Label

Senin, 23 September 2013

Rachel Corrie, Lambang Pengorbanan dan Cinta Kasih



Apa yang terbesit pertama kali saat Anda mendengar nama Rachel Aliene Corrie? Ia seorang pribadi yang menjadi bukti tentang keberanian dan keteguhan hati seorang manusia. Rachel Aliene Corrie adalah bukti nyata bahwa humanisme itu melampaui batas batas agama, ras, bangsa, bahasa, bahkan negara yang kadang menjadi dinding pemisah bagi manusia untuk merasakan empati manusia yang lain.

Mungkin untuk sebagian orang Rachel Corrie adalah nama yang asing, tapi tidak untuk rakyat Palestina, dia adalah seorang martir meskipun dia sendiri tidak pernah ingin dianggap seperti itu. Karena perjuangan demi kemanuasian itu adalah murni panggilan jiwanya,  “Kusaksikan pembantaian yang tak kunjung putus dan pelan-pelan menghancurkan ini, dan aku benar-benar takut…. Kini kupertanyakan keyakinanku sendiri yang mendasar kepada kebaikan kodrat manusia, ini harus berhenti.”

Demikian tulisnya dalam email yang bertanggal 27 Februari 2003. Sebagai warga Amerika dan pembayar pajak ia menuduh dirinya sendiri bersalah secara tidak langsung atas apa yan terjadi di Palestina, terlebih lagi negaranya, Amerika yang setiap tahunnya selalu mengucurkan dana bantuan untuk Israel dan dukungan kepada Ariel Sharon atas setiap okupasi atas tanah Palestina.

Karena itu ia datang ke palestina memenuhi panggilan jiwanya, pada Januari 2003 ia tiba di Tepi Barat dan bergabung bersama International Solidarity Movement, sebuah grup pegiat kemanusiaan anti penjajahan yang berkeyakinan bahwa kemerdekaan adalah hak rakyat Palestina berdasarkan hukum internsional dan resolusi PBB dengan aksi langsung tanpa kekerasan. Kemudian ia tiba di Raffah, dengan matanya sendiri ia melihat bagaimana tentara Zionis meluluhlantakan pemukiman penduduk, dengan buldozer – buldozer dan tentara dengan senapan di tangan di kiri kanannya.

Dalam surat kepada ibunya ia menggambarkan perasaannya ia menulis, “ngeri dan tak percaya itulah yang kurasakan, Kecewa . Sama sekali bukan ini yang aku minta ketika aku datang ke dunia ini, bukan ini dunia yang Mama dan Papa inginkan buat diriku ketika kalian memutuskan untuk melahirkanku” .

Di Rafffah itulah Rachel Corrie beberapa hari tinggal di dalam sebuah rumah keluarga bernama Nasrallah, demi menegaskan tekadnya untuk bersama rakyat Palestina memperjuangkan kemerdekaan. Selain itu ia sengaja tinggal di sana agar tentara Zionis mengurungkan niat untuk membuldozer pemukiman itu karena keberadaan dirinya. Lewat email kepada mamanya ia bercerita kondisi yang dialaminya, “ Dua kamar depan rumah mereka tak dapat digunakan. Dinding-dindingnya hancur ditembus peluru Israel. Seluruh anggota keluarga; tiga anak dan dua pasang suami istri tidur di ruang tengah. Aku tidur di lantai bersama anak perempuannya, Iman, dalam satu selimut ”.

Rachel Corrie lahir tanggal 10 april 1979 di Olympia, di dekat teluk selatan negara bagian Washington, Amerika. Tapi sore itu sekitar jam 5 sore 16 Maret 2003 dengan jaket kuningnya ia berdiri di Raffah, Palestina sebuah kota dekat perbatasan Mesir. Ia berdiri di sebuah kota yang jaraknya ribuan kilometer dari tanah kelahirannya, ia berdiri di depan rumah Nasrallah yang beberapa hari ini didiaminya di depan buldozer Zionis yang siap meluluhlantakkan pemukiman warga Palestina. Dia hadang buldozer yang siap melindas rumah itu, dia berdiri di atas gundukan tanah yang cukup tinggi setelah dikeruk pisau bulldozer agar sang tentara yang mengoperasikan bulldozer melihatnya. Namun sang serdadu tak peduli, Bulldozer jenis D9R milik Isreal itu terus melaju, Rachel terbanting, lalu terseret pisau Bulldozer, tubuh nya remuk dilindas rantai rantai baja sang bulldozer.

Demikianlah, Rachel Corrie meninggal 16 Maret 2003 pada usia 23 tahun di tanah asing yang sangat jauh dari rumahnya, ia mati demi orang lain dan ia mati demi sebuah harapan di mana masih ada kemampuan manusia untuk tetap menjadi manusia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar