Label

Jumat, 31 Juli 2015

Tuhan dan Religiusitas Einstein yang Sunyat





Yang membuatku marah adalah, ketika orang-orang yang menyangkal Tuhan, mengunakan argumenku untuk mendukung pandangan mereka” (Albert Einstein)

Di tahun 1927, para ahli fisika berkumpul di sebuah ruangan yang berada dalam sebuah gedung besar. Pagi itu, di luar gedung, salju turun ragu-ragu, awal musim dingin mulai datang, pelan dan lamban. Kebanyakan orang memilih berlindung di balik selimut, cuaca awal musim selalu disambut dengan kemalasan. Tapi tidak dengan para ahli fisika itu, mereka berdebat, berdiskusi, sementara salju turun lamban tapi pasti di luar ruangan (di luar gedung).

Mereka adalah Max Planck, Pauli, dan Heisenberg, yang sedang membahas tentang Albert Einstein, teoritikus fisika terbesar abad ini. Diskusi mereka menitik pada pokok soal, Einstein yang terlalu sering berbicara tentang Tuhan dalam setiap esai dan ceramahnya, seperti ketika Einstein menulis, “aku ingin membaca pikiran Tuhan”, “Tuhan tidak bermain dadu”, dan yang lainnya.

Lalu bagaimana para ilmuwan itu harus menyikapi kelakuan Einstein tersebut? Setelah perdebatan sengit, akhirnya Pauli menyatakan: “Kalau batas antar bidang-bidang pemikiran dan pengalaman kita semakin menajam, pada akhirnya kita akan masuk pada sebuah kesepian yang menakutkan dan kita harus ijinkan air mata menetes”.

Itulah sebabnya, sebagai ilmuwan (fisikawan), Einstein menolak konsepsi Tuhan yang antroposentris (Tuhan yang dibayangkan seumpama manusia). Einstein melihat ide Tuhan personal sebagai bentuk antropomorfisme (seperti contohnya Mujassimah Wahabi yang menganggap Tuhan punya tangan dan bertempat).

Pada intinya, seperti alam, Tuhan adalah misteri tak terlukiskan dengan bahasa manusia. Mengapa demikian? Karena ia pun tidak bisa melukiskan batas sepi kosmos, sehingga ia pun harus terpaksa berhenti pada E=MC2. Itupun tidak juga menuntaskan misteri kosmos. Kosmos dan Tuhan tetap misteri yang tak akan pernah terungkap tuntas.

Dalam hal ini, Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pernah berkhutbah: “Ia yang untuk menggambarkan-Nya tak ada batas telah diletakkan, tak ada pujian yang maujud, tak ada waktu ditetapkan, dan tak ada jangka waktu ditentukan. Ia mengadakan ciptaan dengan kodrat-Nya, menebarkan angin dengan rahmat-Nya, dan mengukuhkan bumi yang goyah dengan batu”. 


Kamis, 30 Juli 2015

Contoh Akidah Rasional Syi’ah



Kepada Imam Musa al Kazhim (as), yang kala itu Imam Musa al Kazhim (as) berusia 5 tahun, Abu Hanifah mengajukan sebuah pertanyaan yang telah membuat Abu Hanifah merasa kebingungan: “Apakah seluruh perbuatan manusia terlaksana dari kebebasannya atau berada dalam kendali Tuhan dan membuatnya melakukan hal itu (terpaksa)?”

Imam Musa al Kazhim (as) menjawab bahwa ada tiga kemungkinan di balik pertanyaan Abu Hanifah itu: [1] Allah Swt memaksanya untuk melakukan sebuah perbuatan. [2] Antara Allah Swt dan manusia bertanggung jawab atas perbuatan itu. [3] Manusia melakukannya sendiri, dalam rangkuman kebebasannya. Imam Musa al Kazhim as menjelaskan:

Apabila kemungkinan atau anggapan pertama benar maka manusia tidak seyogyanya diadili pada Hari Hisab dan dikirim ke surga atau neraka, lantaran ia tidak pantas mendapatkan hal itu. Manusia tidak bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Anggapan ini tidaklah demikian adanya. Apabila kemungkinan dan anggapan kedua benar bahwa antara Allah Swt dan manusia keduanya harus diadili pada Hari Hisab. Anggapan ini juga tentu saja tidak masuk akal.

Kemudian, tersisa kemungkinan dan anggapan yang ketiga dan menjadi anggapan satu-satunya yang tersisa. Anggapan yang benar adalah anggapan yang ketiga, lantaran manusia telah diberikan kebebasan setelah menerima bimbingan dan tuntunan tentang apa yang baik dan apa yang buruk.

Abu Hanifah berujar bahwa alangkah luar biasanya rumah tangga seperti ini. Bahkan bocah kecil sekalipun dapat menjawab dan memberikan kepuasan atas kumpulan beberapa pertanyaan! Ia berkata bahwa tidak perlu lagi ia bersua dengan Imam Keenam, Imam Ja’far Sadiq as, dan ia kembali ke rumahnya setelah mendapatkan jawaban dari Imam Musa al Kazhim as. 


Selasa, 28 Juli 2015

Desa Alam

 Ketika rumah dibangun menyatu dan selaras dengan alam. Sungguh sebuah kearifan yang saat ini telah hilang, dan sudah sepantasnya dihidupkan kembali.
 

Minggu, 26 Juli 2015

Ladang Teh di China (Tiongkok)

Empat foto ini telah menghadirkan keindahan dan keanggunan kebun teh di China (Tiongkok) kepada kita. 

Jumat, 24 Juli 2015

Ragam Lukisan karya Iman Maleki

Inilah sejumlah lukisan indah dan anggun karya Iman Maleki, seniman kelahiran Teheran, Iran tahun 1976. 

Everyday Iran

Picturesque nature of #Kermanshah, #Iran. Photo by Nima Mohesenpour @nimamohsenpour 

A group of elementary students take a rest and have ice-cream on their visit to the historical part of #Yazd City, #Iran. Photo by Ali Golshan @golshanali for @EverydayYazd 

A woman visiting a painting exhibition by Mr. Meyqani at Aeeine-ye Shahr Cultural Center. #Arak, #Markazi, #Iran. Photo by Jafar Majidi 

A flock of sheep grazing on the green countryside of #Ahwaz, #Khuzestan, #Iran. Photo by Davood Karimi @davood.karimi 

A man walking at Barajin Forest Park, the largest forest park in the country. #Qazvin, #Iran. Photo by Khashayar Fazel Kashani @khashayar_fazel_kashani 

A flock of sheep grazing on large areas of upland pasture in #Kalaleh, #TurkmenSahra, #Golestan, #Iran. Photo by @_pedram_r 

Masal city from the crest of a hill. #Gilan, #Iran. Photo by Ahmad Abdi @ahmadabdi_s #everydaygilan 

A view of Tohid Tunnel, the third longest urban tunnel in the Middle East. #Tehran, #Iran. Photo by @dmahyar 

Tehran Symphonic Orchestra. #Iran. Photo by Ava Kiaei @avakiaie #everydaytehran #everydayiran 

People hiking in the foothill of Mount Touchal. #Tehran, #Iran. Photo by Naser Hesami @naserhesami

Selasa, 21 Juli 2015

Kisah-kisah Ayatullah Ali Khamenei





Kemah di Libya
Di Libya didirikan kemah dimana pintu masuknya sangat pendek sehingga setiap orang yang masuk ke tempat tersebut akan membungkuk. Di depan pintu masuk dipajang foto Qadhafi, pemimpin Libya (kala itu). Hal ini menandakan bahwa setiap orang yang masuk ke dalam kemah tersebut mau tak mau harus menunduk di hadapan foto Qadhafi.Tapi sebaliknya yang dilakukan oleh Ayatullah Khamenei ketika akan memasuki tempat tersebut. Beliau berbalik arah dengan keadaan membelakangi pintu, beliau masuk ke kemah itu. Hal itu dilakukan supaya tidak menunduk di hadapan foto Qadhafi. (Diceritakan kembali oleh Ali Akbar Velayati)

Bersikaplah Jujur
Di salah satu lawatan rutinnya, Ayatullah Ali Khamenei berkunjung ke Propinsi Mazandaran dan beliau tiba di wilayah terpencil. Ars Ma Khust. Saat mengunjungi sebuah sekolah, beliau menyaksikan semua bangku dan kursi di sekolah itu baru. Beliau langsung menduga bahwa meja dan kursi sengaja didatangkan untuk menyambut kedatangannya. Dengan cerdik beliau bertanya kepada para murid, sejak kapan bangku dan kursi di sekolah diganti. Para murid menjawab, ‘sejak kemarin’. Mendengar jawaban itu, beliau memandang para pejabat daerah dengan tatapan penuh makna seraya memperingatkan, "Tidak perlu kalian menutup-nutupi keadaan di hadapan pejabat yang tahu akan kesulitan yang ada." (Baqir Zadeh, Ketua Komite Pencari Syuhada Yang Hilang)

Makan Malam yang Sederhana
Suatu hari ketika saya menghadap Rahbar di rumah beliau, pembicaraan kami berlangsung sangat lama hingga mendekati saat shalat Maghrib. Usai menunaikan shalat Maghrib, beliau berkata kepadaku, "Saudara Rahim, makan malamlah bersama kami." Meski menurutku ini merupakan anugerah yang besar namun saya menolak dengan halus karena hal ini akan merepotkan beliau. Rahbar mengatakan, "Ini tidak merepotkan, tetaplah di sini dan makan malam bersama kami apa adanya." Ketika makan malam telah disiapkan, saya melihat makan malam beliau bersama keluarganya sangat sederhana dan tak lebih dari TELUR GORENG. Akhirnya saya pun ikut makan bersama beliau dengan makanan sederhana tersebut. (Panglima Pasukan Pengawal Revolusi, Mayjen Rahim Safawi)