Label

Selasa, 23 Desember 2014

Syahid Muthahhari –Ulama yang Filsuf dan Filsuf yang Ulama


As Syahid Murtadha Muthahhari adalah sedikit diantara kalangan ulama yang berjaya memadukan ciri-ciri keulamaan dan keintelektualan dalam satu kepribadian, di mana beliau bukan sekadar mendalami ilmu-ilmu Islam tradisional, namun juga turut fasih berbicara tentang mazhab-mazhab pemikiran Barat –utamanya tentang Bertrand Russell. Memang, ini satu kelebihan yang mengagumkan! Tidak banyak tokoh yang berjuang, tetapi dalam masa yang sama mampu menekuni berbagai disiplin ilmu, dan Muthahhari adalah salah seorang darinya. Dan, hampir sebahagian besar waktu hidupnya dihabiskan demi merealisasikan sebuah negara yang bercitrakan Islam.

Muthahhari, dilahirkan pada tanggal 2 Februari 1919 dari kelompok keluarga alim di daerah Khurasan. Ayahnya, Hujjatul Islam Muhammad Husain Muthahhari adalah seorang ulama yang dihormati lagi disegani oleh masyarakat setempat. Sejak menjadi siswa di Qum, Muthahhari sudah menunjukkan minatnya pada falsafah dan ilmu pengetahuan modern. Di Qum, Muthahhari menuntut ilmu di bawah bimbingan Ayatullah Boroujerdi dan Ayatullah Khomeini.

Dalam falsafah, beliau amat terpengaruh dengan pemikiran Allamah Husain Thabathaba’i. Muthahhari begitu tekun dan pantas menguasai ilmu-ilmu falsafah yang diajar di hauzah-hauzah ilmiah. Buku-Buku yang ditulis oleh William Durant, Sigmund Freud, Bertrand Russell, Albert Einstein, Erich Fromm dan para pemikir Barat yang lainnya telah ditelaahnya dengan serius sekali. Keseriusan Muthahhari dalam menelaah pemikiran Barat bukan karena malu-malu untuk menonjolkan pemikiran Islam, sebaliknya, Muthahhari mencoba untuk melakukan studi perbandingan antara pemikiran Islam dan Barat. Kita bisa membacanya, banyak terminologi Islam telah dikupas olehnya dalam buku-bukunya, sehingga memberikan kesempatan bagi upaya Islam dalam menawarkan pemikiran alternatif.

Muthahhari, pada usia relatif yang masih muda, sudah mampu menurunkan ilmu logika, falsafah dan fiqh di Fakultas Teologi, Universitas Teheran. Dan, dalam waktu yang sama, beliau turut menjabat sebagai Ketua Jurusan Falsafah. Disamping itu, beliau tidak canggung untuk menyampaikan kuliah dalam bidang yang berbeda seperti kuliah al-Ushul, kuliah Ilmu Kalam dan kuliah al-Irfan.

Dengan samudera pengetahuan ilmu ini, Muthahhari langsung tidak berminat untuk memilih hidup damai, meskipun beliau ada pilihan untuk itu. Baginya, badai (perjuangan) lebih bermakna daripada damai. Justru, beliau menterjemahkan gagasan-gagasannya tentang arti kehidupan melalui gerak kerja aktivis dan menulis buku-buku. Keaktifan beliau telah berjaya membentuk satu kombinasi ampuh bersama-sama dengan Ayatullah Khomeini dalam kerangka menentang rezim Shah Pahlevi yang zalim dan menindas. karena itu, Muthahhari telah ditahan pada 1963 akibat implikasi langsung dari peristiwa Khordad.

Manakala Ayatullah Khomeini diasingkan ke Turki, Muthahhari telah diamanahkan untuk memangku kepemimpinan gerakan rakyat Iran serta memobilisasikan para ulama dalam melanjutkan semangat perjuangan Islam yang dirintis oleh Ayatullah Khomeini. Langkah-langkah politiknya jelas sekali sangat tersusun dan mengugat. Muthahhari (bersama-sama Ali Shari’ati dan Husain Beheshti) turut mendirikan Husainiyyah-e-Irsyad yang menjadi pangkalan kebangkitan intelektual Islam sebelum revolusi meletus. Disamping itu, Muthahhari yang juga Imam Masjid al-Jawad, dan secara konsisten menggalang dukungan rakyat Iran bagi menyuarakan simpati pada perjuangan Palestina.

Pasca kemenangan Revolusi Iran 1979, Muthahhari telah dilantik menjadi anggota Dewan Revolusi. Karakteristik yang menonjol pada diri Muthahhari telah menjadikannya sebagai seorang ulama yang dinamik, bersandarkan penguasaan ilmu-ilmu Islam, modern serta terlibat dalam dunia aktivisme.

Perjuangan Ulama Berkacamata Tebal

Diantara ratusan buku yang dia tulis kemudian, orang juga tahu dia telah mendalami pemikiran filosof sekelas Aristoteles, menamatkan berjilid-jilid Story of Civilization karya Will Durant, menelaah karya-karya Sigmund Freud, Bertrand Russel, dan pemikir-pemikir Barat lainnya. Dia berkacamata tebal dengan serban putih melilit di kepala, bisa membedah marxisme, menguliti materialisme, dan menunjukkan Islam sebagai sebuah pandangan dunia yang sesuai fitrah manusia.

Dia juga seorang orator yang hebat. Husainiyah Irsyad adalah tempat yang menyaksikan dedikasi Muthahhari terhadap pencerahan dan pendidikan. Pada hampir semua ceramahnya, dia selalu menunjukkan antusiasme yang tinggi dan optimisme yang tak kalah tingginya. Intonasi suaranya naik turun, seperti ingin membelai sukma yang terdalam.

Dia tetap membaktikan hidupnya di jalur itu hingga ajalnya tiba. Pada 2 Mei 1979, sekelompok orang bersenjata menunggunya di luar pintu rumah. Dia tewas diberondong. Peluru memecah mata dan menembus belakang telinganya. Dia tewas dan Iran berkabung sehari setelahnya. “saya nyatakan,” kata Ruhullah Khomeini dalam sebuah pidato, “Hari Kamis, 3 Mei 1979, sebagai hari berkabung nasional untuk menghormati pribadi yang siap mengorbankan diri, yang berjihad di jalan Islam dan untuk kepentingan bangsa.”

Kita mungkin sulit mengikuti jejak Muthahhari, namun, dari buku-bukunya, kita bisa belajar konsep takwa-buah jihad akbar yang paling sering disalahpahami banyak orang. Dia membawa takwa ke makna sejatinya, sebagai penjagaan, dan memperkenalkan kedalaman dan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam berbagai ceramah dan bukunya, Muthahhari banyak bercerita tentang apa takwa itu dan bagaimana dia bisa menancap dalam jiwa; bagaimana dia bisa menjadi seperti pohon yang menjulang ke langit dengan akar-akarnya, menghunjam di bumi dan memberikan buah setiap musimnya.

Minggu, 21 Desember 2014

Yang Terkenang


Puisi Emily Bronte (1818 – 1848)

Rasa dingin di dalam tanah–salju tebal menimbun tubuhmu,
jauh, jauh, terhapuslah, dingin dalam pemakaman menyedihkan!
Bisakah kulupakan, cintaku, yang mencintai dirimu,
Terputus demi memutuskan seluruh alunan musim?

Kini, ketika seorang diri, janganlah pikiranku melayang lebih jauh
hingga ke pegunungan, lalu ke pantai utara,
Berhenti pada sayap-sayap yang padang rumput dan daun-daun pakis menutupinya
Sanubarimu yang agung, adakah yang abadi, selamanya?

Rasa dingin di dalam tanah, dan lima belas Desember yang liar,
Dari bukit kecokelatan itu, ada musim semi yang melebur:
Kesetiaan, kesungguhan, jiwa yang terkenang,
Setelah tahun-tahun perubahan dan penderitaan!

Cinta manis di masa muda, maafkanlah, jika aku melupakanmu,
Sementara golombang di dunia terus menghubungkanku;
Pada hasrat lain dan harapan lain yang mengepungku,
Harapan-harapan tersembunyi, tapi ini bukanlah kesalahanmu!

Tak ada cahaya esok yang dapat menyinari surgaku,
Tak ada pagi kedua yang dapat bersinar untukku;
Semua kebahagiaan hidupku berasal dari jiwamu,
Semua kebahagian hidupku terkubur dalam dirimu.

Tetapi, ketika hari-hari dengan mimpi indah telah binasa,
Dan ketika keputusasaan telah dihancurkan dalam ketidakberdayaan;
Lalu aku belajar bagaimana kebahagian bisa disimpan dalam hati,
Dengan begitu kuat, dan kebosanan tanpa penolong dalam kebahagiaan.

Kemudian aku memeriksa air mata dari perasaan yang sia-sia–
Menghentikan jiwaku dari kerinduan untukmu;
Penolakan tegasnya menghanguskan harapan dengan cepat
Jatuh terjerembab ke bawah pusaraku.

Dan, meski belum kulakukan, Aku tak sampai hati membiarkannya tersiksa,
Tidak berani mempertaruhkan hati dalam ingatan bahagia yang pedih;
sekali meneguk dalam-dalam penderitaan yang indah,
Bagaimana bisa aku mencari kehampaan duniawi lagi?

Diterjemahkan dari puisi berjudul Remembrance karya Emily Bronte  oleh Juwita Purnamasari. 


Rabu, 17 Desember 2014

Kronik Sastra Akhir Tahun 2014


Dalam rangkaian acara malam anugerah sayembara Menulis Novel DKJ Kamis, 18 Desember 2014 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki akan ada Peluncuran Buku Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 pada pukul 17.00 WIB. 


Senin, 15 Desember 2014

The Wind Will Carry Us –Memaknai Kembali Komunikasi


Oleh Otty Widasari

Sebuah mesin dari peradaban moderen, berisi manusia-manusia moderen dari zamannya melintasi jalan berliku membelah perbukitan mencari lokasi yang sulit dicapai dan tak ada penunjuk arah yang pasti selain tanda-tanda alam. Lokasi yang dicari itu amat jauh. Perubahan warna matahari menggambarkannya, di lahan luas berwarna emas. Simpul komunikasi pun ditunjukkan dalam filem besutan Abbas Kiarostami, The Wind Will Carry Us.

Syahdan, sebuah perjalanan pencarian spiritual dilakukan Behzad dan kru yang akan memfilemkan upacara kematian tradisional di desa suku Kurdi, Shiah Dareh. Perjalanan ini membawa kebudayaan moderen bersamanya dan hinggap di relung kebudayaan tradisional yang diisi oleh perempuan, anak-anak dan para lelaki usia senja. Secara fungsional diceritakan bahwa lelaki Kurdi memiliki karakter sosial perantau dan selalu keluar dari kampungnya untuk bekerja, sekolah ataupun berjuang untuk kemerdekaan bangsa Kurdi. Pencarian spiritual ini mengesankan sebuah aksi pencarian harta karun yang terpendam ribuan tahun karena lokasi yang didatangi adalah merupakan situs yang tersembunyi dari sejarah peradaban Iran dan merupakan kota purba tempat asal-usul bangsa Kurdistan yang bahkan disebut sebagai jejak pertama orang Aria yang dikenal sebagai Iran sekarang ini, dan merupakan perlintasan budaya antara barat dan timur.

Tersebutlah seorang laki-laki moderen bernama Behzad Dourani yang membawa seorang perempuan moderen (Forough Farokhzad yang diwakilkan oleh puisinya), datang ke sebuah tempat untuk menemui seorang perempuan tradisional berusia lebih dari 100 tahun (sebuah penggambaran usia yang agung dalam kehidupan manusia karena dia merupakan saksi pergantian sebuah abad) yang sedang menjelang datangnya ajal. Tersebutlah bahwa upacara kematian di desa Shiah Dareh memiliki tradisi spesifik dan bagi orang kota bisa dijadikan objek eksotis untuk difilemkan. Bagaimanapun, penghuni wilayah tradisional menganggap hal itu suatu kesakralan. Kesakralan itu ada dalam puisi Forough Farokhzad yang datang ke Shiah Dareh bersama Behzad. Dan si moderen memiliki kesimpulan yang pragmatis dalam memaknai puisi tentang bayang-bayang kematian yang dibawanya. Namun jalinan makna dalam puisi tersebut telah membawa si moderen yang terlebih dahulu membawanya, ke sebuah area yang tidak diketahuinya.

Persoalan gender merupakan salah satu isu utama dalam filem ini. Sejak awal Behzad memasuki gerbang desa, dia selalu berpapasan dengan para perempuan yang selalu menyapanya lebih dahulu. Walaupun digambarkan dalam wilayah domestiknya, di mana perempuan merupakan penguasa dan bisa memperjuangkan teritorinya dengan cukup keras, namun melalui adegan di kedai teh Tadjilod sekaligus juga menggambarkan bahwa peran perempuan sejak dahulu dan secara turun temurun telah didomestifikasi oleh sistem patriarki.

Harta karun eksotis yang dicari oleh intelektual dari budaya moderen ini berada di balik jendela berbingkai biru dengan tirai yang selalu tertutup milik Malek, si nenek sekarat yang dikabarkan berusia 100 atau 150 tahun (merujuk dari percakapan Behzad dan Farzad, si anak kecil usia sekolah dasar dan calon intelektual di masa mendatang, yang menjadi penghubung Behzad dengan desa itu dalam usahanya mencapai tujuan), merupakan sebuah puisi moderen tentang bayang-bayang kematian.Cerna saja larik puisi Forough Farokhzad berjudul The Wind Will Carry Us ini: “…Seperti menanti lahirnya sang hujan, sesaat, setelah itu sunyi…”. Peristiwa menjelang ajal yang ada di balik jendela biru itulah yang menjadi penantian panjang dalam filem ini, membuat Behzad jadi berkenalan dan masuk lebih jauh ke dalam lokasi kebudayaan tradisional dan menyebabkan bergesernya persoalan keyakinan si orang kota

Terjadinya benturan budaya dalam filem ini tergambar melalui proses komunikasi dari wilayah moderen yang mengalami ketersendatan saat dia harus berhadapan dengan proses komunikasi dari wilayah tradisional. Behzad tidak pernah berhasil melakukan komunikasi dengan baik di desa itu. Farzad yang seharusnya membantu Behzad selalu melakukan penolakan. Seperti saat berkali-kali Behzad memintanya membawakan susu, juga mereka memiliki harapan yang berbeda tentang kondisi kesehatan Malek yang tak lain adalah nenek Farzad. Behzad harus juga mengalami pantulan komunikasi dalam melakukan komunikasi tradisional secara langsung. Komunikasi yang dilakukan Behzad dengan ibu pemilik rumah tempat dia dan kru tinggal dilakukan melalui pantulan cermin, dan Behzad tidak mengenali wajah induk semangnya itu saat mereka bertatap muka. Hampir setiap percakapan Behzad dengan orang-orang tersebut selalu terputus dengan dering selularnya. Behzad pun harus berkali-kali naik atas bukit (pemakaman) dengan mobilnya demi mendapatkan sinyal untuk dapat berhubungan dengan atasannya di Teheran. Alat komunikasi moderen itu harus membuat jalannya sendiri dalam melakukan tindak komunikasinya menuju sebuah pucuk kematian di desa Shiah Dareh yang bahkan sedang menjelang kedatangan era globalisasi komunikasi. Dan dalam usahanya membuat alur komunikasi itu si intelektual moderen harus turun ke dasar piramida komunikasi yang dibuat si sutradara dalam filem ini, kembali ke mitos-mitos komunikasi yang hidup dalam tatanan sosial masyarakat tradisional. Alur yang terjadi dalam piramida komunikasi itu berisi hakikat kemanusiaan yang dilambangkan dengan sepotong tulang paha manusia dari masa lampau yang diberikan oleh si penggali saluran telekomunikasi di pemakaman, Yossef, kepada Behzad, dan Behzad meletakkannya di dasbor mobilnya dan membawanya serta dalam mobilitasnya di desa Shiah Dareh.

Secara perlahan tersirat makna penghancuran komunikasi tradisional dalam filem ini, di mana ruang-ruang dalam rumah tinggal Behzad dan kru di desa tersebut telah berubah menjadi ruang-ruang komunikasi moderen yang semu karena tidak pernah memperlihatkan si komunikan dalam tiap percakapan. Ini merupakan isu sejarah moderenitas Iran, di mana filem ini dibuat pada pergantian abad ke-20 menuju abad ke-21 –abad globalisasi teknologi komunikasi yang bisa jadi memang secara perlahan telah menghancurkan konsep komunikasi tradisional, dan juga merujuk pada usia Malek, si objek pencarian behzad yang diperkirakan lahir pada pergantian abad ke-19 menuju abad ke-20, yaitu abad moderenisasi. Katakanlah Malek mungkin lahir pada 1849, di mana waktu itu Persia sedang menggalakkan Persianisasi ke seluruh wilayah Timur Tengah, ermasuk Asia Selatan dan Turki. Tersiratlah sebuah makna bahwa sebuah masyarakat tidak akan terlepas dari pesatnya laju moderenisasi abad demi abad, menyisakan jejak-jejak tradisi yang masih hidup dalam masyarakat tradisional, dan kemudian bakal menjadi objek eksotisme bagi budaya moderen.

Sedangkan dari arah sebaliknya, wilayah komunikasi tradisional menahan dirinya karena ada sejumlah rahasia politik dalam kehidupan sosial masyarakat di daerah ini. Mitos komunikasi digambarkan sebagai bayangan komunikasi atau bersifat semu, yang merupakan juga konsep komunikasi moderen.

Hubungan pertemanan yang unik antara Behzad dan Yossef, si penggali saluran di pemakaman, mengantar kita pada pengenalan mitos komunikasi tersebut. Ini disebabkan si intelektual dari wilayah moderen berkomunikasi dengan Yossef yang berada dan hidup di dalam mitologi itu sendiri. Mereka saling mengomunikasikan muasal sebuah legenda. Komunikasi itu dilakukan di pemakaman, sebuah ‘ziarah ke mitologi kuno’. Dan sedikit demi sedikit terjadi pergeseran keyakinan yang dialami oleh si orang kota moderen ini, sebuah pengalaman spiritual karena ada bayang-bayang kematian dalam komunikasi yang dilakukannya bersama penduduk Shiah Dareh.

Saat behzad berjumpa dengan seorang lelaki seusianya yang ternyata tidak merantau karena dia seorang guru (intelektual) di desa itu, kita tidak hanya melihat bahwa friksi antara budaya moderen dan budaya tradisional terjadi di Iran dalam konteksnya sebagai negara, tapi juga friksi lain itu ada dalam suatu wilayah tradisional di negara itu, yang dirasakan oleh orang yang mengenyam pendidikan lebih tinggi dan dapat merasakan bahwa tradisi upacara kematian di desanya merupakan kenyataan yang menyakitkan, apalagi ada faktor ekonomi yang menunjang hal menyakitkan tersebut. Cara pandang intelektual lokal ini merupakan dampak moderenitas terhadap budaya tradisional.

Filem ini juga menampilkan adanya infiltrasi keyakinan secara halus oleh budaya moderen yang diwakilkan oleh Behzad kepada budaya tradisional. Sementara lokasi budaya setempat tidak memiliki kemampuan berdialektika, digambarkan melalui kepolosan Farzad yang tidak bisa menjawab pertanyaan ujian tentang apa yang terjadi pada hari kiamat. Behzad memberitahu jawaban pada Farzad setelah sebelumnya bermain-main kata dengan memutarbalikkan fakta tentang surga dan neraka terlebih dulu. Terjadi percakapan tentang kematian di kedua budaya yang berbeda dan kita menemukan kontradiksi kultural yang bisa diartikan sebagai percakapan tentang dua keyakinan dari dua lokasi kebudayaan yang berbeda.

Kemudian kita diperkenalkan pada beberapa karya sastra yang berasal dari zaman Iran kuno dan moderen, namun keduanya diperkenalkan dari dalam tanah, yang kemudian menimbulkan pertanyaan: apakah kedua karya sastra tersebut juga memiliki sejumlah rahasia politik sehingga tidak dengan mudah bisa dikenali di permukaan yang terbuka?

Sastra pertama berasal dari Forough Farokhzad (penyair moderen Iran yang karya-karyanya diterapkan oleh kaum feminis), sebagaimana filem ini diberi judul, The Wind Will Carry Us. Puisi ini bercerita tentang bayang-bayang kematian dan dibacakan oleh Behzad kepada Zaenab, kekasih Yossef, di kandang sapi gelap gulita dan terletak di bawah tanah. Ini merupakan dampak politik gender di negara dengan hukum Islam. Dan ini diterapkan di ranah budaya yang bertolak belakang dengan ranah kelahiran puisi tersebut. Menunjukkan sebuah kritik terhadap budaya tradisional, bahwa di negara yang pernah melahirkan penyair perempuan moderen masih berlaku ketidaksetaraan gender. Dengan kata lain kita telah melihat Forough Farokhzad ditarik dari kontemplasinya, sebab sastranya yang berdiam di moderenitas Teheran harus diimplementasikan di ranah tradisional. Dalam adegan yang sama juga dibacakan puisi lain dari Farokhzad berjudul ‘Hadiah’, menceritakan tentang perempuan yang hanya berteman dengan kegelapan. Terasa ada semangat optimisme bagi perempuan disandingkan dengan keterpingitannya, di mana ruang gelap bawah tanah itu merupakan kandang sapi perah yang melambangkan kesuburan dan kehidupan. Juga ada bagian di mana si perempuan bertanya pada laki-laki yang membacakannya puisi, tentang pendidikan yang dienyam oleh sang perempuan penyair. Si lelaki moderen memberinya gambaran jalan menuju intelektualitas bagi perempuan melalui biografi Forough Farokhzad. Walau jalan menuju intelektualitas itu ditunjukkan dalam kegelapan sebuah ruang bawah tanah. Namun semangat optimisme itu, sebagaimana dihantarkan oleh si sutradara secara gamblang, telah diberikan oleh seorang lelaki. Seandainya pembuat filem ini seorang sutradara perempuan Iran, akankah dia membiarkan si penyair datang sendiri ke dalam kandang sapi perah yang gelap itu tanpa diantar oleh seorang lelaki moderen?

Sastra lainnya berasal dari zaman Iran kuno, yaitu legenda ‘The Love of Shirin’ terlibat dalam percakapan antara Behzad dan si penggali saluran di pemakaman, Yossef. Sastra ini kita ketahui sebagai kisah sepasang kekasih, Shirin (istri seorang pangeran) dan kekasih gelapnya, Farhad yang dalam percakapan Behzad dan Yossef disebutkan adalah oang yang membangun kota Bistonia. Namun kisah The Love of Shirin yang memiliki beberapa versi ini selalu dibuat oleh laki-laki. Di sini kita dapat melihat pertarungan isu gender yang menggunakan kota Shiah Dareh sebagai ruang tarungnya.

Kita juga dapat mengenali rubaiyat Omar Qayyam, penyair Persia kuno, yang beberapa kali muncul dari percakapan pelaku-pelaku dalam filem ini. Namun berlainan dengan karya Farokhzad yang bicara tentang keterkungkungan dan bayang-bayang kematian, karya Omar Qayyam yang terkenali dalam filem ini justru menggambarkan keindahan hidup hari ini.

Alur filem ini membentuk sebuah piramida komunikasi yang memiliki landasan puisi, dan konsep komunikasi global yang menjadi puncaknya. Kedua konsep yang menjadi dasar dan puncak piramida itu dipertemukan pada ranah komunikasi tradisional melalui lubang puisi tradisional yang kita temukan di puncak komunikasi global berupa pemakaman, dan sebuah lubang puisi moderen berupa lubang kesuburan.

Filem ini ditutup dengan perekaman wajah para pelayat dengan menggunakan kamera diam, menggantikan filem, di mana durasi peristiwa upacara kematian Malek yang diwakilkan hanya oleh wajah para perempuan pelayat tersebut dibekukan dalam satu bingkaian diam. Mengingat kelahiran kamera diam yang lebih awal daripada kamera filem, bisa diartikan bahwa pada akhirnya si intelektual moderen ini kembali turun ke dasar piramida kebudayaan untuk memberi arti pada harta karun yang sudah ditemukannya dalam bentuk yang berbeda karena dipandang dari kaca mata keyakinan yang sudah bergeser dari posisinya semula. Inilah aktivitas pendokumentasian dengan menggunakan medium teknologi moderen, merekam peristiwa tradisional yang melingkupi semua isu beserta konflik dan friksinya di lokasi kebudayaan tradisional melalui pandangan moderen yang menggunakan konsep asalnya.

Kemungkinan lain dari adegan kamera ini, yaitu merujuk pada pendapat Roland Bhartez bahwa gambar diam merupakan esensi dari sebuah filem. Karena fotografi yang sifatnya mengekalkan itulah, maka digambarkan Behzad hanya mengambil gambar wajah para perempuan pelayat yang juga tergambar dalam puisi Forough Farokhzad. Dan akhirnya Behzad mengembalikan tulang dari masa lampau itu ke alam, melemparkannya ke sungai yang mengalir melewati kambing-kambing yang merumput di tepiannya. Membawa kita pada pemahaman untuk lebih memilih hari ini daripada yang lampau.

They tell me she is as beautiful as a Houri  from heaven!
Yet I say
That the juice of the vine is better
Prefer the present to these fine promises
Even a drum sounds melodious from afar…
Prefer the present … 
(Sumber: http://jurnalfootage.net/v4/artikel/the-wind-will-carry-us-otty-widasari)