Label

Selasa, 29 April 2014

Dalam Cahaya Dua Fatimah



Oleh April Kukuh

Fatimah binti Asad bin Hasyim 

Nama lengkap ibunda Imam Ali ialah Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushaiy bin Kilab. Fatimah binti Asad adalah seorang puteri dari Bani Hasyim yang pertama bersuamikan seorang berasal dari Bani Hasyim juga. Inilah yang menjadikan Imam Ali adalah keturunan Hasyim dari kedua sisi ayah dan ibu. Ia adalah istri Abu Thalib. Ia termasuk yang paling dini memeluk agama Islam, serta memberikan dukungan kepada da'wah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau sangat menghargai dan menghormati Fatimah binti Asad, bahkan memanggilnya dengan sebutan "Bunda" dan dipandang sebagai ibu kandung beliau sendiri.

Beliau dilahirkan dalam rumah tangga yang merupakan pusat spiritualitas. Hasyim bin Manaf adalah pemimpin Quraisy dan penjaga Ka’bah, menikah dengan seorang gadis dari keluarganya sendiri yang melahirkan anaknya, Asad, yang adalah ayah dari Fatimah binti Asad. Keluarga Hashimi dalam suku Quraisy adalah keluarga yang terpandang dan sangat terkenal dalam kebajikan moral serta ketinggian akhlaq di antara suku-suku Arab saat itu. Kemurahan hati, kedermawanan, keberanian dan begitu banyak kebaikan lainnya yang sudah melekat sebagai karakteristik Bani-Hasyim. Pasangan suami istri Fatimah dan Abu Thalib dikaruniakan empat laki – laki dan dua perempuan (Thalib, Aqil, Ja’far, Ali, Fakhitah, Jumanah), Imam Ali adalah anak termuda. Dan Rasulullah sebagai anak angkat beliau.

Ketika itu hari Jum'at, 13 bulan Rajab, 12 tahun sebelum Nabi Muhammad SAW. mendapat risalah, seorang wanita, meskipun perutnya nampak besar sekali, bersama suaminya melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah. Wanita yang bernama Fatimah itu tiba-tiba merasakan perutnya sakit. Ketika rasa sakitnya bertambah, segera diberitahukan kepada suaminya, Abu Thalib. Mendengar keluhan itu, Abu Thalib segera menggandeng isterinya masuk ke dalam Ka'bah. Menurut perkiraan, isterinya kelelahan. Diharapkan dengan beristirahat sebentar rasa sakitnya akan berkurang.

Kenyataannya tidak seperti yang diperkirakan Abu Thalib. Perut Fatimah bertambah sakit. Fatimah yang sudah berkali-kali melahirkan, telah mengerti isyarat apa yang sedang dialaminya. Sebagai seorang wanita yang saleh, ia tidak mengungkapkan isyarat itu kepada suaminya. Dia khawatir jika suaminya tahu, tentu maksud suaminya menyelesaikan tawaf akan terganggu. Ia tidak ingin berbuat demikian. Suaminya tetap dianjurkan menyelesaikan tawafnya.

Dalam keheningan dan keredupan Baitullah, rumah Allah, Fatimah merasa perutnya bertambah mulas. Di saat itu yang teringat di hati Fatimah ialah bahwa rasa sakitnya akan berkurang dengan datangnya pertolongan Allah. Fatimah segera mengangkat tangan, yang sebelumnya memegang perut untuk menahan rasa sakit dan dengan suara sayu tersengal-sengal berucap: "Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku bernaung kepada-Mu, kepada utusan-utusan-Mu dan Kitab-kitab yang datang dari-Mu. Aku percaya kepada ucapan datukku Ibrahim, pendiri rumah ini. Maka demi pendiri rumah ini dan demi jabang bayi yang ada di dalam perutku, aku mohon kepada-Mu untuk dimudahkan kelahirannya".

Beberapa saat seusai mengucapkan doa, lahirlah bayi dengan selamat. Bayi ini adalah putra ke-empat dari Fatimah. Sepanjang ingatan orang, inilah untuk pertama kali seorang wanita melahirkan puteranya dalam Ka'bah. Kelahiran bayi ini hanya disaksikan oleh ayah bundanya saja. Kejadian yang luar biasa ini segera tersiar ke berbagai penjuru. Berbondong-bondonglah mereka, terutama keluarga Bani Hasyim, datang ke Ka'bah, guna menyaksikan bayi yang baru lahir. Di antara yang datang ialah Nabi Muhammad SAW. Bayi ini saudara misan beliau sendiri. Beliau menggendong bayi tersebut, kemudian bersama ayah-ibunya pulang ke rumah Abu Thalib.

Meskipun bayi ini merupakan putera keempat, namun oleh ayahnya dipandang sebagai kurnia besar yang dilimpahkan Allah SWT kepada keluarganya. Kegembiraan Abu Thalib ini tercermin dari perintah yang segera dikeluarkan untuk menyelenggarakan walimah. Guna memeriahkan acara itu, beberapa ekor ternak dipotong. Pemuka-pemuka Quraisy diundang mengunjungi pesta itu sebagai penghormatan atas kelahiran puteranya. Pada kesempatan itulah Abu Thalib mengumumkan pemberian nama "Ali" kepada puteranya yang baru lahir. "Ali" berarti "luhur". Pada tahun 10 kenabian, Nabi mengalami tahun kesedihan – meninggalnya paman dan istri beliau -. Fatimah tampil sebagai pengganti keduanya, yang mendukung dan membantu dakwah Nabi.

Fatimah membela Rasulullah SAW dari tekanan kaum Kafir Quraisy, hingga akhirnya berhasil hijrah ke Madinah.  Ia pun turut berhijrah ke kota suci kedua bagi umat Muslim itu bersama kaum Muslimin lainnya. Bagi Fatimah binti Asad, Madinah merupakan kota yang penuh dengan kebahagiaan serta kemuliaan, seperti halnya Makkah.

Dedikasi dan pengorbanan Fatimah dalam membela agama Allah SWT sungguh sangat tak ternilai. Ia sungguh wanita yang agung. Rasulullah SAW begitu menghormati sosok Fatimah, bibi sekaligus besannya. Dalam sebuah hadis yang dikeluarkan Ibnu Abi Ashim dari Abdullah bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Abu Thalib dikisahkan bawah ketika Fatimah wafat, Rasulullah SAW mengkafaninya dengan bajunya.

Pada waktu Fatimah binti Asad wafat, kesedihan nampak dialami Nabi Saw. Nabi Muhammad SAW bersembahyang untuk jenazahnya. Di saat pemakamannya, Nabi yang menyiapkan segala sesuatunya. Nabi Muhammad SAW turun sendiri ke liang lahat dan setelah jenazahnya diselimuti dengan baju beliau, beliau berbaring sejenak di samping jenazahnya.

Mengetahui hal itu, beberapa orang sahabat sambil keheran-heranan bertanya: "Ya Rasul Allah, kami tidak pernah melihat Anda berbuat seperti itu terhadap orang lain!” "Tak seorangpun sesudah Abu Thalib yang kupatuhi selain dia", jawab Nabi Muhammad SAW dengan segera. "Kuselimutkan bajuku, agar kepadanya diberi pakaian indah di dalam sorga, Aku berbaring di sampingnya, agar ia terhindar dari jepitan dan tekanan kubur."

Fatimah Az-Zahra binti Muhammad
Fatimah az Zahra terlahir dari pasangan manusia paripurna, Nabi Muhammad SAW dan Khadijah, pada tahun kelima setelah kenabian. Besar harapan keduanya kelak menjadi anak yang baik. Salah satu dari manusia suci dan diberkahi yang paling utama dan yang memiliki kebesaran dan kesempurnaan yaitu Az-Zahra. Kedua orangtua ini pun dipenuhi perasaan bahagia dan gembira. Sebagai jawaban atas umat yang kala itu sangat membenci jika mempunyai anak perempuan, lahirnya Fatimah Az-Zahra telah membawa perubahan perilaku suku Quraisy terhadap anak perempuan mereka.

Kenapa Fatimah dinamakan Az-Zahra, dikarenakan Allah SWT telah menciptakannya dari cahaya keagungan-Nya. Ketika bersinar, ia menerangi langit  dan bumi dengan cahayanya menutup pandangan para malaikat, hingga para malaikat bertanya dan Allah menjawabnya “Ini adalah cahaya dari cahaya-Ku. Aku tempatkan ia dilangit-Ku dan aku ciptakan ia dari keagungan-Ku. Aku keluarkan dari sulbi seorang Nabi besar diantara para Nabi. Dari cahaya itu Aku keluarkan para Imam yang membimbing manusia sampai akhir zaman. Dan Aku jadikan mereka Khalifah-khalifah-Ku di bumi setelah terputusnya wahyu”. Pada masa kanak – kanak telah mengalami beberapa kejadian dan peristiwa pahit, sehingga meninggalkan pengaruh pada jiwanya yang halus.

Setelah kematian Ibunda Khadijah, Fatimah menggantikan posisinya sebagai pelayan ayahnya, tanggung jawab di dalam rumah jatuh kepada Fatimah, hingga Nabi menikah dengan Saudah, guna meringankan tugas Fatimah. Tetapi sulit bagi seorang yatim yang kehilangan Ibundanya melihat orang lain menggantikan posisi Ibunya, setiap kali bertambah perasaan kehilangan itu bertambah pula rasa cinta Nabi kepadanya. Setelah Nabi hijrah ke Madinah, Nabi memerintahkan Imam Ali untuk menggantikannya di Mekkah dari tempat tidur Nabi, mengembalikan barang – barang orang yang dititipkan hingga memimpin hijrah gelombang kedua setelahnya.

Imam Ali membeli seekor unta untuk kendaraan bagi wanita yang akan berangkat hijrah bersama-sama. Rombongan hijrah yang menyusul perjalanan Rasulullah terdiri dari keluarga Bani Hasyim dan dipimpin sendiri oleh Imam Ali. Di dalam rombongan Imam Ali ini termasuk Sitti Fatimah r.a., Fatimah binti Asad bin Hasyim (ibu Imam Ali), Fatimah binti Zubair bin Abdul Mutthalib dan Fatimah binti Hamzah bin Abdul Mutthalib. Aiman dan Abu Waqid Al Laitsiy ikut bergabung dalam rombongan.

Rombongan Imam Ali dalam perjalanan ini tidak dilakukan secara diam-diam. Ketika itu Abu Waqid berjalan cepat-cepat menuntun unta yang dikendarai para wanita, agar jangan terkejar oleh orang-orang kafir Quraisy. Mengetahui hal itu, Imam Ali segera memperingatkan Abu Waqid supaya berjalan perlahan-lahan, karena semua penumpangnya wanita. Rombongan berjalan melewati padang pasir di bawah sengatan terik matahari. Imam Ali, sebagai pemimpin rombongan, berangkat dengan semangat yang tinggi. Beliau siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal dilakukan orang-orang kafir Quraisy terhadap rombongan. Ia bertekad hendak mematahkan moril dan kecongkakan mereka.

Pertumpahan Darah Pertama Kali

Mendengar rombongan Imam Ali berangkat, orang-orang Quraisy sangat penasaran. Lebih-lebih karena rombongan Imam Ali berani meninggalkan Makkah secara terang-terangan di siang hari. Orang-orang Quraisy menganggap bahwa keberanian Imam Ali yang semacam itu sebagai tantangan dan hinaan terhadap mereka. Orang-orang Quraisy cepat-cepat mengirim delapan orang anggota pasukan berkuda untuk mengejar Imam Ali dan rombongan.

Pasukan itu ditugaskan menangkapnya hidup-hidup atau mati. Delapan orang Quraisy tiba di sebuah tempat bernama Dhajnan, berhasil mendekati rombongan Imam Ali. Setelah Imam Ali mengetahui datangnya pasukan berkuda Quraisy, beliau segera memerintahkan dua orang lelaki anggota rombongan agar menjauhkan unta dan menambatnya. Ia sendiri kemudian menghampiri para wanita guna membantu menurunkan mereka dari punggung unta. Kemudian ia maju seorang diri menghadapi gerombolan Quraisy dengan pedang terhunus. Rupanya Imam Ali hendak berbicara dengan mereka. Ia tahu benar bagaimana cara menundukkan mereka.

Mereka lalu berusaha mendekati unta dan rombongan wanita. Imam Ali menghalangi usaha mereka. Jenah, seorang hamba sahaya milik Harb bin Umayyah, mencoba hendak memukul Imam Ali dari atas kuda. Akan tetapi belum sempat ayunan pedangnya sampai, hantaman pedang Imam Ali telah mendahului tiba di atas bahunya. Tubuhnya terbelah menjadi dua, sehingga pedang Imam Ali sampai menancap pada punggung kuda. Serangan-balas secepat kilat itu sangat menggetarkan teman-teman Jenah. Sambil menggeretakkan gigi, Imam Ali berkata: "Lepaskan orang-orang yang hendak berangkat berjuang! Aku tidak akan kembali dan aku tidak akan menyembah selain Allah Yang Maha Kuasa!" Gerombolan Quraisy mundur. Mereka meminta kepada Imam Ali untuk menyarungkan kembali pedangnya. Imam Ali dengan tegas menjawab: "Aku hendak berangkat menyusul saudaraku, putera pamanku, Rasulullah. Siapa yang ingin kurobek-robek dagingnya dan kutumpahkan darahnya, cobalah maju mendekati aku!"
Tanpa memberi jawaban lagi gerombolan Quraisy itu segera meninggalkan tempat. Kejadian ini mencerminkan konfrontasi bersenjata yang bakal datang antara kaum muslimin melawan kafir Quraisy.

Di Dhajnan, rombongan Imam Ali beristirahat semalam. Ketika itu tiba pula Ummu Aiman (ibu Aiman). Ia menyusul anaknya yang telah berangkat lebih dahulu bersama Imam Ali. Bersama Ummu Aiman turut pula sejumlah orang muslimin yang berangkat hijrah. Keesokan harinya rombongan Imam Ali beserta rombongan Ummu Aiman melanjutkan perjalanan.

Waktu itu Rasulullah bersama Abu Bakar sudah tiba dekat kota Madinah. Untuk beberapa waktu, beliau tinggal di Quba. Beliau menantikan kedatangan rombongan Imam Ali Kepada Abu Bakar, Rasulullah memberitahukan bahwa beliau tidak akan memasuki kota Madinah, sebelum putera pamannya dan puterinya sendiri datang. Selama dalam perjalanan itu Imam Ali tidak berkendaraan sama sekali. Ia berjalan kaki-telanjang menempuh jarak kurang lebih 450 km. Setelah itu tibalah semua anggota rombongan dengan selamat di Quba. Betapa gembiranya Rasulullah menyambut kedatangan orang-orang yang disayangi dan orang – orang muslim lain dalam hijrah gelombang kedua itu dengan selamat.

Sesampai di Madinah Nabi menikah dengan Ummu Salamah binti Umayyah dan menyerahkan segala urusan putrinya kepadanya. Ummu Salamah pun mendidik dan membimbingnya. Setelah dewasa Fatimah Az-Zahra melebihi wanita-wanita lain di masanya dalam hal kemuliaan dan keturunan dari Nabi dan Khadijah. Akhlaknya mewarisi Nabi dengan kecantikan dari Khadijah, serta jauh dari kemusyrikan. Sehingga banyak pembesar – pembesar Quraisy yang telah melamarnya ketika menginjak remaja, tetapi Rasulullah tidak pernah menyambut lamaran tersebut. Rasulullah sendiri telah menahan Fatimah dengan orang lain untuk memberikannya kepada Imam Ali, bahkan kepada dua sahabatnya Abu Bakar dan Umar bin Khattab, karena Rasulullah telah diperintahkan oleh Allah SWT melalui Jibril untuk menikahkan dua cahaya.

Pernikahan Imam Ali dan Fatimah Az-Zahra

Ketika dewasa timbullah cinta didada Imam Ali, setelah didorong oleh Abu Bakar, memberanikan diri untuk menemui Rasulullah, dan menyatakan ingin menjadikan salah satu wanita penghuni surga Fatimah Az-Zahra, dengan mas kawin 400 dirham dari hasil menjual baju besi pemberian Nabi. Saat itu hanya tiga harta yang dimiliki Imam Ali, pedang, unta dan baju besi-. Rasul pun menerimanya dengan bersabda “ Hai Ali, sebelum aku menikahkan kamu dibumi, Allah SWT telah menikahkan kalian berdua dilangit”. Pernikahan ini bagi Imam Ali adalah sama ketika kedua orang tua beliau menikah, dikarenakan pasangan ini berasal dari kakek yang sama yaitu Abdul Mutholib, seperti halnya orangtua Imam Ali dari kakek yang sama yaitu Hasyim.

Pernikahan mereka dilaksanakan setelah Perang Badr, sekitar tahun kedua Hijriah, bulan Zulhijjah. Acara pernikahan berlangsung sederhana dan khidmat, saat itu usia ‘Ali diperkirakan 18 tahun, ada pula pendapat yang menyatakan usia ‘Ali saat itu 25 tahun, sementara usia Fatimah diperkirakan 14 atau 16 tahun. Nabi meletakkan tangan Fatimah di atas tangan ‘Ali dan bersabda, “Wahai ‘Ali, Fatimah adalah istri yang baik untukmu.” Kepada Fatimah, Nabi bersabda, “Wahai Fatimah, ‘Ali adalah suami yang baik untukmu.”

Pernikahan keduanya merupakan gambaran pernikahan yang Islami. Suami adalah seorang keturunan yang mulia , juga sebagai Panglima perang Rasulullah, sedangkan istri adalah wanita dengan kesempurnaan akhlak, kedudukan mulia dan keturunan manusia agung. Salah satu dari empat wanita surge, perkawinan yang sederhana tidak ada beban dan pemborosan. Rumah tangga ini adalah rumah tangga yang telah disucikan sehingga maksum dan mempunyai sifat-sifat akhlak yang utama dan sempurna, dikarenakan dari rumah tangga inilah kelak akan lahir keturunan – keturunan yang menjadi Imam. Dikarenakan keduanya pula berada dalam satu universitas wahyu.

Fatimah hidup dalam pribadi Muslim terbesar kedua setelah ayahandanya, panglima perang, pembantu dan penasihat khusus Rasul. Beliau senantiasa memberikan semangat kepada Imam Ali dan membantunya dalam mempersiapkan diri dari menghadapi peperangan satu ke peperangan yang lain. Tidak pernah membuat suaminya marah walau satu hari, beliau tahu bahwa Allah SWT tidak akan menerima perbuatan seorang istri yang membuat marah suaminya sampai suami kembali ridha.

Rumah tangga ini dikaruniakan lima orang anak (Hasan –kelak menjadi Imam kedua-, Husain –Imam ketiga-, Zainab, Ummu Kultsum, Muhsin – meninggal saat keguguran-). Jadi kedua orangtua ini bertanggung jawab mengawasi anak-anak dengan teliti, mempersiapkan masa depan mereka dengan baik, dan menjaga fitrah mereka agar tak bercampur dengan noda,  karena Allah SWT telah mensucikan mereka lewat doa Nabi (Ahlul Bait: Ali, Fatimah, Hasan, Husain).

Setelah wafatnya Nabi, Fatimah bangkit untuk membela suaminya dan berdiri dengan tegar di belakang pintu ketika pengepungan dirumahnya untuk menciduk Imam Ali, tidak melarikan diri setelah rumahnya diserang, Fatimah bertahan dengan segala kekuatan untuk membela Imam Ali. Jika menang maka akan dapat mencegah mereka mengambil kekhalifan dari yang berhak, dan jika mereka memukul, mematahkan rusuk dan membuatnya keguguran maka terbukalah kesalahan mereka dan seluruh alam akan mengerti secara nyata dampak dari penyimpangan.

 Ketika beberapa bulan setelah Rasulullah wafat, Fatimah mengalami penurunan kesehatan yang sangat drastis karena adanya konflik yang tajam tentang Khalifah sepeninggal Rasulullah. Ia dirawat oleh Asma’ dengan anak anak berada disisinya. Imam Ali menyebutkan saat – saat terakhir Fatimah sebelum meninggal, Fatimah berkata “ Wahai anak pamanku, engkau tidak pernah menemukanku berdusta dan berkhianat”. Imam Ali pun menjawab “Aku berlindung kepada Allah SWT, engkau lebih mengetahui tentang Allah SWT, lebih baik, lebih bertakwa, lebih takut kepada-Nya. Demi Allah SWT rasa ini seperti apa yang saya rasakan ketika aku kehilangan anak pamanku (Rasulullah). Sungguh kewafatanmu adalah kehilangan yang sangat besar.”

Fatimah wafat beberapa bulan setelah meninggalnya Rasulullah. Pada usia 27 tahun meninggalkan keempat anak mereka yang masih kecil. Sebelum kematiannya, Fatimah sempat berwasiat kepada Imam Ali untuk merahasiakan tempat pemakamannya kelak kepada siapapun. Beliau tinggalkan Hasan yang masih 7 tahun, Husain yang masih 6 tahun, Zainab yang masih 5 tahun, dan Ummi Kultsum yang baru saja memasuki usia 3 tahun. Yang paling berat dalam perpisahan ini, ia harus meninggalkan suami termulia Ali As, pelindung ayahnya dalam jihad dan teman hidupnya di segala medan.

Inilah kedua wanita hebat yang bernama Fatimah yang menjadi cahaya dalam kehidupan Imam Ali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar