Label

Minggu, 05 Juni 2016

Kisah Tukang Sol Sepatu dari Suriah


Pada suatu musim haji, ada seorang alim dari Madinah hendak menunaikan ibadah haji, bernama Abdullah Al-Mubarakah. Untuk menunaikan niatnya itu ia harus berjalan kaki. Setelah selesai ibadah haji, Abdullah meninggalkan Mekkah untuk kembali ke kampung halamannya.

Karena merasa letih selama mengerjakan ibadah haji dengan berjalan kaki, disandarkan tubuhnya di sebuah pohon kurma. Hari pun telah senja. Keletihan karena perjalanan panjang dan teriknya panas gurun telah menidurkan matanya. Dalam lelapnya, ia bermimpi mendengarkan percakapan dua malaikat.

"Bagaimana keadaan haji tahun ini?" tanya salah seorang malaikat. "Ribuan kaum muslimin dari segala penjuru sudah memenuhi panggilan Nabi Ibrahim. Di antara ribuan orang itu, Allah telah menghadiahkan keutamaan haji mabrur kepada salah seorang hamba-Nya yang tulus." "Siapa dia?" "Namanya Ali Al-Mu'affa, seorang tukang sol sepatu di Damaskus."

Abdullah terbangun sambil mengucap istighfar mengingat mimpi yang dialaminya. Akhirnya dia bergegas meninggalkan tempat dia beristirahat menuju mesjid terdekat untuk melaksanakan sholat malam. Setelah itu dia berbaring, sambil terus memikirkan perbincangan kedua malaikat dalam mimpinya. "Siapakah orang yang dimaksud?" tanyanya dalam hati.

Matahari telah timbul, Abdullah melanjutkan perjalanan pulang. Tiba di suatu kampung, ia singgah di mesjid dan menginap di sana. Pada malam harinya Abdullah kembali didatangi mimpi yang sama, seperti malam sebelumnya. Maka yakinlah Abdullah bahwa apa yang dialaminya itu bukan hanya bunga-bunga tidur tapi rukyah shadiqah (mimpi yang benar).

"Kalau begitu aku lebih baik pergi ke Damaskus, akan kucari sampai ketemu siapa Ali Al-Muaffa," katanya dalam hati. Abdullah pun tidak jadi pulang ke Madinah melainkan melanjutkan perjalanan ke Damaskus.

Hampir dua bulan ia berjalan kaki menuju kota. Di tempat yang serba asing, tak mudah untuk mencari seseorang yang tak dikenal sebelumnya, melainkan hanya sebuah nama. Menelusuri jalan-jalan kota, mampir ke mesjid sambil bertanya nama orang yang sedang dicarinya.

Setelah bertanya kesana kemari, akhirnya Abdullah bertemu seseorang yang mengetahui tempat tinggal Ali Al-Muaffa.

"Assalamu'alaikum," ucapnya.

"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarokatuh," jawab tuan rumah.

"Apakah ini tempat tinggalnya Ali Al-Muaffa?", tanyanya.

"Betul. Aku yang tuan sebut. Tampaknya tuan datang dari tempat yang jauh. Bagaimana perjalanan tuan?" tanya Ali Al-Muaffa.

"Alhamdulillah, Allah telah mengantarkan diriku dapat bertemu dengan tuan," katanya gembira.

"Adakah yang harus aku bantu?"

"Aku baru selesai menunaikan ibadah haji, dan aku bermimpi bahwa tuan mendapatkan anugerah dari Allah sebagai penerima haji mabrur. Apakah tuan juga pulang dari Masjidil Haram, apakah ibadah yang tuan kerjakan?", tanya Abdullah Al-Mubarakah dengan penuh rasa ingin tahu.

"Aku sebenarnya belum sempat wukuf di Arafah tahun ini," kata Ali Al-Muaffa.

"Tapi Allah telah memberi tuan keistimewaan, pasti ada yang luar biasa yang tuan kerjakan," kata Abdullah heran.

Lalu Ali Al-Muaffa bercerita tentang ihwal dirinya yang sudah lama bercita-cita ingin menunaikan ibadah haji tapi belum juga kesampaian.

"Bertahun-tahun aku tanamkan niat untuk beribadah haji. Sejak niat ditanamkan dalam hati, sejak itu pula aku menabung menyisihkan sebagian dari upah sebagai tukang sol sepatu dan sebagian untuk belanja keluarga. Setelah beberapa tahun kemudian, simpanan kami cukup untuk pulang-pergi dan biaya keluarga selama ditinggalkan.

Pada suatu hari istriku yang sedang ngidam mencium bau wangi orang membakar daging. Wanginya menembus celah-celah dinding rumah kami. Istriku menangis supaya aku minta diberi tetangga yang sedang membakar daging tersebut. Lalu aku kesana dan mengemukakan keinginan istriku."

"Oh tidak bisa tuan. Daging ini hanya khusus untuk kami," kata perempuan janda itu sambil menutup pintu.

"Aku pun pulang menyampaikan hal itu kepada istriku, namun istriku tidak mau mengerti. Lalu aku kembali lagi ke rumah janda dengan dua orang anak itu sambil membawa uang penebus. Baru saja hendak kubayarkan, perempuan itu malah mengatakan, Maaf tuan Ali. Makanan ini hanya halal untuk kami dan haram untuk tuan." "Mengapa begitu?" tanyaku. "Yang kami bakar ini adalah daging keledai yang kami dapati mati di pinggir desa kita ini. Karena aku dan anakku sudah dua hari ini tidak makan, maka bangkai keledai itu halal bagi kami," kata perempuan itu.

"Mendengar itu hatiku bergetar, aku segera pulang mengambil uang biaya perjalanan, lalu kubelikan sekarung gandum dan sedikit uang untuk biaya belanja mereka. Dan saat itu pula aku suruh mereka membuang bangkai yang belum sempat mereka makan. Dan aku batalkan keberangkatanku untuk ibadah Haji. Hanya itu yang dapat aku ceritakan kepada tuan," kata Ali Al-Muaffa.

Setelah mendengar kisah itu, Abdullah pun berpamitan, sementara air matanya mengalir hingga membasahi jenggotnya.

1 komentar:

  1. ternyata ibadah haji yg sesungguhnya bukan hanya keberangkatan badan menghadap baitullah, tapi keikhlasan hati menerima semua taqdir...

    BalasHapus