Label

Jumat, 27 Februari 2015

Tulisan Lebih Penting


Tulisan di bawah ini merupakan kutipan dari buku "Menghibur Diri sampai Mati: Mewaspadai Media Televisi" karya Neil Postman, edisi Indonesia, yang diterbitkan pada tahun 1995 oleh Pustaka Sinar Harapan, halaman 32-33.

Kasus di bawah ini memuat pembahasan luar biasa mengenai bentuk penuturan kebenaran yang dianggap pantas. Seorang kandidat doktor mencantumkan catatan kaki dalam tesisnya: “Dituturkan kepada penulis di Hotel Roosevelt pada tanggal 18 Januari, 1981 disaksikan oleh Arthur Lingeman dan Jerrold Gros.”

Kutipan ini menarik perhatian empat dari lima penguji lisan, yang semua berpendapat bahwa kutipan wawancara tersebut tidak dapat diterima dan harus segera diganti dengan kutipan dari buku maupun artikel. “Anda ‘kan bukan wartawan,” kata salah satu guru besar. “Anda harusnya bertindak sebagaimana layaknya seorang akademisi.”

Mungkin karena si kandidat merasa tidak mungkin menemukan kutipan tertulis untuk menggantikan fakta yang didapatnya secara lisan tersebut, ia mencoba membela diri dengan mengandalkan para saksi yang sanggup dimintai keterangan mengenai percakapan yang dikutip tersebut. Kandidat ini malah terus berargumentasi bahwa ada lebih dari 300 kutipan dari sumber tertulis di dalam tesisnya itu, dan rasanya tidak mungkinlah semua kutipan itu akan diperiksa satu persatu oleh para penguji.

Singkatnya, ia mempertanyakan, mengapa Anda sekalian percaya saja pada kutipan dari sumber tertulis tapi tidak percaya pada kutipan dari sumber lisan?

Jawaban yang didapatnya adalah sebagai berikut: Anda salah besar bila mengira kebenaran suatu gagasan sama sekali tidak berhubungan dengan bentuk penyampaian gagasan tersebut. Di dunia akademis, kata-kata yang dicetak mempunyai kedudukan dan otentisitas lebih tinggi daripada kata-kata yang diucapkan. Apa yang dikatakan seseorang diasumsikan sebagai sesuatu yang diucapkan secara tidak resmi dibandingkan dengan kata-kata yang ditulisnya. Kata yang tertulis dianggap telah “lulus uji,” telah dipikirkan secara seksama, dikoreksi berulangkali oleh sang penulis, dan dikajiulang oleh para editor dan pihak dengan latarbelakang yang pantas untuk mengujinya. Lebih mudah membenarkan maupun membantahnya, juga tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya adalah impersonal dan obyektif, sehingga tanpa ragu-ragu Anda menyebut diri sebagai “penulis” atau “penyidik,” dan bukan menyebut nama Anda. Dengan demikian kata-kata yang tertulis tidaklah ditujukan pada seseorang, namun kepada seluruh dunia. Usianya akan jauh lebih panjang, sementara kata-kata yang diucapkan akan menghilang segera setelah selesai dituturkan. Tulisan dianggap lebih dekat pada kebenaran daripada pengucapan. Lebih lanjut lagi, kami yakin bahwa Anda lebih suka bila kami memberikan suatu naskah tertulis yang menyatakan bahwa Anda telah lulus ujian ini (bila Anda memang lulus nanti), daripada suatu pernyataan lisan. Dokumen tertulis tanda lulus ujian dari kami melambangkan “kebenaran,” sementara pernyataan lisan tersebut hanya akan dianggap sebagai desas-desus.

Sang kandidat segera menghentikan perdebatan ini dan segera menyatakan kesediaannya untuk mengadakan perubahan sebagaimana yang diinginkan oleh tim pengujinya. Ia juga menyatakan bahwa ia lebih suka menerima pernyataan tertulis yang memproklamirkan keberhasilannya bila ia lulus ujian ini. Pada akhirnya memang ia lulus, dan ijazah pun segera diterbitkan.

Kamis, 26 Februari 2015

Abu Dzar Sepeninggal Nabi Saw –Bagian Terakhir


Oleh Ali Syari’ati

Rabadzah, gurun yang panas berapi-api tanpa air atau pertanian di lintasan jalan jemaah haji, menjadi sepi dan sunyi. Di sana ia mendirikan kemahnya yang telah sobek dan memenuhi kebutuhannya dengan beberapa ekor kambing yang dimilikinya. Bulan-bulan berlalu. Kemiskinan makin menjadi-jadi, dan kelaparan semakin tegar. Satu demi satu kambingnya mati, dan dia serta keluarganya menghadapi maut dalam kesepian gurun pasir. Putrinya meninggal. Ia menanggungnya dengan sabar dan memandangnya sebagai pada jalan Allah. Sebentar kemudian, kelaparan menyerang putranya. Ia merasa bertanggungjawab. Ia pergi ke Madinah dan mencari uang tunjangannya, yang telah dihentikan oleh Utsman. Utsman tidak menjawabnya. Ia kembali dengan tangan hampa. Ia dengan tangannya sendiri menguburkan putranya itu.

Abu Dzar dan Ummu Dzar tinggal sendirian. Kemiskinan, lapar dan usia tua telah sangat melemahkan Abu Dzar. Pada suatu hari ia merasa bahwa kekuatannya telah berakhir. Lapar mengganggu dia. Ia berkata kepada Ummu Dzar, “Bangunlah. Barangkali di gurun ini kita akan mendapatkan beberapa lembar daun untuk sedikit menenangkan rasa lapar kita.” Wanita dan pria, sampai sangat jauh dari lingkungan kemah itu, mencari dan tidak mendapatkan apa-apa. Ketika mereka kembali, Abu Dzar telah kehabisan tenaganya. Tanda-tanda kematian menunjukkan diri di hadapan wajahnya.

Ummu Dzar mengerti, dan, dengan cemas, bertanya, “Apa yang sedang terjadi atas diri engkau, Abu Dzar?” “Perpisahan telah dekat! Tinggalkan mayat saya di jalan, dan mintalah pertolongan para musafir untuk membantu Anda menguburkan saya.” “Musim haji telah berlalu, tidak ada musafir.” “Tak mungkin. Berdiri dan pergilah ke atas bukit itu. Ada orang yang mau datang untuk kematian saya.” Ummu Dzar, dari puncak bukit itu, melihat tiga orang penunggang yang sedang datang dari jauh. Ia memberi isyarat kepada mereka. Mereka datang mendekat.

“Semoga Allah memberkati engkau. Seorang laki-laki sedang menghadapi kematian. Tolonglah saya menguburkan dia dan terimalah upahnya dari Allah.”“Siapakah dia?”
“Abu Dzar.” “Sahabat Nabi?” “Ya” “Semoga ibuku dan ayahku dikuburkan untuk engkau, wahai Abu Dzar!” Mereka berdiri di hadapannya. Ia masih hidup. Ia meminta kepada mereka, “Siapa di antara kamu yang petugas pemerintah, mata-mata, atau tentara, janganlah ia menguburkan saya. Apabila saya dan istri saya mempunyai secarik kain untuk kafan saya, tidak akan ada sesuatu keperluan.”

Hanya seorang pemuda [25] di antara kaum Anshar itu yang tidak berprofesi dalam pemerintahan, yang mengatakan, “Saya mempunyai kain ini, yang ditenun oleh ibu saya.” Abu Dzar berdoa untuknya dan mengatakan, “Kafanilah saya dengan kain itu.” Pikirannya tenang, segala sesuatu segera akan berakhir. Ia menutup matanya dan tidak pernah membukanya lagi.[26] Para musafir itu menguburkannya di bawah pasir gurun Rabadzah yang panas. Si Anshar yang muda usia itu berdiri di samping kuburnya, berbisik di bawah napasnya, “Nabi Allah menyatakan dengan benar, Ia berjalan sendirian, meninggal sendirian dan akan dibangkitkan sendirian!”

“Bilamana?” “Pada kebangkitan di Hari Kiamat.” “Dan, juga, pada kebangkitan di setiap zaman dan di tengah setiap generasi.” “Dan sekarang, sekali lagi, Abu Dzar, yang termasuk di antara semua wajah-wajah yang terkubur di dalam pekuburan sejarah yang tidak bertepian ini, di zaman kita dan di antara kita, akan dibangkitkan sendirian.”

Catatan:

11. Saqifah: suatu balai di Madinah yang dahulunya digunakan oleh dua suku utama, Aus dan Khazraj, untuk menyelesaikan persengketaan-persengketaan mereka di jaman Jahiliah. Pada zaman Islam, saqifah itu terbengkalai, persengketaan- persengketaan diselesaikan di Masjid Nabi, tidak lagi di saqifah. Pada waktu wafatnya Nabi, suatu kelompok, yang bertindak bertentangan dengan kehendak dan wasiat Nabi, pergi ke saqifah untuk memilih seorang khalifah. Karena Nabi belum lagi dimakamkan dan masih terbaring di masjid, mereka tidak dapat mengadakan pertemuannya di masjid, sementara Ali sedang membuat persiapan upacara yang terakhir bagi Nabi Allah. Pertemuan di saqifah ini adalah pertanda pertama kembalinya zaman Jahiliah.
12. Inklinasi Islam serta bergesemya dari asal ― yang dimulai di saqifah ― ditekankan dengan pengetahuan para organisator dan orang-orang yang mengambil keuntungan daripadanya. Ibn Khaldun secara hati-hati memberikan pendapatnya bahwa Umar tidak berniat untuk secara mendasar menolak suatu sistem kerajaan; dan Mu’awiyah, dalam jawaban yang diberikannya kepada Muhammad bin Abu Bakar, putra dari khalifah yang pertama itu, memberikan sorotan penerangan pada seluruh peristiwa itu. Yang berikut ini adalah terjemahan dari teks yang asli dari surat Muhammad bin Abu Bakar serta jawaban Mu’awiyah, dikutip dari Murujudz Dzahab, oleh Mas’udi.
Ketika Ali memberhentikan Qays bin Sa’ bin Ubadah dari jabatan sebagai penguasa Mesir, ia mengutus Muhammad bin Abu Bakar sebagai penggantinya. Ketika sampai di Makkah, Muhammad bin Abu Bakar menulis surat kepada Mu’awiyah, sebagai berikut:
“Dari Muhammad bin Abu Bakar, kepada Mu’awiyah yang telah tersesat. Allah, dengan keagungan-Nya dan kekuasaan- Nya menciptakan manusia menurut Kebijaksanaan-Nya; Kekuasaan-Nya tiada taranya. Ia tidak memerlukan apa-apa dari hamba-hamba-Nya; malah ia menciptakan mereka untuk mengabdi (kepada-Nya), memberi petunjuk kepada mereka, menyesatkannya, memberikan keberuntungan dan kemalangan kepada mereka, dan kemudian, melalui pengetahuan. Ia memilih Muhammad, shalawat Allah dan salam atas beliau dan keluarga beliau, dari antara mereka. Ia memilih beliau dengan pengetahuan-Nya sendiri; Ia memilih beliau untuk risalah-Nya, sebagai pengemban amanat Risalah-Nya. Ia menugaskan beliau sebagai seorang Rasul yang menyampaikan berita gembira dan ancaman ketakutan. Orang pertama yang menerima beliau, yang menaati, beriman, membenarkan, menyerah dan menerima Islam, adalah saudara misannya, Ali bin Abi Thalib, yang membenarkan yang gaib. Ia lebih mencintai Nabi daripada semua orang lainnya. Dengan jiwanya melindungi beliau dari setiap ancaman bahaya. Ia berjuang melawan musuh-musuh beliau. Ia bersahabat dengan sahabat- sahabat beliau. Siang dan malam, dalam saat-saat ketakutan dan kelaparan, ia menawarkan hidupnya sampai pada titik bahwa keutamaan haknya menjadi jelas. Tidak ada orang yang setara dengan dia di antara para pengikut itu.
“Saya melihat engkau sebagai orang yang mencoba hendak mengatasinya (Ali), tetapi engkau adalah engkau dan ia adalah orang yang mukhlis, anak-anaknya lebih baik dari semua orang lainnya; istrinya pun lebih baik dari semua orang lainnya; saudara sepupu Muhammad lebih baik dari semua orang lainnya; saudaranya (Ja’far) mengorbankan nyawanya pada perang Mu’tah, dan pamannya (Hamzah) adalah orang yang, pada perang Uhud, menjadi penghulu syuhada’. A yahnya adalah penyokong Nabi Allah, shallalaahu ‘aalaii wa ‘alaa aalihi wa sallam. Tetapi engkau adalah anak yang terkutuk dari yang terkutuk. Engkau dan ayahmu terus menerus menghalang- halangi jalan Nabi. Engkau berusaha untuk memadamkan cahaya Allah. Engkau membentuk kelompok-kelompok untuk tujuan ini. Engkau mengerahkan harta kekayaan, dan engkau menghasut manusia menentang beliau. Ayahmu mati di jalan ini dan anda menggantikan ia dalam pekerjaan ini. Orang-orang yang tertinggal dari antara berbagai partai dan para pemimpin kaum munafiqin, yang melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah dan yang mencari perlindungan padamu, menjadi saksi akan kata-kata ini; dan orang-orang yang memberi kesaksian kepada Ali serta kebajikannya yang terus-menerus, yang jelas, adalah sahabat-sahabatnya dan yang termasuk di antara para Anshar dan Muhajirin yang kebajikan-kebajikannya telah disebutkan Allah, dan Ia telah memuji mereka. Mereka bersama Ali, kelompok demi kelompok, dan mereka mengakuisuara parau menentang penindasan sebagai kebenaran untuk mengikutinya, dan keburukanlah yang menentang dia. Celakalah engkau! Bagaimana maka engkau memandang dirimu setara dengan Ali, sedang ia adalah pewaris dan Nabi Allah Saw, ia adalah ayah dari putra-putrinya dan ia adalah pengikut Islam yang pertama dan lebih dekat dari siapa pun kepada beliau. Nabi menyampaikan kepadanya rahasia- rahasia beliau, dan beliau memberitahukan kepadanya akan pekerjaan beliau, tetapi engkau adalah musuh beliau dan anak dari musuh beliau.
“Tiada peduli apa pun keuntungan yang engkau peroleh dari kefasikanmu di dunia ini dan bahkan apabila Ibn ‘Ash menghanyutkan engkau dalam kesesatanmu, akan nampak bahwa waktumu telah berakhir dan kelicikanmu tidak mempan lagi. Maka akan menjadi jelas bagimu kepunyaan siapa mas a depan yang mulia. Engkau tidak mempunyai harapan akan pertolongan Allah, yang tidak engkau pikirkan, yang kepada- Nya engkau berbuat licik. Ia sedang menunggu untuk menghadang engkau, tetapi kesombonganmu membuat engkau menjauh dari Dia! Salam bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk yang benar.”
Sebagai jawaban atas surat Muhammad bin Abu Bakar itu, Mu’awiyah menulis sebagai berikut:
“Dari Mu’awiyah kepada yang mencela ayahnya sendiri, Muhammad bin Abu Bakar: Saya menerima suratmu di mana engkau berbicara tentang keagungan, kebenaran dan kekuasaan Allah dan salam atas beliau dan keluarga beliau dan kata-kata lain; engkau memperlihatkan kelemahanmu dan kerendahan derajat ayahmu, tentang kebajikan-kebajikan anak Abi Thalib, latar belakang sebelumnya, kedekatannya kepada Nabi Allah, salawat Allah atas beliau, dan bahwa pada saat ketakutan dan bahaya, ia melindungi beliau dan menawarkan jiwanya kepada beliau, dan kesalahan yang engkau timpakan terhadap diri saya untuk membuktikan kebajikan orang-orang lain ― bukan kebajikanmu ―dan saya menyembah kepada Allah Yang mengambil kebajikan-kebajikan ini dari engkau dan memberikannya kepada orang-orang lain. Ayahmu dan saya, jelas dan memang semestinya, mengetahui hak dan kebajikan- kebajikan dari anak Abi Thalib. Ketika sampai janji Allah kepada Nabi Saw, dan Ia menunjukkan bukti-Nya, dan ia mengambil beliau ke sisi-Nya, ayahmu dan Umar adalah orang- orang pertama yang merebut hak-haknya (hak-hak Ali) dan membuat kekeliruan, dan dalam hat ini, mereka telah sepakat dan berbicara serupa dan merekameminta dia untuk memberi- kan bai'atnya kepada mereka. Ia mundur dan menolak. Mereka berlaku kasar kepadanya dan mereka mempunyai maksud- maksud buruk kepadanya. Kemudian ia memberikan bai'atnya dan menyerah, tetapi mereka tidak membolehkan dia untuk ikut serta. Mereka tidak mengatakan kepadanya tentang rahasia-rahasia mereka, dan orang yang ketiga dari mereka, Utsman, juga mengikuti jalan dan metode mereka. Engkau dan temanmu berbicara tentang kerusakan-kerusakannya (Utsman) agar orang-orang yang berdosa di propinsi-propinsi mengembangkan maksud-maksud buruk terhadapnya, dan engkau bangkit melawannya. Engkau menunjukkan permusuhanmu kepadanya untuk mencapai keinginan- keinginanmu sendiri. Hai, putra Abu Bakar, berhati-hatilah atas apa yang kau lakukan. Jangan merentangkan dirimu melebihi apa yang engkau urusi. Engkau tidak dapat menemukan seseorang (mengenai dirinya sendiri) yang mempunyai kesabaran yang lebih besar dari gunung, yang tidak pernah menyerah kepada sesuatu peristiwa, yang tiada seorang pun dapat mencapai kedalaman-kedalamannya, tiada seorang pun yang dapat menyamainya. Ayahmu bekerja sama dengan dia dan mengukuhkan kekuasaannya. Apabila apa yang sedang engkau lakukan adalah benar, ayahmu mengambil alih kekuasaannya. Apabila yang sedang engkau lakukan adalah bellar, ayahmu mengambil alih kekuasaan ini dan kami menjadi sekutunya. Apabila ayahmu tidak melakukan hat ini, maka kami tidak akan sampai menentang anak Abi Thalib, dan kami akan sudah menyerah kepadanya. Tetapi kami melihat bahwa ayahmu memperlakukan ilia seperti ini di hadapan kami, dan kami pun mengikutinya; maka cacat apa pun hendak engkau dapatkan, arahkanlah itu terhadap ayahmu sendiri, atau berhentilah dari turut campur. Salam bagi dia yang kembali.
13. Muhajirin: Para sahabat nabi yang berhijrah dari Makkah ke Madinah. Bentuk tunggalnya ialah muhajir.
14. Anshar (Anshor): Para sahabat nabi yang tinggal di Madinah dan yang membantu beliau berhijrah dari Makkah ke Madinah dan orang-orang penclucluk Madinah yang membantu beliau menegakkan sistem pemerintahan Islam di Madinah.
15. Nama-nama dan sebagian kekayaan beberapa individu dari suatu grup di zaman Utsman, dan melalui perantaraannya, menumpuk kekayaan, diuraikan di bawah ini. Sebagian dari orang-orang ini juga memegang kekuasaan. Sebelum menyebutkan orang-orang ini, perlulah kita perhatikan bahwa mata uang sebelum Islam, dan juga pada zaman Islam, adalah mata uang dirham dan dinar. Mata uang dinar tersebut dari emas, sedang dirham terbuat dari perak. Dinar terbuat dari emas seberat kira-kira 4,55 gram ― dan yang tidak lama kemudian sekitar 4,25 gram (Da’rat al-Mu’arif, dinar). Satu dinar bernilai sepuluh dirham, dan kadang-kadang nilainya naik sampai tiga belas atau lima belas dirham. (Jorji Zaidan, Tarikh Tamaddun Islam, jilid I, hal. 101).
Apabila kita bandingkan nilai mata uang pada masa itu (zaman Utsman) dengan nilainya pada abaci ketiga Hijriah (abad kesepuluh M.), dan apabila kita pertimbangkan surat-surat pembelian Ja’far bin Qudamah, yang menyangkut transaksi dalam tahun 225 H. (847M.), harga setiap enam ton campuran gandum wheat dan barley adalah 30 dinar. Berdasarkan harga ini maka 200 kilogram gandum berharga satu dinar. (Tarikh i Tamaddun Islam, jilid II hal. 246 dan 282). (Catatan: Dengan mempertimbangkan bahwa satu dinar terdiri dari 4,25 hingga 4,55 gram emas, dan harga emas setiap gramnya Rp. 22.300,- maka satu dinar sama nilainya dengan 4,25 sampai 4,55 x Rp 22.300 = Rp 94.775,- sampai Rp. 101.465,- atau rata-rata 1 dinar = Rp 98.120,-; dan satu dirham (dinar perak) bernilai 1/15 sampai 1/10 dari nilai dinar tersebut di atas, yakni minimal Rp. 6.541,- sampai Rp. 10.146,- atau rata-rata 1 dirham = Rp. 8343,-. Perhitungan nilai ini berdasarkan harga emas dan kurs rupiah pada 20 Oktober 1986).
Dengan mempertimbangkan nilai-nilai mata uang ini, maka besarnya kekayaan orang-orang dalam grup Utsman ini dapat dibayangkan. Dalam pada itu, nilai-nilai yang dikutip di atas itu dapat dibandingkan dengan dua kenyataan ini: “Nabi, menjelang sakitnya, mempunyai sedikit uang. Beliau mengirimkan uang itu kepada Ali untuk diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan; menurut hadis-hadis, uang itu berjumlah tujuh atau enam dinar.” (Zarinkub, Bamdan-i-Islam, hal. 51, dikutip dari Al-Sirat al-Halibiyah, jilid III, hal. 390). “Sering terjadi, pada Ali, tidak terdapat apa-apa selain apa yang dipakainya. Di musim dingin ia biasa menggigil kedinginan... dan kadang-kadang ia membawa pedangnya ke pasar dan menjualnya. Disebutkan bahwa ia berkata,
“sekiranya saya mempunyai empat dirham untuk membeli gandum, saya tidak akan terpaksa menjual pedang saya ini.” (Bamdad-i-Islami, hal. 111).
Sekarang, marilah kita lihat kekayaan orang-orang dalam grup Utsman:

a. Marwan bin Hakam, penasihat Utsman dalam setiap urusan. Ketika Armenia ditaklukkan, Utsman mengambil khums dari sana dan memberikan semua khums itu kepada Marwan. Selain itu, Fadak, yang adalah warisan Fathimah s.a., dan yang diambil Abu Bakar daripadanya, diberikan kepada Marwan, dan kemudian Utsman memberikan lagi kepadanya 1.000 dirham. Ketika khums dari Afrika dikirimkan ke Madinah, Marwan membelinya dengan harga 500.000 dinar, tetapi Utsman mengembalikan uang itu kepada Marwan.

b. Hakam bin ‘Ash. Orang ini termasuk di antara orang- orang yang telah diusir oleh Nabi. Utsman memanggilnya kembali ke Madinah. Ketika menemui Utsman, pakaiannya robek-robek. Ketika pergi lagi, ia memakai baju bulu yang mahal; Utsman memberikannya uang 100.000 dirham.

c. Harits bin Hakam. “Utsman memberikan kepadanya pasar di Madinah, yang dahulunya telah diberikan oleh Nabi kepada fakir miskin. Ketika Harits kawin dengan putri Utsman, selain apa yang telah diberikan kepadanya sebelumnya, Utsman memberikan lagi kepadanya 100.000 dirham serta pengurusan zakat dari Qad’ah. Dan sini ia beroleh pendapatan tiga juta dirham. (Jardaq; Ali, jilid V, hal. 145; Khulafah dar Pisygah-i-Idalat, hal. 223 dan Jardaq, jilid IV, hal. 247).

d. Abu Sufyan. Ketika Utsman memberikan 100.000 dirham kepada Marwan, ia juga memberikan kepada Abu Sufyan uang sebanyak 100.000 dirham.

e. Bani Umayyah. Utsman mengambil padang rumput di sekitar Madinah yang telah diberikan Nabi untuk daerah penggembalaan umum kaum Muslimin, dan menjadikannya area penggembalaan untuk peternakan Bani Umayyah. Di samping itu, juga Utsman memberikan sejumlah besar harta yang dikirim dari lrak ke Madinah, dibagi-bagikan di kalangan Bani Umayyah (Jardaq, jilid V; hal. 145, 146).
f . Abdulah bin Khalid bin Asidah Umayyah. Ketika ia meminta bantuan kepada Utsman, Utsman memberikan kepadanya 400.000 dirham, (Khulafah, Muhammad Ali: Zindigani-i-Zindigani-i-‘Ali, hal. 158).

g. Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh. Ia adalah saudara angkat Utsman, dan menjabat kedudukan gubemur di Mesir. Utsman memberikan kepadanya semua harta rampasan perang di Mesir, penguasaan tanah dari Mesir ke Tigris, tanah kaum Muslimin, ke dalam tangan Abdullah bin Sarh. Abdullah bin Sarh termasuk tokoh pemimpin Jahiliah sebelum memeluk agama Islam, dan sesudah itu pernah kembali murtad.

h. Sa’ad ibn Abi al-‘Ash. Utsman memberikan kepadanya 100.000 dirham. (Khulafah dar Pisygah ‘Idalat, hal. 220).

i. Thalhah. Ia menerima sejumlah 2.000 dinar dan 50.000 dirham yang diberikan Utsman kepadanya dari baitul mal. Ia membangun sebuah istana di Kufah, yang terkenal tiga ratus tahun kemudian ― menurut Mas’udi dalam Murujudz Dzahab ― dengan nama Dar al-Tarhatain. Pendapatan Thalhah dari hasil pertanian di daerah Kinas di Irak adalah 1.000 dinar setiap harinya. Menurut Mas’udi, tercatat bahwa ia menerima lebih banyak lagi dari Shara. Di Madinah ia mempunyai sebuah rumah yang serupa dengan rumah kediaman Utsman, yang dibangunnya dan semen stucco, batu bata dan kayu hitam, (Jardaq, jilid V, hal. 146, Ibn Khaldun, Muqaddimah, jilid I, hal. 404, Khulafah, hal. 226).

j. Zubair. Utsman memberikan kepadanya 6.000 dinar. Dengan uang itu ia membangun rumah yang ia sewakan. Ia mempunyai 15 rumah di Madinah, 2 rumah di Basra, 1 rumah di Mesir. Menurut Mas’udi, dalam masa pemerintahan Utsman, Zubair mempunyai seribu orang budak laki-laki dan seribu orang budak perempuan, dan harta bendanya yang tertinggal setelah matinya, adalah pula 50.000 dinar. Selain itu ia meninggalkan seribu ekor kuda. (Jardaq, jilid V; hal. 147; Ibn Khaldun, jilid I, hal. 403; Khulafah, hal. 229).

k. Abdur-Rahman bin Auf. Ia mempunyai banyak rumah dengan seratus ekor kuda pada setiap kandangnya. Jumlah kudanya seribu ekor, unta seribu ekor dan biri- biri sekitar beberapa puluh ribu ekor. Uang tunainya lebih dari 3.000.000 dinar.

l. Zaid bin Tsabit. Setelah mati, ia meninggalkan demikian banyak balokan emas dan perak, sehingga, menurut Mas’udi, mereka membelahnya dengan kapak. Ia juga mempunyai banyak harta dan kebun. Harta bendanya mencapai 100.000 dinar dan uang tunai sebesar 100.000 dinar ketika ia meninggal (Jardaq, jilid V, hal. 147; Ibn Khaldun, jilid I, hal. 403; Khulafah, hal. 229).

m. Yali bin Manbah. Ketika ia meninggal, ia mempunyai kekayaan senilai 50.000 dinar dan sejumlah besar uang tunai yang berasal dari orang-orang fakir miskin. Ia juga meninggalkan banyak kebun. (Ibn Khaldun, jilid I, hal. 404; Jardaq, jilid B, hal. 147).
n. Sa’ad ibn Abi Waqqas. Ia membangun sebuah rumah di ‘Aqiq, yang berloteng tinggi, dan ia memberikan ruangan khusus di sekelilingnya dan membangun sebuah kubah yang indah di depannya. (Ibn Khaldun, jilid I, hal. 404).

16. Kafir: bentuk tunggal dari kufaar. Orang yang mempraktekkan kepercayaan-kepercayaannya syirk (syirik, politeisme) dalam bentuknya yang menutupi atau menyangkal kebenaran agama (kufur).
17. Imamah: “Imamah merupakan suatu tugas yang sangat penting dalam hal memimpin, membimbing, menjaga dan mendorong masyarakat dan perorangan dari ‘apa yang ada’ ke ‘yang semestinya ada’, dengan kurban apa pun, tetapi bukan menurut keinginan-keinginan dari Imam itu sendiri, melainkan didasarkan pada suatu akidah yang permanen yang dipatuhi juga oleh Imam itu sendiri melebih setiap orang lainnya, dan yang untuk itu Imam bertanggung jawab. Di sinilah letak perbedaan antara imamah dan sistem diktator, dan kontradiksi serta perlawanan yang timbul antara kepemimpinan seorang cendekiawan revolusioner serta kepemimpinan seorang individu yang despotik...” (dan: Kumpulan Karya Ali Syari’ati, jilid XXVI: Ali!, hal. 521).

18. Tatslits: trinitas, tritunggal (despotisme, emas, penipuan): “Definisi ilmiah zaman sekarang tentang tatslits ialah ketuhanan ganda tiga. Tatslits berarti tiga tiran despotik yang sombong. Segi tiga bencana di mana semua nabi, para pencari keadilan dan para syahid kemanusiaan dikuburkan, sesuatu jimat bencana yang, seperti perbudakan, telah menimpa tengkuk umat manusia, telah membelenggu para pelayan tuhan dunia serta dewa-dewa masyarakat. Jimat bencana bersisi tiga itu: tiga serikat dalam satu usaha; yang pertama (depotisme) merantai kepala manusia; yang kedua (emas) mengosongkan kantong mereka; dan yang ketiga (penipuan) ― satu anggota serikat, bersama yang dua lainnya ― dalam wajah seorang agamawan dan dengan kata-kata surgawi, berbisik ke telinga-telinga mereka: sabarlah, saudaraku seiman; tinggalkanlah dunia ini kepada manusia-manusia duniawi; jadikanlah laparmu sebagai modal bagi pengampunan dosa-dosa Anda... inilah ketiga konspirator, tiga sekutu dalam kejahatan. Ka’in dalam tiga samaran ―tiga dewa yang terus menerus ― dari tritunggal itu. Baik dalam baju kufur atau dalam jubah Islam, dalam pakaian syirk atau pakaian tauhid, mereka menguasai watak dan nasib manusia ― di mana pun dan di zaman apa pun ― atas nama agama, sepanjang masa, di seluruh rentangan bumi; ketiga tiran yang sombong, despotik, adalah tiga wajah dari Kain. Ketiga thagut ini adalah tiga berhala yang berdiri sendiri- sendiri. Masing-masing mempunyai nama, gelar, dan basis operasi sendiri, tetapi ketiga-tiganya adalah pelaku kejahatan yang sama; ketiganya berada dalam satu garis, ketiganya berdiri di hadapan jalan pribadi yang bertanggung jawab dan orang yang dalam jalan itu.
“Lebih penting dari segala-galanya, ketiga-tiganya, sementara pada saat yang sama mereka merupakan tiga wujud yang berdiri sendiri-sendiri, ketiganya adalah manifestasi dari satu wujud: Iblis. Hanya ada satu wujud, dan, pada saat yang sama, ada tiga: tiga wujud dan sementara itu adalah juga satu! Alangkah ganjilnya. Inilah definisi ilmiah zaman sekarang tentang tritunggal- tiga dewa! Di kalangan Judaisme zaman sekarang: tiga klan; di kalangan lain: Bapak, Anak, dan Roh Kudus; di Yunani, tiga wajah dalam satu kepala. Dalam Hinduisme, Manu dalam tiga hakikat: kepala, tangan dan dana; dan di Persia kuno: Ahura Mazda dalam tiga api di Gashsh, Istakh dan Barzinemerh.
Maksud saya : tritunggal yang subyektif adalah reaksi terhadap tritunggal obyektif. (Umpamanya, dalam satu agama masa kini). Tuhan itu Satu, satu Hakikat, satu Prinsip, satu Kekuasaan, satu Pusat, namun dalam tiga wajah yang berbeda- hecla, yang sama dengan tritunggal kelas: kelas penguasa adalah satu, satu Kekuasaan, satu Pusat, namun dalam tiga wajah yang berbeda-beda, yang sama dengan tritunggal kelas: Kelas penguasa adalah satu, satu hakikat, satu prinsip, satu kekuasaan, satu pusat, tetapi dalam tiga wajah: emas, despotisme, penipuan.
Kelas penguasa, sepanjang sejarah, berubah dari satu kekuasaan yang tunggal, yang merupakan satu-satunya ‘pemilik’ dan ‘majikan’, pemegang uang dan kekuasaan, sebagai suatu akibat dari transformasi manusia dan pengetahuan, perkembangan ekspresi, tipuan, munafik, kelicikan, teknik, agama, dan obat penawar, menjadi berdimensi tiga; kekuatan yang berkuasa yang merupakan sang tuan dan memegang pecut di tangannya, dan tiada lagi selain pecut, mengembangkan dan mengambil alih rakyat dalam tiga cara. Wajah yang satu menjadi manifestasi dari kekuasaan ekonomij yang satu lainnya dalam bentuk manifestasi kekuasaan politik, dan yang ketiga, dalam bentuk manifestasi kekuasan dalam keagamaan.
Sebelum ini, orang yang menggunakan cambuk ini, juga berkewajiban untuk merampok, mendisiplinkan dan mendidik orang-orang liar, yang teragitasi dan tidak beradab; dan tiga tindakan dilakukan pada saat yang sama. Kemudian, berangsur-angsur dengan perkembangan segala hal, kelas yang disatukan ini muncul sebagai suatu kekuatan kelas yang bermuka tiga, dan kemudian, dewa syirik yang berada di puncaknya dimanifestasikan dalam bentuk tritunggal dan menjadi bermuka tiga untuk membenarkan sistem dua kelas, mustadh’afin (kaum yang dilemahkan dan tertindas) dan mustakbarin (kaum yang sombong dan menindas). (Kumpulan Karya, jilid VI: Analisa tentang Ibadah Haji, hal. 173, 202, 205-208 dan Jilid IV: Kembali kepada Diri Sendiri, hal. 381).
19. Adil (keadilan); salah satu prinsip agama dalam Syi’ah.
20. Al-Qur’an, surah at-Taubah ayat 34-35,
21. Al-Qur’an, surah at-Taghaabun ayat 17.
22. Al-Qur’an, surah Ali ‘Imran ayat 96.
23. Al-Qur’an, surah at-Taubah ayat 34 (lihat catatan no. 9).
24. Menurut ‘jihad ofensif’ untuk menaklukkan negara-negara lain dalam rangka membawanya kepada Islam, dilarang, dalam keadaan tidak hadirnya Imam suci; tetapi ‘jihad defensif’ wajib saat ada atau tidak adanya Imam suci, atau bahkan ada atau pelanjut Imam suci itu.
25. Si pemuda Anshar itu, menurut sebagian riwayat, adalah Malik al-Asytar.
26. Abu Dzar meninggal pada tahun 32 atau 31 H. (652-653 M.) dengan meninggalkan banyak hadis dan riwayat. Tiga tahun sepeninggalnya, rakyat Madinah bangkit, dan Utsman terbunuh oleh mereka, dihadapan anak-anaknya. Setelah terbunuhnya Utsman, hal-hal yang berikut ini dikatakan tentang harta kekayaan yang ditinggalkannya: 150.000 dinar emas, 1.000.000 dirham perak dalam tangan bendahara pribadinya. Harga dari harta miliknya di Hunain Cantara Makkah dan Tha’if) dan Wadi al-Qurah (dekat Madinah) serta tanah-tanah lainnya adalah senilai 200.000 dinar. Selain itu, ia meninggalkan 1.000 ekor unta dan ban yak kuda. Permata-permata dan perhiasan, digunakan sebagai kalung di leher putrinya. Ketika rakyat menyatakan keberatannya atas hal ini, Utsman berang. Dari atas mimbar ia mengatakan: “Kami mengambil apa yang kami perlukan dari Baitul Mal, sekalipun sebagian orang tidak menyenanginya. Semoga hidungnya digosokkan di tanah.” Utsman telah membangun sebuah rumah besar di Madinah yang pintu-pintunya terbuat dari kayu hitam. (Ibn Khaldun, jilid I, hal. 403; Jardaq, jilid V; hal. 148, 162, 163; Khulafah, hal. 230).

Abu Dzar Sepeninggal Nabi Saw –Bagian Keempat


Oleh Ali Syari’ati

Pada suatu hari, Mu’awiyah mengundang Abu Dzar ke rumahnya. Ia tidak lagi menunjukkan penghormatan dan keramahan, tetapi Abu Dzar tidak mengurangi wajahnya yang kasar atau nada keberangannya, walaupun sedikit, dan akhirnya, situasi mencapai titik ancaman. Abu Dzar, apabila saya akan membunuh seorang sahabat Nabi tanpa persetujuan Utsman, maka engkaulah ia, tetapi saya harus mendapatkan persetujuan Utsman bagi kematianmu. Abu Dzar, yang kau lakukan memisahkan engkau dan aku. Engkau menyebabkan orang-orang miskin dan rendah bangkit melawan kami.”

Dan, Abu Dzar, dalam jawabannya, “Berlakulah sesuai dengan sunnah Nabi Allah, supaya saya tidak akan mengganggu engkau. Apabila tidak, sekiranya masih ada satu nafas lagi, saya akan menggunakan satu nafas itu untuk menyampaikan sunnah Nabi.”

Propaganda Abu Dzar tersebar. Rakyat Damaskus, yang sudah mulai berpikir bahwa Islam adalah rezim Romawi yang sedang memerintah mereka, sedikit demi sedikit, mulai menemukan wajah Islam yang sesungguhnya. Kegemaran mencari keadilan dan kebebasan di sepanjang iman keagamaan, sedang timbul dalam hati, dan rakyat jelata, yang sebelumnya telah menerima kemiskinan dan kerendahan melalui agama, untuk pertama kalinya belajar dan Abu Dzar bahwa, “Bilamana kemiskinan masuk melalui suatu pintu, agama pergi melalui pintu yang lainnya.”

Masjid masih merupakan rumah Allah, rumah rakyat, dan Abu Dzar, masih merupakan basis perjuangan. Mu’awiyah tidak berkuasa atasnya. Baru setelah meninggalnya Ali maka masjid-masjid dikosongkan dari Tuhan dan keluarga Allah ― rakyat ― dan menjadi basis bagi khilafat, dan sebdgai perangkap yang digunakan oleh kalangan ‘alim ulama khilafat! Rakyat mengelilingi Abu Dzar dengan gairah dan harapan yang besar. Ia berbicara tentang kebenaran yang jalin-menjalin dengan hak-hak: Islam yang disertai oleh keadilan Tuhan, Yang juga memikirkan makanan rakyat dan Yang mengajari rakyat. Sebagai ganti bius, ia merangsang mereka dan mengancam kehancuran Istana Hijau yang belum rampung.

Mu’awiyah mengirimkan Abu Dzar untuk jihad di Siprus. Apabila ia jaya, itu akan memberikan respek dan kejayaan bagi Mu’awiyah, respek yang merupakan suatu ‘kehormatan’ bagi Islam! Dan, apabila Abu Dzar tewas, Mu’awiyah akan terbebas dari setiap gangguannya tanpa tangannya dilumuri darah. Karena penyalahgunaan jihad inilah, maka Syi’ah kemudian mengeluarkan suatu fatwa, bahwa tanpa adanya kepemimpinan Imam adil yang sesungguhnya maka jihad itu dilarang.[24] Namun Abu Dzar kembali dengan segar bugar dan, tanpa ragu-ragu, dari front ia terus menuju masjid dan memulai pekerjaannya!

Mu’awiyah mengenal Abu Dzar, mengenal betapa besar pemikiran Abu Dzar tentang pembebasan budak dan memuaskan rasa lapar rakyat. Ia menugaskan seorang budak, “Bawalah kantong berisi emas ini kepada Abu Dzar, dan apabila engkau berhasil membuat dia menerimanya, maka engkau merdeka!” Budak itu pergi kepada Abu Dzar. Abu Dzar menolak, sedang budak itu mendesak, menangis dan memohon, sementara Abu Dzar hanya menjawab, “tidak!” Akhirnya ia berkata, “Wahai Abu Dzar, semoga Allah memberkati Anda, ambillah uang ini, karena kemerdekaan saya terletak pada memberikan uang ini kepada Anda!” Abu Dzar, tanpa bergeming, mengatakan, “Tetapi perbudakan saya terletak dalam menerima uang ini dari Anda.”

Tidak ada siasat licin yang dapat mengena terhadap laki-laki yang kepala batu, yang keras kepala, takwa dan sadar ini. Hanya ialah kekerasan yang tinggal. Ia menulis kepada Utsman: Apabila Anda memerlukan Damaskus, bawalah keluar Abu Dzar dari sini, karena berbagai kompleks telah membengkak; mata luka telah terbuka dan ledakan telah dekat. Utsman memerintahkannya supaya mengirim Abu Dzar ke Madinah. Mereka menempatkannya di atas pelana beban yang terbuat dari kayu, di punggung unta, dan menugaskan beberapa orang budak yang kejam membawanya kembali ke Madinah. Mu’awiyah nemerintahkan bahwa ia tidak boleh berhenti selama perjalanan ― dari Damaskus ke Madinah.

Penunggang itu mendekati Madinah, letih dan terluka. Di pinggir kota ia melihat Ali dan bukit Sala’, dan di sampingnya, Utsman dan beberapa orang lain. Dari jauh ia berseru, “Saya berikan kabar gembira kepada Madinah akan suatu pemberontakan besar yang tidak putus-putusnya.” Khalifah mengeluarkan perintah melarang siapa pun untuk mengikuti fatwa keagamaan dari Abu Dzar. Apa yang telah dilihatnya di Damaskus, telah membuatnya menjadi lebih cemas dan tegar dalam perjuangan. Abdurrahman bin Auf, kepala dewan khilafat di zaman Umar, meninggal dunia dan warisannya yang berlimpah-limpah dalam bentuk emas dan perak, disusun di hadapan Utsman. Abu Dzar mendengar bahwa Utsman telah berkata, “Abdur-Rahman diberkati Allah; ia hidup dengan baik dan, ketika ia meninggal, ia meninggalkan seluruh kekayaannya.”

Abu Dzar tergoncang dan berang, menyerbu rumah Utsman seorang diri. Di tengah jalan ia menemukan sepotong tulang unta. Ia memungut dan membawanya. Kepada Utsman, ia berseru, “Engkau mengatakan bahwa Allah memberkati seorang laki-laki yang mati dan meninggalkan seluruh emas dan perak ini?” Utsman, dengan lembut, menjawab, “Abu Dzar, apakah seseorang yang telah membayar zakatnya masih mempunyai kewajiban lain lagi?” Abu Dzar membacakan ayat kinz (penimbunan kekayaan) dan mengatakan, “Di sini masalahnya bukan zakat; masalahnya menyangkut seseorang yang menimbun emas dan perak dan tidak memberikannya pada Jalan Allah.”

Ka’ab al-Ahbar ― seorang agamawan, dahulunya Yahudi ― yang sedang duduk di sisi Utsman, berkata, “ayat ini bertalian dengan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani); ayat itu tidak bersangkutan dengan kaum muslimin.” Abu Dzar berteriak kepadanya, “Anak Yahudi! Engkau hendak mengajarkan agama kami kepada kami? Semoga ibumu meratapi engkau!” Utsman mengatakan, “Apabila seseorang yang telah membayar zakatnya, membangun sebuah istana, dari bata emas dan perak berselang-seling, tidak ada salahnya.” Lalu ia berpaling kepada Ka’ab dan menanyakan pendapatnya. Ka’ab menyatakan pendapat-nya, “Ya, yang mulia. Demikianlah adanya!” Abu Dzar menyerang dia. Ka’ab, karena ketakutan, bersembunyi di belakang Utsman dan menempatkan dirinya dalam perlindungan khalifah itu.

Pemandangan itu sempurna! Pemandangan dari drama seluruh sejarah! Di satu pihak, emas, kekerasan dan agama penguasa dalam wajah-wajah Abdurrahman, Utsman dan Ka’ab al-Ahbar, dan betapa tepat dan akuratnya! Prinsip, emas, kekerasan pendukungnya, dan agama, tersembunyi di balik kekuasaan yang membenarkannya. Berhadapan dengan itu Abu Dzar, korban eksploitasi, despotisme dan penipuan, manifestasi dari agama yang dikutuk oleh sejarah dan golongan tertindas dalam sejarah ― Tuhan dan manusia!

Abu Dzar, sendirian, telah dilucuti, tertindas, dengan semua ini, bertanggung-jawab dan menyerang, mengambil Ka’ab dari lindungan kekuasaan, dan dengan tulang unta itu, ia memukulnya demikian keras di kepalanya, sehingga darah mulai mengalir. Utsman mengatakan, “Betapa melelahkan engkau ini, Abu Dzar, tinggalkan kami.” Abu Dzar berkata, “Saya sudah bosan melihat engkau. Ke mana saya harus pergi?” “Ke Rabadzah.”

Marwan bin Hakam, seorang buangan Nabi, ditugaskan mengasingkan Abu Dzar. Ali mendengar tentang peristiwa itu. Ia bersedih hati. Ia memanggil Hasan, Husein dan Aqil, lalu pergi mengantarkannya. Marwan berdiri di hadapan Ali, “Khalifah telah melarang orang mengantarkan Abu Dzar.” Ali, dengan sepucuk cambuk, melewatinya dan pergi bersama Abu Dzar sampai ke Rabadzah.

Abu Dzar Sepeninggal Nabi Saw –Bagian Ketiga


Oleh Ali Syari’ati

Perjuangan dimulai.  Abu Dzar berada dalam posisi sebagai seorang sahabat Nabi yang dekat dan akrab, dengan lisensi yang diberikan sendiri oleh Nabi kepadanya: “Seorang yang mempelajari pengetahuan sedemikian rupa, sehingga dadanya berlimpah-limpah dengan itu.” “Langit yang biru tidak pernah memberikan tambahan warna lain atas ― dan bumi yang gelap tidak pernah melihat ― seorang laki-laki yang lebih jujur dari Abu Dzar.” “Kesederhanaan dan kesalehan Abu Dzar menyerupai kesederhanaan dan kesalehan Isa putra Maryam.” “Abu Dzar lebih terkenal di langit daripada di bumi.” “Abu Dzar, di muka bumi ini, dalam masyarakat ini, berjalan sendirian, mati sendirian; di padang mahsyar di Hari Kiamat, ketika kubur-kubur dibangkitkan, dan kelompok demi kelompok mayat bangkit, Abu Dzar akan dibangkitkan di suatu sudut padang mahsyar, sendirian, dan akan bergabung bersama-sama!”

Ia biasa duduk di masjid dan, satu demi satu, ia membacakan kepada orang-orang ayat-ayat Al-Qur’an yang dalam prakteknya telah ditinggalkan, hal-hal dari Al-Qur’an atau sunnah Nabi yang tidak lagi relevan dan yang relevansinya menimbulkan kesulitan dan sakit kepala. Pembicaraan sekarang ― di zaman Utsman ― ialah pengumpulan Al-Qur’an, pengaturan Al-Qur’an, pengoreksian salinan-salinan tulisan tangan ayat-ayat Al-Qur’an, persiapan satu salinan utama al-Qur’an dan pembicaraan-pembicaraan serta pembacaan yang tidak putus-putusnya, ortografi, penempatan harkat dan titik-titik tanda baca; pembacaan dan qiraah, dan konflik-konflik, gangguan-gangguan, kepekaan, keberatan-keberatan dan penerimaan-penerimaan..., Abu Dzar membawa pembicaraan tentang ‘penimbunan’ (kinz) dari al-Qur’an. Satu demi satu, ia membacakan ayat-ayat tentang kinz dan bagian pertama dari ayat itu:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah...” [23]

Mengambil front ini menyebabkan kekacauan-kekacauan. Khalifah sendiri sedang sibuk dengan pengumpulan dan penyusunan Al-Qur’an; orang-orang yang komited kepada Al-Qur’an berterima kasih kepadanya. Peringatan tentang Al-Qur’an, akan membawa suatu ketenangan yang menyenangkan bagi kekhalifahan. Dan Al-Qur’an yang dibawa Abu Dzar, yang mengakibatkan pesimisme, kekerasan, kecaman, dorongan, serangan dan kutukan kepada khilafat, menyebabkan timbulnya suara keberatan dari sistem kekhalifahan.

“Abu Dzar! Apakah Al-Qur’an hanya mengandung ayat tentang ‘orang-orang alim yang memakan harta orang’ serta ayat ‘penimbunan’!?” Dan Abu Dzar mengetahui bahwa setiap zaman mempunyai penderitaannya dan setiap generasi mempunyai suatu slogan. Siapa pun yang mengetahui dan mengakui bahwa Al-Qur’an bukan hanya sekedar ‘barang suci’, tetapi bahwa Kitab itu merupakan suatu cahaya dan petunjuk, harus mengandalkan pada ayat-ayat pada masanya (ayat-ayat yang relevan dengan manusia pada suatu masa tertentu).

Abu Dzar menjawab, “Alangkah anehnya! Apakah Khalifah melarang saya membaca Al-Qur’an?” Sekarang, wahyu, keimanan tauhid, pemujaan berhala, kebangkitan, kelanjutan hidup roh serta kenabian Muhammad Saw tidak lagi relevan, karena hal-hal ini semuanya telah diselesaikan; persoalan sekarang ialah kontradiksi dan diskriminasi golongan ― jadi, sesuai dengan ayat ini, yang merupakan suatu ayat jamannya, ia mulai mengingatkan akan sunnah Nabi, berbicara tentang kata-kata Nabi, dan ini, sekali lagi, berdasarkan pada apa yang relevan dengan masyarakat.

“Bulan-bulan berlalu tanpa asap mengepul dari rumah Nabi Islam itu.” “Makanan yang paling sering di rumah Nabi Allah ialah air dan kurma.” “Separuh dari lantai rumah Nabi bertikarkan pasir.” “Beliau melepaskan diri dari rasa lapar dengan sering mengebatkan batu pada perut, supaya beliau dapat menanggung sengatan rasa lapar.”

“Pakaiannya, makanannya serta rumahnya memberikan penawar kepada kami para sahabat Ahlu Shuffah di masjid. Kami tidak mempunyai keluarga atau rumah, dan paling sering merasa lapar; setiap malam sekelompok dari kami makan bersama beliau. Apabila beliau mempunyai makanan masak di rumahnya, beliau mengundang kami untuk makan bersamanya; makanan itu adalah sabus, adonan yang dimasak dari gandum murahan dan kurma.”

“Beliau sering mengatakan, ‘Tiada uang ditimbun, melainkan uang itu menjadi api bagi pemiliknya.’ Para istri Nabi Allah itu sering mengeluh dan mengadu tentang kesukaran dan lapar. Beliau membuat perjanjian dengan mereka ― ‘Menginginkan dunia ini dan perpisahan, atau sara dan kemiskinan.’”

“Putri yang tercinta dari Rasulullah, bekerja dan menderita lapar, namun tidak pernah beliau menerima permintaan Ali dan putri beliau, yang adalah makhluk-makhluk Allah yang paling tercinta dalam pandangan beliau, untuk memberikan seorang pelayan kepada mereka. Beliau menangis karena kemiskinan (Fathimah) Zahra, namun beliau tidak memberikan bantuan kepadanya, sekalipun satu dinar.”

Jelaslah bahwa dengan cepat, pertanyaan demi pertanyaan, bermunculan dalam pikiran-pikiran: Maka mengapakah Khalifah Utsman berbusana jas bulu? Mengapa maka jamuan makan begitu mencolok dalam istana khalifah, dengan makanan-makanan yang paling lezat? Lalu, mengapa maka warisan dari Abdurrahman bin Auf, yang menjadi ketua dewan yang memilih Utsman menjadi khalifah, ketika ditumpuk bersusun membentuk bukit yang menyembunyikan khalifah di atas mimbar, dari orang-orang yang duduk di lantai?

Balok-balok emasnya dipecahkan dengan kapak untuk membagi-bagikan warisannya. Lalu, mengapa Zubair, yang adalah anggota dewan khalifah, mempunyai seribu orang budak, yang bekerja untuknya dan yang setiap hari memberikan gaji mereka kepadanya? Lalu, mengapa maka Mu’awiyah, keluarga (dan khalifah Utsman) dan gubemur dari khilafat itu di Damaskus, membangun Istana Hijau? Mengapa maka orang-orang yang di sekelilingnya ― para pemuji, penyair, ulama dan Sahabat ― diberi hadiah-hadiah yang seakan-akan hanya ada dalam dongengan? Dan mengapa maka Utsman, yang telah berjanji akan mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul, serta metoda kedua pendahulunya (Abu Bakar dan Umar), hanya mengikuti tradisi para Kaisar dan Raja-raja? Lalu, mengapa? Mengapa?

Hari demi hari, aristokrasi, eksploitasi, kemubaziran, kemiskinan, jarak serta perpecahan masyarakat dan golongan, keretakan, menjadi semakin besar, dan propaganda Abu Dzar tumbuh makin lama makin luas, yang menyebabkan rakyat jelata dan golongan yang tertimpa eksploitasi menjadi lebih tergoncang. Orang-orang yang lapar, mendengar dari Abu Dzar bahwa kemiskinan mereka bukanlah takdir Tuhan yang tertera di dahi dan merupakan ketetapan nasib serta takdir dari langit; penyebabnya hanyalah kinz, penimbunan modal.

Apa yang harus dilakukan? Pada Abu Dzar yang cermat dan saleh, tidak ada apa-apa! Tidak pula ia mempunyai sesuatu yang bisa mendorong orang untuk mengancam dia: ‘Kami akan mengambilnya!’ tidak juga ia ‘menghendaki’ sehingga orang tak dapat menggodanya: ‘Kami akan memberi!’ Dan istrinya adalah Ummu Dzar; ia juga salah satu dari sahabat Nabi suci. Ia menolong suaminya menanggung kesukaran, kehidupan seperti pertapa, dalam kemiskinan yang harus diderita oleh manusia yang berjuang dan bertanggung jawab, karena selama masa itu, ketika ada Islam, wanita belum termasuk ‘kaum lemah’.

Bahaya menajamkan gigi-gigi di kedalaman Madinah. Rakyat jelata, yang menyerahkan diri kepada wajah-wajah suci kaum Muhajirin dan para sahabat senior Nabi ― yang sekarang berkuasa ― dan menanggung kepedihan mereka sendiri dan penyelewengan orang lain, telah menjadi berani. Utsman mencium bahaya itu. Apa yang akan dilakukan? Madinah masih mengingat Nabi ― dan rakyatnya mengenal Abu Dzar.

Utsman mengasingkan Abu Dzar ke Damaskus, kepada Mu’awiyah. Sejak semula, penduduk Damaskus mempelajari Islam dari Bani Umayyah. Mu’awiyah mempunyai kebebasan lebih besar menghadapi Abu Dzar. Di Damaskus, Mu’awiyah, dengan meniru-niru Roma, telah membentuk suatu kehidupan yang lebih aristokratis dari Utsman. Diskriminasi, ketidaksucian, penindasan dan pelanggaran sistem Islam, lebih jelas dan lebih menyolok. Pada masa inilah, dengan pertolongan arsitek Romawi dan Persia, Mu’awiyah sedang membangun ‘Istana Hijau’. Inilah istana kerajaan yang pertama, megah dan indah, ke mana Mu’awiyah membulatkan hati mengawasi para pekerja dan tukang-tukang, dan Abu Dzar pun muncul di sana setiap hari, dan meneriakkan: “Hai, Mu’awiyah, apabila kau membangun istana ini dengan uangmu sendiri, maka hal itu adalah mubazir, dan apabila dengan uang rakyat, maka hal itu adalah pengkhianatan!” Dan dia, seorang politikus yang matang dan sabar, menanggungnya, sementara ia berpikir untuk mencari jalan penyelesaian.