Label

Selasa, 30 Juni 2015

Suriah

 ... Shmemis Citadel (Windflower) Salamiyah, Hama, Syria | سوريا ازهار شقائق النعمان - قلعة
 Latakia, Suriah.
 Palmyra, Suriah.

 

Senin, 29 Juni 2015

Gerimis Saatku Bangun




Puisi Sulaiman Djaya

Saatku terbangun dengan nyala api di hatiku,
gerimis telah meninggalkanku dalam sedih.

Daun-daun tersenyum lembut,
burung-burung membacakanku sebuah puisi.

Mataku yang lembab kembali membara
oleh gairah riang kanak-kanak.

Aku tak ingat lagi apa yang dulu
Kau titipkan –yang kini kugenggam.
Aku tak ingat dengan apa Kau mencipta bara

sepasang mataku –yang kadang membuatku
tak dapat melihat mereka yang padam

bila hati-ku terlampau membara karena cinta.
Kutahu setiap gerak adalah langkah dan tangan

karena keriangan yang tak pernah lelah –kutahu
Kaulah yang menyulut gairah siang-malamku.

(2010) 


Sabtu, 27 Juni 2015

Ayatullah Murtadha Muthahhari dan Islam Sebagai Pandangan Dunia


Diterangkan dalam buku ini, etika atau keadilan menjadi berperan penting untuk mengatur suatu masyarakat. Di sini, terdapat beberapa pandangan mengenai landasan etika yang dicetuskan oleh beberapa pemikir yang oleh segelintir orang menjadikannya sebagai landasan dalam bertindak, kemudian dipertanyakan dan dianalisis satu persatu sehingga terlihatlah kebohongan dari nilai ‘luhur’ yang tersembunyi dibalik topeng yang menutupi kekosongan itu. Ayatullah Murtadha Muthahhari menemukan kelemahan-kelemahan di dalamnya, kemudian mengajukan suatu pandangan etika yang berlandaskan Tauhid sebagai suatu sistem yang dapat mengatur kehidupan individu dan masyarakat yang bertanggung jawab.

Dalam buku ini, Ayatullah Murtadha Muthahhari berbicara mengenai Agama sebagai Mazhab pemikiran dalam hubungannya dengan pandangan dunia (world vision) dan membuktikan kebutuhan manusia terhadap Agama dalam berideologi. Menurutnya, ideologi haruslah lahir dari pandangan dunia yang menyeluruh terhadap manusia, masyarakat, alam dan sejarah dan pandangan dunia yang memiliki landasan kerangka pikir (teori pengetahuan; epistemologi) yang kokoh pula.

Contoh mazhab dan pandangan yang dikritiknya adalah pandangan dunia empiris (materialis) yang dilontarkan oleh orang-orang yang tidak mengakui adanya sisi non-material manusia, yang memandang alam ini hanya pada bagian tertentu dan berubah sesuai zaman yang ada, sehingga tidak dapat dijadikan sebuah ideologi dalam mengarungi kehidupan yang harmonis, untuk mencapai tujuan yang hakiki. Pada titik yang sangat positif, Ayatullah Murtadha Muthahhari memandang bahwa suatu ideologi semestinya mampu menumbuhkan kasih sayang dan keharmonisan pada kehidupan serta memiliki rasa tanggung jawab pada setiap individu, memiliki landasan yang logis dan berlaku universal


Senin, 22 Juni 2015

SMS Bid'ah





Bukan kiai jika tak menelan resiko. Itulah yang dialami Kiai Ahmad Ishomuddin saat mengasuh rubrik konsultasi fiqih di sebuah surat kabar Lampung.

Rais Syuriyah PBNU ini menerima pertanyaan tentang hukum membunyikan sirine sebagai penanda waktu imsak.

Usai menjelaskan dalil dan alasannya, Kiai Ishom menjawab: mubah alias boleh. Ternyata tak semua orang puas dengan jawaban tersebut.

Ya, esoknya sebuah SMS tak dikenal masuk di HP Kiai Ishom, “Klun... ting...” Tanpa permisi SMS itu protes begini:

“Kiai, Anda jangan mengajak dan menyebarkan bid’ah. Kalau menggunakan sirine sebagai tanda imsak itu perbuatan baik, niscaya Rasulullah-lah yang pertama kali menggunakan dan memerintahkannya kepada para sahabat (Sekedar memberi peringatan!!!).”

Kiai Ishom paham, tiga tanda seru di ujung itu adalah petunjuk bahwa si pengirim sedang tidak main-main. Tapi, apa yang terjadi? Kiai Ishom malah SMS balik:

“Kalau memberi peringatan melalui SMS merupakan perbuatan baik, maka Rasulullah-lah yang pertama kali menggunakan dan memerintahkannya kepada para sahabat (Sekedar memberi jawaban!!!).”

Mendapat jawaban seperti itu, si pengirim SMS tidak merespon lagi (Mahbib Khoiron/NU Online


Sabtu, 20 Juni 2015

Apa Kurban Itu?




Apa Kurban Itu? Dan mengapa Imam Husain as adalah benih monotheisme –yang meski para pengikutnya terus dibunuh, akan senantiasa tumbuh? Kita tahu, Imam Husain as, setelah gugur dan syahid di Karbala itu, para musuhnya menyembelihnya dan kemudian kepala beliau dipancangkan di ujung tombak. Dalam Perjanjian Lama, tepatnya dalam Kitab Yeremia 46:6 dan 46:10 mencatat sebuah peristiwa di tanah utara, di dekat sungai Efrat. Berikut kutipan Perjanjian Lama tentang peristiwa di tepi sungai Efrat itu: “Orang yang tangkas tidak dapat melarikan diri, pahlawan tidak dapat meluputkan diri, di utara, di tepi sungai Efratlah mereka tersandung dan rebah. Hari itu ialah hari Tuhan ALLAH semesta alam, hari pembalasan untuk melakukan pembalasan kepada para lawan-Nya. Pedang akan makan sampai kenyang, dan akan puas minum darah mereka. Sebab Tuhan ALLAH semesta alam mengadakan korban penyembelihan di tanah utara, dekat sungai Efrat”.

Orang yang tangkas tidak dapat melarikan diri (Imam Husain as yang dengan ketangkasannya mampu mengalahkan tiga ratusan prajurit bersenjata sendirian di Karbala). Pahlawan tidak dapat meluputkan diri (Imam Husain as sang pahlawan, sebagai pemimpin syuhada tidak dapat menghindar dari dukacita “karbun” dan “wa” musibah “bala” yang bakalan menimpanya). Di tepi sungai Efratlah mereka tersandung dan rebah (Mereka para lawan TUHAN, Musuh TUHAN, tersandung dan rebah). Karbala, singkatnya, adalah moment sejarah dan religius, yang ingin menunjukkan kepada kita bahwa di dalam komunitas ummat beragama (dan tentu saja di dalam kancah ummat manusia), terdapat orang-orang munafik di mana mereka menggunakan dan membajak agama demi kepentingan yang bertentangan dengan spirit religius dan orang-orang yang melawan agama dan Tuhan dengan menggunakan agama. 


Jumat, 19 Juni 2015

Riwayat Lukisan The Evening of Ashura


Lukisan The Evening of Ashura ini merupakan salah satu mahakarya Mahmoud Farshchian, seorang maestro miniatur dan lukisan Persia, yang karya-karyanya telah ditampilkan di berbagai museum dan pameran dunia.

Lukisan tersebut bermula pada hari Asyura, tiga tahun sebelum revolusi Islam Iran terjadi. Saat itu, ibu dari Mahmoud Farshchian menyuruhnya untuk mendengarkan Rowzeh-Khani, sebuah eulogi atau puji-pujian tentang Imam Husain, cucu Nabi Muhammad saw. Karena memiliki pekerjaan lain, Mahmoud menunda untuk mendengarkannya. Namun setibanya di kamar, Mahmoud langsung merasa sedih. Dia merasakan sesuatu yang aneh dan segera mengambil kuas untuk mulai melukis The Evening of Ashura. Lukisan tersebut kemudian didonasikan untuk museum Imam Ridha, Mashhad.

Mahmoud Farshchian mengatakan ada sesuatu di dalam lukisan tersebut yang dapat membuatnya menangis dan jika dia melukiskannya lagi hari ini maka pasti hasilnya akan sama. Menurutnya, imagism bukanlah bagian dari sebuah lukisan. Imam Husain a.s. yang menjadi tema utama lukisan tersebut justru tidak nampak. Lukisan tersebut memiliki daya tarik dari ketidakhadiran karakter utama. Orang yang melihat akan mencari karakter utama yang menjadi pusat peristiwa Asyura yang seolah-olah tersembunyi, meskipun terdapat banyak petunjuk yang dapat menjelaskan situasi yang telah terjadi.

Kabar mengenai apa yang terjadi di medan pertempuran disampaikan oleh kuda yang kembali ke kemah tanpa penunggang. Mahmoud mengatakan bahwa hanya ada satu mata yang nampak dalam lukisan tersebut, sementara wajah-wajah yang lain tertutup. Mata itulah yang menyaksikan kesyahidan (Imam Husain). Tunduknya kepala kuda menegaskan tentang apa yang terjadi. Air mata yang mengalir dari mata kuda merefleksikan rasa malu (mortification) seekor hewan yang membawa kabar buruk.

Sementara burung-burung yang terkena darah para syahid merupakan pembawa pesan dari tragedi yang sesungguhnya. Kehadiran Zainab a.s. dan beberapa orang lain di pusat lukisan telah menambah daya tarik. Secara teknis, menurut Mahmoud[1], ilustrasi tersebut tidak akan bisa menampilkan perasaan kerinduan yang sesungguhnya jika hadir terlalu banyak orang. Lekukan pohon palem dan tenda yang ada di sisi kanan saling melengkapi untuk memusatkan perhatian orang yang melihat. Leher kuda dan sarung pedang sama-sama membuat sebuah lingkaran yang menekankan sebuah kontinuitas.

Mahmoud Farshchian mengatakan, seorang seniman—dengan anugerah seninya—bisa berada dalam kondisi cinta yang terus-menerus dan berhubungan dengan yang Esa. Transformasi batin yang mengikuti pengalaman tersebut dapat menggiring seorang artis kepada alam (realm) yang lebih luas; sebuah alam di mana kualitas lahir dan fisik yang dicintai kehilangan warna dan makna bagi sang seniman. Begitulah seorang seniman dapat menemukan esensi dari Sang Pencipta, dari objek cinta yang dia ciptakan. Segala ekspresi kecintaan pada alam ini adalah pujian bagi Dia.

Mungkin itulah sebabnya, ketika ditanya tentang penjualan karya-karyanya, Mahmoud Farshchian mengatakan[2], “Saya tidak perlu menjual karya-karya saya. Alhamdulillah saya tidak membutuhkannya. Isu materi tidak bermakna bagi saya. Mungkin saja salah satu karya saya berujung di sebuah pelelangan, tapi saya tidak pernah menjual karya-karya saya demi sejumlah uang.” (Sumber: https://ejajufri.wordpress.com/2014/10/25/kisah-lukisan-terkenal-asyura/)

Referensi:
[2] ^ “How Humans React to Art has Nothing to do with Nationality”. Iran Front Page. Diakses 12 Oktober 2014.