Label

Minggu, 04 Mei 2014

Burung Manyar Versi Hunter



Oleh Leila S. Chudori 

SAMBIL memandang rekannya, Mbok Naya bertanya-tanya dalam hati, " ... bukankah enam tujuh tahun hidup bersama dengan seorang Arjuna sudah tergolong ketiban ndaru, artinya dijatuhi anugerah kemujuran hidup? Kalau dibandingkan dengan suami Mbok Naya sendiri, yang bentuknya seperti Togog loakan itu, pastilah Mbok Ranu tidak punya hak untuk mengeluh setarikan napas pun. Itu kalau memang ia wiratama Jawa sejati yang sudah pernah diajar orangtuanya tentang sikap sumarah, bakti kepada raja, suami, dan segala yang di atas kita." 

Sebenarnya, ini bukan alinea utama dalam Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya. Pembicaraan dari hati ke hati antara Mbok Naya dan Mbok Ranu itu hanya sebagian kecil dari novel yang mendapatkan South East Asia Writers Award tahun 1983. Nah. Bayangkan dialog wong cilik itu di dalam bahasa Inggris. Tentu bukan pekerjaan yang mudah bagi Thomas Hunter, 44 tahun, untuk memindahkan 261 halaman karya novelis ini ke dalam bahasa Inggris. Namun, karena doktor Universitas Michigan ini mengaku merasa begitu dekat dengan pribadi tokoh utamanya, Setadewa, ia mencoba mengatasi kesulitan itu. 

Dengan sponsor Institut Australia-Indonesia, The Weaverbirds yang diterbitkan oleh Yayasan Lontar itu diluncurkan dengan kemasan dan desain luks setebal 309 halaman. Maka, jika Anda membuka beberapa halaman pertama, tempat kedua wong cilik tadi berbincang, Anda tak akan menemui perumpamaan wajah suami Mbok Naya yang serupa dengan wajah Togog. Hunter -- dengan kebebasan penuh yang diberikan Mangunwijaya -- menerjemahkan Togog menjadi the second-rate clown (badut kelas dua). Padahal, Togog adalah nama seorang tokoh. Lalu, ingat, betapa lincahnya Teto kecil bercerita tentang kegagahan bapaknya. "Sempurna dah! Asal Anda jangan melihat wajah beliau. Benar-benar Jowu deh. Kayak penyapu pupuk-andong dari Khemeente Makhelang ...." Di Weaverbirds, kalimat bandel ini berubah menjadi "A sight of un- adulterated perfection! That is, as long as you didn't look at his face. Because, no getting around it, he had a quintessential Javanese look. He had, you know, the face of a streetsweeper ...." 

Memang tidak mudah menerjemahkan kalimat-kalimat yang terdiri dari berbagai bahasa ke dalam satu bahasa. Dan mungkin itu sebabnya tak mudah pula ketika beberapa tahun silam Harry Aveling menerjemahkan karya Umar Kayam dengan baik. Mangunwijaya memang tak perlu kecewa betul. "Terjemahan karya sastra memang tidak ada yang sempurna, pasti ada saja lukanya," ujar Mangunwijaya kepada Ajie Surya dari TEMPO. 

Dan hilangnya nuansa-nuansa lokal tadi memang hampir tak terelakkan. Jadi, Hunter belum sampai membuat luka yang bakalan membuat pembaca membuang buku itu sebelum selesai. Sayangnya, Hunter menolak untuk menggunakan catatan kaki dan lebih suka memberi keterangan langsung. Padahal, barangkali cara yang efektif untuk memperkenalkan tokoh-tokoh wayang tanpa merusak kalimat dialog adalah dengan menggunakan catatan kaki. Selain terdapat tiga halaman glosari, Hunter juga suka menggunakan keterangan langsung di tengah-tengah kalimatnya. Misal- nya "That everyone has within them a little of the Pandawa and a little of the Kurawa, a little good and a little evil." 

Jadi, daripada memberi catatan kaki penjelasan tentang Pandawa dan Kurawa, Hunter memilih untuk memberi penjelasan tambahan dalam dialog itu bahwa Pandawa adalah kebaikan dan Kurawa adalah kejahatan. Bagi Mangun, 62 tahun, itu agak mengganggu. Tapi ia mengakui bahwa apa yang dilakukan Hunter adalah jalan yang dianggap paling bijaksana karena tokoh-tokoh wayang itu tak mungkin dimengerti secara langsung oleh pembaca asing. Di mata Mangun sendiri, Tom Hunter bukan sekadar mengerti bahasa Inggris dan bahasa Jawa, tapi juga menyelami kebudayaan keduanya. Keberatan Mangunwijaya yang lain adalah kata "tanah air" yang diterjemahkan Hunter menjadi home. Mangunwijaya menganggap seharusnya kata itu diterjemahkan menjadi fatherland. Tapi, menurut Romo Mangun, Hunter menganggap istilah fatherland di Barat saat ini memiliki konotasi negatif, bombastis, dan tidak disukai kaum feminis. "Tanah air atau fatherland (dalam roman tersebut) itu kan diucapkan pada 1949, bukan 1990. Jadi, konteksnya harus tepat," ujarnya. 

Bagi Hunter sendiri, proses penerjemahannya lancar-lancar saja. Kepada TEMPO, ia mengaku hanya menemui kesulitan ketika mencoba menerjemahkan terminologi Anak Kolong. "Ketika saya berhasil menemukan kata Army Brat, setiap kata dan kisah di dalam buku itu saya terjemahkan dengan lancar." Bagi Hunter, ketertarikannya terhadap novel tersebut bukan saja karena ia melihat dirinya di dalam tokoh utamanya, tetapi juga karena kemampuan Mangun mengaitkan keadaan jiwa seseorang dengan suasana alam di luar dirinya. "Cara yang belum banyak digunakan penulis Indonesia," Hunter mengungkapkan. Agaknya, Yayasan Lontar memilih Burung-burung Manyar sebagai salah satu buku sastra yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris bukannya tanpa alasan. Menurut Ketua Yayasan, Sapardi Djoko Damono, buku itu memang salah satu karya sastra terbaik saat ini. Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1991/03/23/BK/mbm.19910323.BK13568.id.html 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar