muawwiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Ash manakala ia menancapkan al Qur’an di ujung tombak seraya berteriak nyaring, “Bainana wa bainakum al Qur’an” (Antara kami dan kalian terdapat al Qur’an. Muawwiyah dan Amr bin Ash dapat melihat dengan jelas, bila perang itu berlanjut terus, maka ia akan terpecundangi. Oleh karena itu, al Qur’an mereka jadikan alat dan legitimasi untuk dapat mengambil simpati massa –dan massa pun harus tertipu dengan cara mereka yang mengatasnamakan kitab suci itu.

Mereka memolitisasi Islam dan ummat. Muawwiyah dan para sekutunya adalah aktualisasi yang paling transparan dalam memolitisasi Islam untuk sebuah ambisi politik yang di dalamnya terdapat segenap intrik, konspirasi, kolusi dan ribuan bentuk kelicikan lainnya.

Pada akhirnya semua itu bersatu dalam bentuk destruktif. Sementara Ali bin Abi Thalib, dengan nurani Islaminya, bangkit seraya mengatakan, “Mereka adalah orang-orang pencari kebatilan dan telah mendapatkannya”.

Di luar itu, ada segelintir pengikut Imam Ali bin Abi Thalib yang juga terkontaminasi. Mereka adalah orang-orang Khawarij –orang-orang yang gemar larut pada simbol-simbol luaran, serta memiliki dugaan-dugaan politik yang ingin mereka Islamkan, sembari mengatakan “La hukma illa-Allah.

Sayangnya, anggapan-anggapan dan dugaan-dugaan mereka melumat semua akal sehat mereka, dan karenanya mereka masuk dan terjebak pada sebuah kondisi di mana atribut harus didahulukan daripada substansinya. Imam Ali memberi penilaian terhadap mereka, “Adapun Khawarij adalah orang-orang yang senantiasa mencari kebenaran, tetapi mereka telah keliru dalam memahaminya, akhirnya mereka terjerumus dalam kesesatan”. Untuk memahami al Qur’an, kita perlu memiliki ilmu pengetahuan yang memadai. Tanpa hal tersebut, kita hanya mengikuti dugaan-dugaan tanpa dasar. Imam Ali sebenarnya hanya ingin memberi-tahu keadaan dan kondisi intelektual mereka yang rapuh, jiwa mereka yang labil, dan mudah diombang-ambing karena tak bersandarkan ilmu yang sahih.

Kelompok-kelompok (Khawarij) ini tak hanya berhenti sebatas di stasiun Shiffin saja, mereka terus menggelinding ke dalam kancah sejarah Islam –bahkan berganti-ganti bentuk. Namun, isinya tak pernah jauh berbeda dengan sejarah lamanya. Gerbong-gerbong Khawarij akhir-akhir ini penuh dan berada di sekitar kita dengan ciri-ciri khusus mereka: bodoh, memaksakan kehendak, dan intinya penuh dengan dugaan-dugaan yang tak jelas yang ingin mereka Islamkan, terutama dalam pandangan-pandangan politik mereka.

Kelompok yang terakhir adalah etika (akhlaq) dan ruh politik Islam. Kelompok ini adalah manusia Qur’ani dan sekaligus diwakili oleh washi-nya (pengemban wasiat) Rasulullah, Ali bin Abi Thalib. Beliau sadar ketika melihat al Qur’an yang sedang ditancapkan di ujung tombak, ketika beliau tak mudah tertipu oleh kulit luaran, sementara batin mereka penuh dengan kebatilan. Maka, beliau mengatakan, “kalimatul haq yurodu biha bathil”, artinya kalimat bahwa al Qur’an yang terpampang di ujung tombak itu benar –namun tujuan mereka penuh dengan intrik-intrik kebatilan.

Tak hanya sebatas itu, Imam Ali pun menegaskan, “Itu adalah al Qur’an yang bisu, yang terlihat oleh kalian. Sementara aku yang berada di hadapan kalian adalah al Qur’an yang berbicara”. Sebenarnya Imam Ali ingin mengatakan bahwa al Qur’an yang sudah menyatu dalam diri manusia akan membentuk penjernihan dalam akal dan jiwa manusia tersebut. Ia akan tercerahi dengan ma’rifat-ma’rifat rabbani.

Maka, manusia yang telah memiliki esensi al Qur’an dan berada di dalam al Qur’an, tak akan mudah disesatkan oleh segala bentuk yang tampak di permukaan –walau pun keberadaannya dalam lambang-lambang yang religius.