Label

Senin, 11 Juli 2016

Interpretasi Alegoris Mazhab Alexandria (Kajian Teologi, Sastra, dan Hermeneutik)


Foto: Persatuan dan Solidaritas Muslim Sunni, Kristen (Ortodoks), dan Muslim Syi’ah dalam Melawan ISIS (Wahabi Takfiri, Amerika, Israel, Rezim Saudi, NATO dkk)

Dalam sejarah Kristiani, Alexandria sudah tentu bukan nama yang asing bagi sejarawan dan para sarjana yang konsen pada sejarah dan teologi Kristiani, sebagaimana Anthiokia yang merupakan pusat Kristen Ortodoks Suriah. Salah-satu sumbangan Alexandria dalam sejarah Kristen adalah Sekolah Teologi mereka yang bahkan murid-muridnya dari Barat (Yunani dll). 

Secara teologis dan filosofis, cara pandang utama Alexandria menganut paham alegorisme, filsafat (Yunani), dan menekankan “pengetahuan” (gnosis) yang saling berkaitan satu sama lain. Selain itu masih ada karakteristik yang mengikutinya, yang dapat ditemukan di dalam pembahasan mengenai: 

[1] Rahmat Pembaharuan (Deification), yang menekankan bahwa “hidup baru” merupakan rahmat Ilahi yang diterima melalui Roh Kudus yang menyatukan kita dengan Bapa dalam Yesus Kristus

[2] Keutuhan Hidup ada dalam Yesus Kristus 

[3] Soteriologi, di mana penyelamatan hanya dapat dikerjakan oleh seorang yang sehakekat dengan Allah dan yang tanpa menanggalkan keilahiannya menjadi satu dengan manusia. Bahayanya, batas antara ke-Allah-an dan kemanusiaan menjadi kabur 

[4] Inkarnasi (Kristologi) lebih dipikirkan menurut pola Yohanes 1:14 (Logos itu ”telah menjadi manusia atau daging) daripada menurut pola Filipus 2:7 (Mazhab Anthiokia) (Logos “mengambil rupa seorang hamba”, menjadi “sama dengan manusia”). Dominasi Allah menjadi terlalu besar. Bahaya monophysitisme ini menjadi nyata dalam Eutyches (378-454): ‘Kemanusiaan Kristus tenggelam dalam ke-Allah-an, bagaikan setetes air dalam laut’.

Salah satu tokoh Alegorisme Alexandria yang cukup masyhur adalah Philo (20 SM-50M), yang membuat sebuah metode sistematis untuk menghubungkan jurang antara wahyu dalam Perjanjian Lama dan Filsafat Platonis.

Sementara itu, kata “alegori” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu “alla” yang berarti “lain” (other), dan “agoreuo” yang berarti “menyatakan” (proclaim). Hal ini awalnya menunjuk pada seorang figur ahli pidato, Cicero yang mendefinisikan “alegori” sebagai sebuah “aliran lanjutan dari metafora-metafora (kiasan)”.

Menurut Santo Agustinus (354-430), alegori adalah sebuah model pidato atau khutbah, di mana sesuatu itu dapat dimengerti oleh yang lain. Dalam hal ini, alegori dibedakan dari “perumpamaan”. Alegori lebih merupakan sebuah penyajian sistematis dari segi-segi (features) ide yang berbeda, yang mengilustrasikan “isi” dengan penjelasan yang terperinci (exposition) dari kebenaran-kebenaran teoritis daripada sebuah nasihat praktis.

Dalam eksegese (penafsiran) alegoris, contohnya, teks suci (dalam kitab suci) diperlakukan hanya sebagai simbol atau alegori dari kebenaran-kebenaran spiritual.

Ada tiga macam metode pendekatan alegoris yang digunakan. PertamaAlegori Figuratif, dalam Kitab Suci penggambaran ini dapat  ditemukan dalam 1 Korintus 13: 1-13 (Kasih). Kedua, Alegori Naratif, penggambaran ini dapat ditemukan dalam perikop mengenai “Orang Samaria yang Baik Hati” (Lukas 10: 30-35), dan KetigaAlegori Tipologis, penggambaran ini merupakan sebagian besar bentuk karakteristik biblis, metode eksegese (penafsiran) Perjanjian Baru yang memperlakukan peristiwa-peristiwa dan figur-figur Perjanjian Lama sebagai kombinasi realitas historis dengan maksud profetis.

Menurut Santo Agustinus, alegori yang para penulis Perjanjian Baru temukan dalam Perjanjian Lama tidak hanya figur-figur retoris melainkan kenyataan-kenyataan historis (non in verbis sed in facto).

Alegori Tipologis dikritik oleh Antiochene Criticism (Golongan atau Mazhab Anthiokia) yang membedakan antara alegori dan tipologi. Alegori didefinisikan sebagai sebuah metode, di mana realitas keduniawian diinterpretasikan secara simbolik untuk menunjuk pada realitas surgawi. Sedangkan, tipologi, di mana realitas historis diinterpretasikan sebagai “pemberi tanda yang lain”, khususnya pribadi dan karya Kristus. Metode Alegori secara umum membawa kebingungan (bahkan dalam zaman patristik).

Lalu kemudian muncullah Origenes sebagai orang pertama yang membawa kedua macam interpretasi alegori dan tipologi ini dalam sebuah sintesis yang kuat. Menurutnya, kata-kata dalam Kitab Suci itu seharusnya diwujudkan dalam jiwa setiap orang melalui tiga jalan: 

[1Literal sense, memperhatikan sejarah dan arti secara literal (harfiah), dan hal ini diperuntukkan bagi orang-orang sederhana (awam dan umat biasa kebanyakan) 

[2Moral sense, memahami arti moral, atau mempelajari teks-teks untuk menemukan kemajuan bagi jiwa, hal ini  diperuntukkan bagi orang-orang yang lebih maju 

[3Spiritual sense, kemajuan jiwa diperjuangkan melalui rasa-perasaan spiritual dalam relasinya dengan Kristus yang mengandung bayang-bayang rahmat, hal ini diperuntukkan bagi orang-orang yang “perfect” (lebih maju lagi) atau kaum khusus. 


Sementara itu golongan atau Mazhab Anthiokia (Suriah) tetap yakin bahwa level pertama untuk menginterpretasikan (Kitab Suci) adalah melalui level historis. Mereka memberi perhatian untuk revisi teks, sebuah kesetiaan yang murni untuk kejelasan makna yang natural (wajar, alamiah) berdasarkan penggunaan bahasa dan situasi lingkungan penulis pada saat itu, dan memperhatikan faktor-faktor manusiawi di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar