Label

Selasa, 15 September 2015

Dari Al-Qur’an Hingga Stephen Hawking



Oleh Sulaiman Djaya, esais dan penyair (Sumber: Radar Banten, 23 Januari 2015)

“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya” (al Qur’an Surah Adz-Dzaariyat, 51: 47). “Jika relativitas umum benar, model apa pun yang masuk akal tentang jagat raya harus dimulai dengan singularitas –jagat raya mempunyai awal” (Stephen Hawking dan Roger Penrose). “Jagat raya memuai” (Edwin Hubble).

Barangkali pernah terbersit dalam pikiran kita tentang bagaimana alam semesta diciptakan? Atau katakanlah bagaimana mula jagat raya? Adakah ia ada dengan sendirinya atau “dicipta” oleh Sang Pencipta? Dan kita tahu juga, belakangan ini, banyak spekulasi dan teori atas pertanyaan ini. Namun, terlepas dari semua jawaban yang akan keluar, mungkin tak ada salahnya bila sekarang kita akan melakukan perjalanan sejenak ke masa lampau dengan mesin waktu fiktif kita, karena dengan kita sedikit berpikir tersebut, tentu akan pula menambah cara pandang kita kepada dunia.

Dan memang banyak sekali ilmuwan dan filsuf yang ingin menjelaskan bagaimana alam semesta itu berasal –dari dulu, dari sejak era Yunani, jaman keemasan Islam, hingga saat ini, pun masih terus berlanjut. Dalam hal ini, seorang filsuf Jerman, Immanuel Kant, menjelaskan bahwa alam semesta ada selamanya dan bahwa setiap kemungkinan apapun, meskipun mustahil, harus dianggap mungkin. Sebenarnya ini bukanlah pandangan baru. Pemikiran ini pernah dicetuskan oleh Democritus dan memang diterima luas pada waktu itu. Kant pernah berkata: “Ada alasan yang sama sahihnya untuk percaya bahwa jagat raya mempunyai awal dan untuk percaya bahwa jagat raya tidak mempunyai awal”.

Akan tetapi, puluhan tahun silam, tepatnya pada tahun 1922, seorang fisikawan Rusia, Alexander Friedmann, dalam perhitungannya menghasilkan sebuah temuan mengejutkan. Dia menyimpulkan bahwa alam semesta tidaklah statis –yang artinya sebuah impuls kecil sudah mampu untuk membuat alam semesta ini mengerut ataupun mengembang.

Persis, berdasarkan hasil penghitungan Friedman tersebut, George Lemaitre seorang ahli astronomi Belgia menyangkal apa yang dikatakan Immanuel Kant yang menyatakan alam semesta ini statis. Lemaitre, dengan berani menyatakan bahwa alam semesta mempunyai permulaan dan bahwa ia mengembang sebagai akibat dari sesuatu yang telah memicunya. Dia juga menyatakan bahwa tingkat radiasi (rate of radiation) dapat digunakan sebagai ukuran akibat (aftermath) dari “sesuatu” itu.

Sementara itu, alias selanjutnya, di tahun 1929, seorang ilmuwan bernama Edwin Hubble di Observatorium Mount Wilson California membuat penemuan astronomi yang menjadi bukti dari pernyataan Friedman dan Lemaitre di atas. Ia menemukan dalam pengamatannya bahwa bintang – bintang cenderung ke arah spektrum merah. Dalam Fisika kita tahu bahwa spektrum berkas cahaya yang menjauhi bumi cenderung ke arah merah. Ini menimbulkan kesimpulan bahwa bintang – bintang ini menjauhi bumi. Bukan hanya itu saja, karena Hubble juga menemukan bahwa bintang – bintang itu ternyata saling menjauh satu dengan lainnya. Jadi kesimpulan dari penemuan yang diperoleh Hubble adalah bahwa alam semesta ini tidaklah statis tapi mengembang seiring dengan waktu.

Singkatnya, dalam hal demikian, Albert Einstein, Roger Penrose dan yang sejalan dengan temuan-temuan ilmiah mereka, merupakan para ilmuwan yang dapat dikatakan memiliki “pandangan” bahwa jagat raya memiliki awal alias diciptakan –dari tiada menjadi ada, meski kita tidak tahu “kapan” mulanya. Dan soal ini masih menjadi perdebatan hingga saat ini.

Hanya saja, dalam tulisan singkat ini, pertanyaannya adalah: apa hubungan mengembangnya alam semesta dengan awal jagad raya? Jawabannya tak lain adalah jika alam semesta semakin besar sejalan dengan waktu, maka bila kita mundurkan waktu kita akan mendapati alam semesta akan mengerut, terus mengerut sampai suatu titik tertentu. Titik ini berkerapatan tak hingga dan volume nol. Titik ini memiliki gaya gravitasi yang tak hingga besarnya. Titik nol ini sama dengan “tidak ada” karena sains memang tidak mengenal materi yang bervolume nol. Dan inilah teka-tekinya.

Untuk sementara ini, kesimpulannya adalah bahwa alam semesta kita muncul dari hasil ledakan massa dan gaya gravitasi yang tak hingga yang mempunyai volume nol ini. Ledakan ini bernama “Big Bang” atau Ledakan Besar alias Dentuman Akbar. Sedangkan sebuah fakta lain yang kita temukan di sini adalah bahwa ternyata alam semesta ini memiliki awal dan mengembang seiring dengan waktu. Dulu, Einstein memang pernah melakukan kesalahan besar dalam hidupnya dengan mempertahankan teori keadaan tetap, sebelum ia merevisi pandangannya setelah berkenalan dengan al Qur’an dan Islam.

Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan waktu? Tentu waktu itu tidak ada bila materi tidak ada. Menurut teori relativitas, ruang-waktu adalah dinamis, dan bergantung pada distribusi materi dan energi, di mana dalam hal ini ruang-waktu adalah relasional, bukan absolut. Artinya, secara singkat, jika semua materi dihilangkan, tidak ada yang tersisa – tidak ada ruang-waktu jika tidak ada materi. Ruang-waktu tidaklah eksis dengan sendirinya, tapi ruang-waktu adalah network (jaringan) dari hubungan dan perubahan.

Sedangkan soal keluasan semesta itu sendiri, saya teringat pernyataan Stephen Hawking: “Jagat raya tidak mempunyai tapal batas”. Nah, tepat dari sinilah kita bisa merenung tentang kebenaran bahwa alam semesta ini memang diciptakan. Siapakah yang menciptakan alam semesta ini? Saya pribadi, sebagai muslim, mempercayai apa yang dinyatakan dalam al-Qur’an dalam soal siapa penciptanya ini. Salam dan terimakasih karena telah membacanya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar