Label

Kamis, 10 Oktober 2013

Geliat Sastra di Banten




Oleh Budi Sabarudin

Sejak tahun 2000-an, setidak-tidaknya iklim kepenulisan dan kesusastraan di Banten terasa lebih bergairah dibanding era sebelumnya, terutama dalam dunia kepenyairan. Saat ini sudah muncul nama-nama penyair muda yang telah menyumbangkan warna dan suara tersendiri dalam dunia kepenulisan dan kepenyairan di Banten.

Sulaiman Djaya, penyair dan budayawan di Banten mengatakan penyair-penyair muda itu di antaranya Irwan Sofwan, Halimah Tusya Diah, Wulan Widari Endah, Wahyu Arya Wiyata, Rozi Kembara dan Sumala Djaya. “Nama-nama yang telah saya sebutkan itu sudah mempublikasikan karya-karyanya di media-media yang ada di Banten, Jakarta, Bandung dan beberapa daerah lainnya. Mereka telah menyumbangkan warna dan suara tersendiri dalam dunia kepenulisan dan kepenyairan di Banten,” ungkapnya.

Salah satunya Rozi kembara dan Wahyu Arya Wiyata yang telah mempublikasikan puisi-puisi mereka di Majalah Sastra Horison, sedangkan Irwan Sofwan telah menyiarkan puisi-puisinya di Harian Pikiran Rakyat. Sementara itu Sumala Djaya mempublikasi beberapa cerita pendeknya di Majalah Hai, selain tentu saja nama-nama yang telah saya sebutkan itu juga mempublikasi karya-karya mereka di Harian yang terbit di Banten semisal Kabar Banten (dulu Fajar Banten) dan Radar Banten, dua Harian di Banten yang setahu saya masih mempertahankan rubrik sastra dan budayanya.

Diakuinya, secara tradisi, gairah dan geliat kepenulisan dan kesusastraan tak bisa dilepaskan dari keberadaan komunitas-komunitas yang menjaga dan memelihara semangat dan kerja-kerja kepenulisan dan kesusastraan di Banten. Sebutlah Kubah Budaya, Rumah Dunia, dan belakangan juga teman-teman yang menerbitkan berkala Tabloid CIKAL yang menampung karya-karya kreativitas anak sekolah, mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah. Juga, gairah dan geliat tersebut tak lepas dari peran-peran individu yang memiliki komitmen pada dunia kepenulisan dan kesusastraan di Banten. Di sini kita bisa menyebut nama-nama semisal Moh. Wan Anwar (Alm.), Toto ST. Radik, Arip Senjaya, Gol A Gong dan sederet nama lain.

Kesalingterkaitan antara tradisi yang ingin diciptakan komunitas dan kreativitas individual tak bisa dinafikan. Bahwa benar kreativitas individual kadangkala tak meniscayakan keberadaan komunitas secara mutlak, tetapi bagaimana pun sebuah institusi akan lebih menambah point tersendiri sebagai keberlangsungan kerja-kerja kepenulisan dan kesusastraan. Begitu pula, kerja-kerja dan kreativitas kepenulisan dan kesusastraan yang disokong dan diimbangi dengan spirit intelektualisme dan spirit membaca akan menyumbang pada kekuatan dan kualitas kerja-kerja kepenulisan. Kita tak bisa menafikan bahwa kemajuan dan perkembangan sebuah kebudayaan akan sangat terkait dengan diskusi dan kekayaan wawasan.

“Untuk kasus Banten, geliat dan gairah kepenulisandan kesusastraan yang telah saya maksudkan itu meluas juga hingga ke kampus-kampus yang ada di Banten, semisal Universital Sultan Ageng Tirtayasa dan Institut Agama Islam Negeri Banten, sekedar mencontohkan dua nama saja,” katanya.

Meski demiian lanjut dia, tentulah masih terlampau dini bagi kita untuk bergembira. Terlebih di beberapa segi, gairah kepenulisan dan kesusastraan di Banten terasa masih bersifat artifisial semata, untuk tidak menyebut belum matang dan dewasa. Hal ini tentu saja berbeda dengan iklim yang hidup di Jakarta, Bandung, Jogjakarta, dan mungkin daerah lain yang lebih aktif dan beragam. Bahkan kita mungkin mesti berendah hati dan mengakui bahwa kehidupan kebudayaan dan kesenian di Banten dalam beberapa hal memang masih awam. Begitu pula, belum saatnya para penulis atau para penyair yang datang dari generasi lebih muda mestilah masih harus membuktikan dedikasi dan kekuatan karya-karya mereka di tahun-tahun mendatang, bukan malah langsung berpuas diri.

Ketika ditanya tentang kritik seni, Sulaiman Djaya mengatakan aktivitas kehidupan dunia kepenulisan dan kesusastraan meniscayakan juga keberlangsungan kritik dan diskusi, yang dengan itu sebuah kehidupan kepenulisan dan kebudayaan senantiasa mau mengoreksi diri secara simultan dalam rangka membangun dan memajukan gairah dan kerja-kerja kebudayaan itu sendiri.” Tanpa kritik dan diskusi, seringkali kita malah lupa diri, tak mampu melihat kekurangan dan kelemahan kita sebagai insan-insan kesenian. Selain itu, gairah untuk membaca dan menggali wawasan sebanyak mungkin tentu akan memperpanjang dan menambah usia serta kekuatan nyawa kreativitas dalam dunia kepenulisan.”

Dia menegaskan, keberlangsungan gairah dan kerja-kerja dalam dunia kepenulisan dan kesusastraan hanya bisa diukur dan tercermin lewat dan dari produktivitas dan kualitas karya-karya yang lahir dari rahim keresahan dan kegelisahannya. Demikian pula, keberadaan forum-forum selebrasi mestilah lebih dipahami sebagai wadah apresiasi, dimana yang akan menjadi pembaca sebenarnya adalah mereka yang membeli karya-karya kita, hingga mampu menghadirkan dan mengkomunikasikannya secara representatif dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik pembaca.*** (Sumber: Kabar Banten 03 Januari 2011)

Budi Sabarudin, Penulis dan jurnalis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar