Label

Senin, 28 April 2014

Nabi SAW, Imam Ali, dan Abu Thalib




Oleh April Kukuh

Setelah ditinggal oleh kakek beliau Abdul Mutholib, ketika itu Rasul berusia delapan tahun, Abdul Mutholib – yang merupakan saudara kandung satu bapak dan satu ibu – dari Abdullah (Bapak Nabi) mengambil Nabi untuk mengasuhnya dikarenakan paman Nabi yang satu ini mempunyai perangai yang halus dan dihormati dikalangan Quraisy, inilah alasan kakek Nabi menyerahkan pengasuhan kepadanya, tidak kepada paman yang lain, baik Harist maupun Abbas.

Abu Thalib mencintai keponakannya ini sampai ia mendahulukannya daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Nabi yang agung, luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati itulah yang menarik hati pamannya. Walaupun dalam keadaan miskin dengan makanan yang terbatas, sehingga Abu Thalib pun tidak membeda-bedakan sedikitpun sehingga apa yang dimakan Abu Thalib sekeluarga, Nabi pun juga ikut memakannya, selama rentang waktu Rasul dalam pengasuhan, menerima kondisi tersebut dengan ikhlas.

Abu Thalib bukan hanya mengenal kebenaran Nabi Muhammad s.a.w., tetapi juga mengenal pribadi beliau dengan baik. Ia paman beliau, pengasuh dan pemelihara beliau sejak kanak-kanak sampai dewasa. Dalam waktu yang amat panjang, Abu Thalib menyaksikan sendiri bagaimana praktek kehidupan Nabi Muhammad s.a.w. sehari-hari. Abu Thalib rindu sekali ingin melihat hakekat kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Hatinya pedih dan kesal menyaksikan kaumnya menyia-nyiakan akal fikiran dan hidup mereka di depan tumpukan batu, yang dianggapnya sebagai sesembahan dan tuhan-tuhan.

Suatu ketika Paman Nabi pergi ke Syam (Suriah) membawa dagangan, saat itu Nabi berusia dua belas tahun, mengingat medan yang akan dilalui begitu berat, tidak ada niat Abu Thalib untuk membawa Nabi. Tetapi Nabi dengan ikhlas tanpa ragu menyatakan akan menemani pamannya itu, sehingga sikap ragu-ragu paman Nabi pun hilang, – sikap dari Nabi inilah yang kelak mirip sekali dengan sikap Imam Ali kepada Rasul, di mana Imam Ali tidak pernah dan menolak apapun perintah Nabi- Anak itu lalu turut serta dalam rombongan kafilah, hingga sampai di Bushra (Bostra) di sebelah selatan Syam. Dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda keNabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan, bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap beliau.

Dalam perjalanan itulah sepasang mata Nabi Muhammad yang indah itu melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya daerah-daerah Madyan, Waditul Qura serta peninggalan bangunan-bangunan Tsamud. Didengarnya dengan telinganya yang tajam segala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau. Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun yang lebat dengan buah-buahan yang sudah masak, yang akan membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta’if serta segala cerita orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Mekkah itu. Di Syam ini juga beliau mengetahui berita-berita tentang Kerajaan Romawi dan agama Kristennya, didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia.

Sekalipun usianya baru beranjak dua belas tahun, tetapi sudah memiliki kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman otak, mempunyai daya ingat yang kuat. Yang menandakan bahwa sejak muda beliau telah diantar takdir kepada suatu jalan sejarah sebagai risalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Imam Ali bin Abu Thalib dalam pengasuhan Rasulullah

Ketika Imam Ali menginjak usia 6 tahun, Makkah dan sekitarnya dilanda paceklik hebat. Sebagai akibatnya, kebutuhan pangan sehari-hari sulit diperoleh. Bagi mereka yang berkeluarga besar dan ekonomi lemah, seperti keluarga Abu Thalib, pukulan paceklik terasa parah sekali.

Pada masa paceklik ini, Nabi Muhammad SAW telah berumah tangga dengan Sitti Khadijah binti Khuwalid r.a. Beliau tak dapat melupakan budi pamannya yang telah memelihara dan mengasuh beliau sejak kecil hingga dewasa. Bertahun-tahun beliau hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib, mengikuti suka-dukanya dan mengetahui sendiri bagaimana keadaan penghidupannya. Dalam suasana paceklik ini, Nabi Muhammad SAW. menyadari betapa beratnya beban yang dipikul pamannya, Abu Thalib, yang sudah lanjut usia. Hati beliau terketuk dan segera mengambil langkah untuk meringankan beban pamannya.

Nabi Muhammad SAW. mengetahui, bahwa Abbas bin Abdul Mutthalib, juga paman beliau, adalah seorang terkaya di kalangan Bani Hasyim. Dibanding dengan saudara-saudaranya, Abbas mempunyai kemampuan ekonomis yang lebih baik. Dengan tujuan untuk meringankan beban Abu Thalib, beliau temui Abbas bin Abdul Mutthalib. Kepada pamannya itu beliau kemukakan betapa berat derita yang ditanggung Abu Thalib sebagai akibat paceklik. Kemudian, dalam bentuk pertanyaan, Nabi Muhammad SAW berkata: "Bagaimana paman, kalau kita sekarang ini meringankan bebannya? Kusarankan agar paman mengambil salah seorang anaknya. Aku pun akan mengambil seorang."

Abbas bin Abdul Mutthalib menyambut baik saran Nabi Muhammad SAW. Setelah melalui perundingan dengan Abu Thalib, akhirnya terdapat kesepakatan: Ja'far bin Abi Thalib diserahkan kepada Abbas, sedang Ali bin Abi Thalib r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad SAW.

Sejak itu Imam Ali diasuh oleh Nabi Muhammad SAW. dan isteri beliau, Sitti Khadijah binti Khuwailid r.a. Bagi Imam Ali sendiri lingkungan keluarga yang baru ini, bukan merupakan lingkungan asing. Sebab Nabi Muhammad sendiri dalam masa yang panjang pernah hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib apalagi yang menikahkan Nabi Muhammad SAW. dengan Sitti Khadijah binti Khuwalid r.a., juga Abu Thalib.

Bagi Nabi Muhammad SAW., Imam Ali bukan hanya sekedar saudara misan, malahan dalam pergaulan sudah merupakan saudara kandung. Lebih-lebih setelah dua orang putera lelaki beliau, Al Qasim dan Abdullah, meninggal. Betapa besar kasih sayang yang beliau curahkan kepada putera pamannya itu dapat diukur dari berapa besarnya kasih-sayang yang ditumpahkan Abu Thalib kepada beliau. Bahkan pada waktu dekat menjelang bi'tsah, Nabi Muhammad SAW sering mengajak Imam Ali menyepi di gua Hira, yang terletak dekat kota Mekkah. Ada kalanya Imam Ali diajak mendaki bukit-bukit sekeliling Makkah guna menikmati keindahan dan kebesaran ciptaan Allah s.w.t.

Sejak usia muda Imam Ali sudah menghayati indahnya kehidupan di bawah naungan wahyu Ilahi, sampai tiba saat kematangannya untuk menghadapi kehidupan sebagai orang dewasa. Selama masa itu beliau mengikuti perkembangan yang dialami Rasulullah SAW dalam kehidupannya.

Sungguh merupakan saat yang sangat menguntungkan bagi pertumbuhan jiwa Imam Ali dengan berada di dalam lingkungan keluarga termulia itu. Periode yang paling berkesan dalam kehidupan Imam Ali adalah dimulai dari usia 6 tahun sampai Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama dari Allah s.w.t. Imam Ali mendapat kesempatan yang paling baik, yang tidak pernah dialami oleh siapa pun juga, ketika Nabi Muhammad SAW. sedang dipersiapkan Allah s.w.t. untuk mendapat tugas sejarah yang maha penting itu.

Imam Ali menyaksikan dari dekat saudara misannya melaksanakan ibadah kepada Allah s.w.t dengan cara yang berbeda sama sekali dari tradisi dan kepercayaan orang-orang Makkah ketika itu. Imam Ali menyaksikan juga betapa saudara misannya menjauhi kehidupan jahiliyah, menjauhi kebiasaan minum khamar, menjauhi perzinahan. Selain itu, dengan mata kepala sendiri Imam Ali menyaksikan dan mengikuti perkembangan jiwa dan fikiran Nabi Muhammad SAW.

Semua warisan yang telah diterima Imam Ali dari para orangtuanya, kini berkembang mekar di hadapan seorang maha guru yang cakap dan bijaksana, yaitu putera pamannya sendiri. Manusia terbesar di dunia itulah yang menghubungkan diri dengan Imam Ali.

Pada waktu Nabi Muhammad SAW menerima tugas da'wah Ilahiyah, Imam Ali menyambutnya tanpa bimbang dan ragusikap sama yang telah ditunjukkan Nabi ketika ikut berdagang bersama pamannya ke Syam. Hal itu dimungkinkan karena lama sebelumnya ia telah langsung hidup di bawah naungan Rasulullah SAW. Bila ada hal yang ketika itu tidak mudah dipahami Imam Ali hanyalah mengenai cara-cara pelaksanaan risalah dan beban tanggung jawab yang harus dipikulnya sebagai orang beriman.

Pada waktu Rasulullah SAW menerima perintah Allah s.w.t. supaya melakukan da'wah secara terbuka dan terang-terangan, Imam Ali ikut ambil bagian sebagai pembantu. Imam Ali antara lain menyampaikan seruan-seruan Rasulullah SAW kepada sejumlah orang tertentu di kalangan anggota-anggota keluarganya.

Untuk itu Rasulullah SA. menyampaikan da'wahnya lebih dahulu kepada anggota-anggota keluarga yang paling dekat, yaitu isterinya sendiri Sitti Khadijah r.a. dan saudara misan asuhannya, Imam Ali. Setelah kepada dua orang itu, barulah kepada Zaid bin Haritsah, putera angkatnya.

Imam Ali sendiri sebagai orang yang paling dini melakukan tugas da'wah membantu Rasulullah SAW pernah menerangkan, bahwa pada masa itu tidak ada satu rumah pun yang menghimpun anggota-anggota keluarga dalam agama Islam, selain rumahtangga Rasulullah SAW. dan Khadijah r.a. "Dan akulah orang ketiga dalam rumah itu. Aku menyaksikan langsung cahaya wahyu dan risalah serta mencium semerbaknya bau keNabian" demikian kata Imam Ali.

Ketika Rasulullah SAW berjuang menyampaikan risalah tidak pernah sedikitpun Imam Ali membantah apa yang diperintahkan kepada Imam Ali, hingga Rasulullah menunjuknya sebagai pengganti, sebagai washi.

1 komentar: