Label

Kamis, 11 Desember 2014

Green Theory dalam Hubungan Internasional


Oleh Zetira Kenang Kania

Selama ini Hubungan Internasional hanya membahas tentang isu-isu stabilitas keamanan dan perdamaian dari segi perang antar negara atau militer. Namun, sebenarnya Hubungan Internasional tidak hanya dlihat dari konflik antar negara, keamanan, dan perdamian saja. Satu aspek yang sangat berpengaruh di kehidupan kita namun seringkali kita lupakan, yaitu : lingkungan.

Tanpa kita sadari, isu lingkungan di dunia ini memiliki pengaruh yang besar terhadap konsep-konsep dan diskursus utama dalam Hubungan Internasional dan politik global, serta merombak pemahaman tradisional mengenai keamanan, perkembangan, dan keadilan internasional dengan diskursus-diskursus keamanan ekologi, perkembangan dunia berkelanjutan, dan keadilan bagi lingkungan (Eckersley 2007, p.2). Manusia yang menjadi aktor utama dalam degradasi lingkungan yang selama ini terjadi tidak dapat lagi disanggah. Aktivitas-aktivitas manusia terbukti telah menyebabkan krisis ekologi yang ditandai dengan peningkatan ruang lingkup, skala, dan tingkat keseriusan masalah-masalah lingkungan di dunia dan mulai menjadi isu yang santer dibicarakan pada pertengahan abad ke-20.

Pertumbuhan ekonomi yang meningkat dengan sangat cepat, perkembangan teknologi-teknologi yang lebih mutakhir, serta populasi yang meningkat di periode ini menyebabkan meningkatnya konsumsi energi dan sumber daya alam, meningkatnya polusi dan limbah, serta pengikisian biodiversitas yang ada di bumi. Masalah-masalah lingkungan yang terjadi ini jauh lebih kompleks daripada masalah-masalah militer karena mencakup skala waktu yang lebih lama, jangkauan aktor-aktor yang lebih luas, serta memerlukan proses negosiasi dan kerjasama di antara jangkauan para pengambil keputusan yang lebih luas (Eckersley 2007, p.3).

Para teoris green politic mengkritik abad pencerahan Barat serta era industrialisasi sebagai permulaan dari ketidakpedulian manusia terhadap lingkungan serta titik pncak dari keegoisan manusia tanpa mempedulikan nilai-nilai ekologi, sosial, serta psikologi. Selain itu mereka juga berasumsi bahwa manusia memang merupakan akor utama evolusi, pusat dari nilai dan makna yang terkandung di dunia, dan satu-satunya yang memiliki moral. Sehingga nasib lingkungan ini bergantung pada kesadaran manusia untuk beraksi menyelamatkan lingkungan dunia ini.

Perspektif ekosentris juga berpendapat bahwa pemerintahan yang mengatur lingkungan harus melindungi semua aspek yang ada di lingkungan dunia, tidak hanya melindungi kesehatan dan kebaikan eksistensi komunitas manusia dan generasi muda semata, tapi juga mengatur jaringan-jaringan lebih luas yang ada dalam kehidupan serta mendirikan komunitas ekologi pada setiap level. Mungkin bagi kita para manusia, lingkungan hanyalah masalah sederhana atau pelengkap dalam kehidupan kita. Namun, sebenarnya masalah lingkungan ini lebih kompleks dari yang kita tahu. Bahkan lebih kompleks daripada yang seharusnya kita tahu (Eckersley 2007, p.4).

Kemunculan green politic terbagi dalam dua gelombang. Gelombang pertama menyoroti irasionalitas ekologi terhadap institusi-institusi sosial, seperti : pasar dan negara. Dalam gelombang pertama ini, para teoris green politic telah memberikan penjelasan dan bayangan-bayangan tentang demokrasi yang mengakar serta komunitas berkelanjutan secara ekologi sebagai jalan alternatif. Kemudian, dalam gelombang green politic yang kedua, para teoris mulai merombak kembali beberapa pemikiran bahkan mulai mentransnasionaliskan ruang lingkup beberapa konsep politik dan institusi-institusi dengan isu lingkungan sebagai inti utama.

Hasil-hasil dari gelombang green politic kedua ini antara lain: Environmental justice, environmental rights, environmental democracy, environmental activism, environmental citizenship, dan green states. Nilai-nilai gelombang kedua green politic ini juga meningkatkan pendekatan nilai-nilai antara green politic dengan studi Hubungan Internasional. Terutama pada bagian hak asasi manusia, demokrasi kosmopolitan, masyarakat sipil transnasional, dan public transnasional.

Pada akhirnya, nilai-nilai tersebut memberikan sumbangsih dalam membantu pembentukan cabang normatif Hubungan Internasional mengenai green politic yang berkonsentrasi pada keadilan lingkungan global. Keadilan lingkungan global ini makin disorot setelah banyaknya ketidakadilan yang timbul yang melanda negara-negara dunia ketiga ketika lingkungan mereka rusak dan mereka harus berusaha untuk memulihkan lingkungan mereka, padahal posisi mereka bukanlah sebagai aktor utama dibalik kerusakan lingkungan tersebut, namun negara-negara maju lah yang berperan besar dalam kerusakan tersebut tetapi mereka cenderung tidak mau tahu dan tidak betanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi pada negara-negara berkembang tersebut (Eckersley, 2007).

Tujuan dari adanya isu keadilan lingkungan global ini antara lain : untuk mengurangi resiko ekologi dan untuk mencegah eksternalisasi dan penempatan yang tidak adil, melalui ruang dan waktu, terhadap negara-negara yang sedang berkembang. Negara-negara berkembang yang seringkali dirugikan akibat ulah-ulah negara maju yang mengeksploitasi sumber daya alam mereka sudah saatnya diberi perlindungan dan perlakuan yang adil. Hal ini juga sangat memerlukan kesadaran dari negara-negara maju bahwa lingkungan dunia ini merupakan lingkungan kita bersama dimana tiap negara memiliki tanggung jawab yang sama dan sesuai proporsinya dalam menangani masalah lingkungan ini (Eckersley, 2007).

Selama ini, neorealist dan neoliberalist serta perspektif-perspektif mainstream lainnya dalam Hubungan Internasional hanya menonjolkan satu sisi dalam Hubungan Internasional saja, namun disini teori hijau menawarkan berbagai solusi. Para ahli politik hijau ini berkonsentrasi pada bagaimana seharusnya struktur sosial berperan dalam mengembangkan inisiatif-inisiatif terhadap lingkungan dengan lebih efektif.

Selain itu, green politic mengkritik pendekatan rasionalis yang dipelopori oleh para toris kritis dan konstruktivis yang mengekspos pembatasan dalam kerangka analisis dan penjelasan mengenai kekuatan kaum positivis di Hubungan Internasional. Green theory ini juga selalu menonjolkan peran dari aktor-aktor non-state yang telah berperan banyak dalam hal membangun sebuah pemerintahan deteritorialisasi sehingga membantu menyadarkan dunia tentang pentingnya lingkungan (Eckersley, 2007). Namun, layaknya teori-teori lain yang eksis dalam Hubungan Internasional, selalu ada kritik-kritik yang meliputi perjalanan teori tersebut. Salah satunya adalah kritik dari kaum skeptic green theory. Yaitu jika isu lingkungan dijadikan sebagai isu utama dalam hubungan internasional, maka kemungkinan besar kasus-kasus “High Politic” akan terabaikan. Menurut mereka, isu-isu keamanan dan militer meiliki dimensi berbeda yang tidak bisa disatukan dengan isu-su lingkungan (Eckersley, 2007).

Sumber: Eckersley, Robyn, 2007. Green Theory, in; Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith (eds.) International Relations Theories, Oxford University Press, pp. 247-265. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar