Label

Minggu, 02 Februari 2014

Zionisme, Ideologi Sekuler Dengan Klaim Religius




Isu Palestina dan Israel, tak dapat diingkari, memang pelik dan tak kunjung usai. Tak lain karena isu ini seringkali menyulut konflik dan kebencian, singkatnya: perang dan pertumpahan darah, selain juga turut melibatkan tenaga dan pikiran Negara-negara lain di dunia ini. Juga, haruslah diakui, Negara Israel saat ini adalah buah dari perjuangan ideologi yang disebut sebagai "Zionisme". Sukses Zionisme adalah buah persekutuan, lebih tepat disebut sebagai perselingkuhan, antara kaum Zionisme Yahudi dengan imperialisme Barat. Namun di sini perlu ditekankan bahwa Zionisme sesungguhnya adalah ideologi sekular, meski seringkali menggunakan klaim religius, yang secara kebetulan memang sangat dramatis dan sukses mencapai tujuannya pada abad ke-20.  

Teks: Sulaiman Djaya (Penyair dan Peminat Studi Perbandingan Agama)

Dan, seperti sama-sama kita tahu, ideologi zionisme ini disusun dengan sasaran jelas, sebagaimana diakui oleh penggagasnya, Theodore Herzl: “membentuk sebuah negara Yahudi”. Hasilnya, dalam jarak rentang waktu 50 tahun sejak Kongres Zionis pertama di Basel, Swiss, tahun 1897, negara Yahudi, yang diberi nama Israel, itu berdiri pada 14 Mei 1948, dengan restu Ingris dan Abdul Aziz dari klan Saud Saudi Arabia yang saat ini keturunannya menjadi penguasa Saudi Arabia. Dalam pandangan kelompok Yahudi (yang sesungguhnya kelompok sekuler itu), istilah Zionisme dinisbahkan kepada sebuah bukit bernama Zion di Jerusalem. Inilah klaim religius yang sengaja mereka gunakan demi mendapatkan legitimasi dari mayoritas penganut Yahudi di dunia, meski seperti yang akan kita lihat, tidak semua orang Yahudi setuju dengan Zionisme. Istilah zionisme itu sendiri kemudian identik dengan Jerusalem.

Penggunaan klaim religius tersebut setidak-tidaknya memang menuai untung dan berguna sebagai retorika politik. Sebab  bagi para penganut dan ras Yahudi, istilah Zion memang mengandung makna religius, dan memiliki akar sejarah yang panjang, juga tentu saja memiliki landasan tekstual dalam kitab suci dan dalam mitos serta catatan-catatan sejarah mereka. Tepat, dalam konteks inilah, seperti terbukti, telah menginformasikan kepada kita betapa lihainya kaum Zionis yang sebenarnya sekular tersebut menggunakan istilah "Zionisme" yang mengandung makna sakral untuk menamai gerakan mereka, sehingga mampu menarik banyak dukungan orang Yahudi di seluruh dunia, utamanya dari orang-orang Yahudi di Eropa dan Amerika, lebih khusus lagi yang memiliki pengalaman buruk dengan dunia modern Eropa di era Perang Dunia Kedua, semisal di Jerman era Hitler.

Akan tetapi, penting untuk diketahui, bahwa respon keagamaan di kalangan Yahudi sendiri terhadap Zionisme dan negara Israel memiliki banyak varian:

Pertama, kelompok penentang keras Zionisme, seperti The Haredim Movement dan Naturei Karta. Kelompok Haredim ini memandang bahwa tanah Israel memang dijanjikan Tuhan untuk mereka, di mana tanah tersebut kemudian dicabut oleh Tuhan dari mereka karena ketidakpercayaan atau pengingkaran orang-orang Yahudi sendiri terhadap perjanjian dengan Tuhan. Di sini, dikatakan misalnya, jika Yahudi menaati Taurat, maka Tuhan akan mengembalikan tanah itu kepada Yahudi. Sedangkan orang-orang Yahudi Naturei Karta memandang bahwa negara Israel adalah produk dari Zionisme tak bertuhan (Godless Zionism) alias orang-orang ateis yang mengklaim diri sebagai penganut dan keturunan Yahudi.  Orang-orang Yahudi Naturei Karta adalah kelompok anti-Zionis, orang-orang Yahudi ultra-ortodoks, yang tidak mengakui negara Israel dan secara konsisten menentang negara Yahudi ini. Kelompok ini mendukung perjuangan Palestina dan menyerukan internasionalisasi Kota Jerusalem.

Kedua, kutub dan kelompok keagamaan Yahudi yang berlawanan dengan kelompok Haredim dan Naturei Karta, seperti Gush Emunim. Berbeda dengan Naturei Karta dan Haredim, kelompok ini memberikan biaya kepada para pemukim Yahudi di Tepi Barat, setelah kemenangan Israel dalam perang tahun 1967, yang dikenal sebagai Perang Arab-Israel itu. Mereka juga menyatakan bahwa mereka kembali ke area tertentu untuk mempromosikan kehidupan Yahudi. Nah, menurut mereka, cara ini akan mempercepat kedatangan Sang Messiah, atau yang dalam bahasa Arab disebut sebagai al Masih.

Dan Ketiga, adalah orang-orang Yahudi yang dapat dikatakan sebagai kelompok di antara kedua kutub tersebut, yaitu kelompok-kelompok Yahudi yang memberikan dukungan kepada negara Israel, tetapi tidak melihatnya dari sudut keagamaan. Pendirian negara Israel, menurut mereka, bukanlah tanda-tanda akan datangnya Sang Messiah. Namun, mereka mendukung pemukiman Yahudi dan menentang pengembalian wilayah itu kepada Palestina.

Selanjutnya, di antara orang-orang Yahudi kelompok tengah ini adalah orang-orang Yahudi yang disebut sebagai "Mainstream Religious Zionists", yang salah satu tokohnya adalah Rabbi Meimon (1875-1962) yang pernah menyatakan bahwa "Negara Ibrani harus didirikan dan dijalankan sesuai prinsip agama Ibrani, yakni Torah Israel. Keyakinan kita sudah jelas: sejauh yang kita, para penduduk, memahaminya, agama dan negara saling membutuhkan satu sama lain" (Lihat Pilkington, Judaism, halaman 249-250).

Kutub kelompok Yahudi lain yang terbilang sangat keras dalam klaim keagamaan, misalnya, diwakili oleh kelompok Kach, bentukan Rabbi Meir Kahane. Inilah kelompok Yahudi garis keras yang sangat terkenal ketika salah seorang aktivisnya, Yigal Amir, membunuh Yitzak Rabin, pada 4 November 1995. Yigal Amir sendiri adalah mahasiswa Universitas Bar Ilan dan aktivis kelompok sayap kanan Eyal, sebuah kelompok garis keras yang mengikuti ajaran Meir Kahane. "Saya bertindak sendiri atas perintah Tuhan, dan saya tidak menyesal," tandas Yigal Amir, setelah menembak Yitzhak Rabin kala itu. Amir mewakili ekstremis Yahudi, yang menentang penyerahan wilayah Tepi Barat ke Palestina. Sebab, sesuai ajaran Rabbi Meir Kahane, Tepi Barat merupakan inti dari Eretz Israel yang sudah dijanjikan oleh Tuhan dan khusus diperuntukkan bagi bangsa Yahudi. Benarkah demikian? Ternyata tidak semua orang Yahudi sepakat dengan klaim Rabbi Meir Kahane itu.

Kita juga tidak buta ketika pada kenyataannya istilah "Jewish State" memang menunjukkan negara Israel merupakan negara yang rasialis. Karena itulah, di antara cendekiawan Yahudi kemudian banyak yang menentang negara Israel, misalnya saja Dr. Israel Shahak, tak lain karena sifat-sifat agressif dan diskriminatifnya Negara Israel. Dr. Israel Shahak mencatat: "Dalam pandangan saya, Israel sebagai negara Yahudi membawa bahaya tidak saja bagi dirinya sendiri dan bagi warganya, tetapi juga bagi semua bangsa dan negara lain, baik di Timur Tengah maupun di luarnya."

Dr. Israel Shahak menyebut contoh, bagaimana sampai tahun 1993 Partai Likud menyetujui usul Ariel Sharon agar Israel menentukan perbatasannya berdasarkan Bible. Padahal, bagi Zionis maksimalis, wilayah Israel Raya (Eretz Yizrael) itu meliputi: Palestina, Sinai, Jordan, Syria, Lebanon, dan sebagian Turki. Shahak juga menguraikan berbagai sikap diskriminatif Israel terhadap warga non-Yahudi (Lihat Israel Shahak, Jewish History, Jewish Religion 1999:2, London, Pluto Press, 1994, halaman. 2, 10).

Tak hanya Dr. Israel Shahak, Roger Friedland dan Richard Hect, dalam bukunya, To Rule Jerusalem, menyebutkan bahwa sejak awalnya Yahudi memang tidak pernah sepakat terhadap Zionisme. Para penentang Zionisme ini beralasan bahwa Judaisme adalah agama, dan bukan satu bangsa. Sebagian besar Yahudi religius yang mengunjungi Jerusalem sebelum para Zionis juga memandang bahwa suatu negara sekular dan demokratis bagi Yahudi adalah satu 'anathema' atau barang haram. Dengan demikian, motif dan ideologi zionisme memang murni sekular, dengan membajak klaim religius demi mendapatkan legitimasi. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar