Label

Kamis, 04 Desember 2014

Said, Orientalisme –dan Pikiran “Rasis-Politis” Barat-Anglo Saxon


Edward Said — seorang kritikus kebudayaan yang menghabiskan waktunya di bidang analisis literatur dan dekonstruksi teks-teks kunci tradisi orientalis — pada mulanya tertarik untuk menganalisa cara “Barat” menciptakan dan menggambarkan istilah “Orient” terhadap “Timur”. Ia memiliki background pendidikan Amerika dan pemikiran-pemikirannya sangat dipengaruhi oleh Gramsci, Foucault, dan Franz Fanon. Kontribusi penting yang telah ia berikan bagi dunia, adalah bagaimana studi literatur memiliki hubungan yang kuat dengan keadaan real dunia. Karya-karya besar yang telah ia buat, antara lain: Orientalism, Culture and Imperialism, Covering Islam. Orientalism merupakan salah satu karya Said yang dipandang sebagai tonggak awal Kajian Poskolonial yang berisi deskripsi-analisis bagaimana “Barat” membentuk dan memelihara fantasi akan “Timur”.

Dengan Orientalism, Said mengembangkan Kajian Poskolonial di institusi “Barat”. Orientalism merupakan karya representasi yang mampu masuk ke dalam dunia filsafat, politik, agama, dan literatur. Permasalahan utama yang ingin diangkat oleh Orientalism adalah bagaimana kolonialisme Eropa menghasilkan sebuah pengetahuan, sebuah “kebenaran”, dan kepercayaan mengenai identitas sang penjajah (colonizer) dan yang dijajah (colonized).

Digambarkan oleh Said (2001), orang Amerika tidak akan mempunyai perasaan yang sama dalam melihat dunia “Timur” dibandingkan orang “Timur” sendiri. Orang-orang Prancis dan Inggris misalnya, telah mempunyai tradisi lama bagaimana melihat “Timur” yang Said sebut sebagai orientalisme — suatu cara memahami Dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Eropa. Bagi Eropa, “Timur” merupakan tempat koloni-koloni Eropa yang terkaya dan tertua. “Timur” telah membantu Eropa mendefinisikan “Barat” sebagai imaji, idea, kepribadian dan pengalaman yang berlawanan dengan “Timur”.[1]

Terdapat tiga unsur yang membangun istilah orientalisme, yakni: orient, oriental, dan orientalism. Orient cenderung menunjuk pada sebuah sistem frame representasi oleh kekuatan politis yang membawa “Timur” ke dalam pembelajaran dan kesadaran “Barat” (Occident). Orient diciptakan untuk kepentingan “Barat”, dan dibentuk oleh dan dalam hubungannya dengan “Barat”. Orient sering dimaknai sebagai yang inferior dan asing atau liyan (Other) bagi “Barat”.

Oriental adalah orang yang di-orient-kan, yang termasuk dan tergabung di dalam sistem orient tersebut. Ia direpresentasikan sebagai individu yang lemah, dan apabila kuat ia dianggap berbahaya bagi “Barat”. Bagi oriental berjenis kelamin perempuan digambarkan sebagai individu yang mudah didominasi dan berpawakan exotic, telanjang dada, dan “sumber eksploitasi”. Oriental merupakan satu citra yang kemudian digeneralisasikan atau distereotipekan terhadap setiap individu orient di dalam suatu batas kawasan dan budaya tertentu. Sedangkan istilah orientalism dimaksudkan sebagai sebuah bentuk tulisan, cara pandang, pendidikan yang telah diorientalisasikan, dan sebuah bentuk dominasi bias kepentingan, ideologi, dan perspektif. Orientalism yang laten mengambil bentuk ketidaksadaran mengenai yang orient.

Di dalam buku Orientalism, “Barat” memiliki stereotipe yang cenderung menghina oriental. Oriental — Said memberikan contoh orang-orang Arab dan dalam konteks yang lebih luas bangsa-bangsa “Timur” — ditunjukkan sebagai bangsa yang naif, tidak mempunyai energi dan inisiatif, dan menyukai konflik. Oriental tidak dapat bejalan di atas jalan karena kebodohan mereka untuk mengerti kepintaran Eropa. Oriental disebutkan sebagai kaum pembohong, malas dan tidak dapat dipercaya, dan dalam setiap hal selalu menentang petunjuk dan keningratan ras Anglo-Saxon. [2]

Buku Orientalism disusun oleh Said dalam rangka mengkritik oyektivitas “Barat” dalam melihat “Timur”. Kritik Said tersebut ia tekankan pada karya-karya sastra “Barat” yang cenderung ditulis untuk memojokkan “Timur” dengan stereotype-nya yang bernada merendahkan. Subyektivitas cakrawala berpikir para penulis “Barat” inilah yang kemudian membentuk cara melihat bangsa “Barat” terhadap “Timur”. Hal inilah yang kemudian ingin Said runtuhkan. Selain itu, cara melihat “Barat” terhadap “Timur” yang cenderung memojokkan tersebut Said lihat mempunyai bahaya lain, yaitu: pembenaran-pembenaran diri bagi orang-orang “Barat” untuk memperadabkan “Timur”.

Penolakan Said terhadap orientalisme menunjukkan penolakannya terhadap generalisasi biologis manusia, konstruksi budaya, dan chauvinisme rasial dan agama. Bagi Said, hal ini adalah sebuah bentuk penolakan kepada keserakahan sebagai faktor utama motivasi pencapaian intelektual. Tujuan utama Said adalah untuk menghapus garis pemisah antara “Barat” dan yang liyan atau “Timur”, dan hal ini pulalah yang menjadi semangat terbentunya Kajian Poskolonial.

Kajian Poskolonial dan Kritik Sastra

Bentuk yang digunakan sebagai alternatif dari Commonwealth Literature adalah Post-Colonial Literature. Hal ini terjadi sepanjang tahun 1970-an sampai dengan tahun 1980-an. Literatur Poskolonial ini menekankan pada pentingnya perubahan suasana dan kondisi setelah terjadinya kolonialisme Inggris. Literatur ini juga menghindari masalah-masalah yang diakibatkan oleh dampak Commonwealth yang selama ini telah dikritik sebagai pembunuh kebudayaan negara-negara persemakmuran Inggris tersebut. [3]

Tren studi literatur sebelum munculnya kritik Kajian Poskolonial cenderung memakai teks-teks kanon Eropa. Namun kemudian hal tersebut dikritik oleh Kajian Poskolonial sebagai bentuk penjajahan baru kepada budaya masyarakat terjajah yang sebelumnya telah mengalami penjajahan secara fisik, sebagai contoh: Baghavad Gita. Baghavad Gita adalah salah satu karya literatur bernilai tinggi di India, namun oleh penjajah Inggris trend pendidikan literatur India dibelokkan orientasinya kepada karya literatur kanon Inggris, seperti karya-karya Shakespeare dan lain sebagainya. Hal inilah yang kemudian menjadi isu penting dalam Kajian Poskolonial, dimana India mengalami penjajahan kebudayaan dan penjajahan tersebut telah menciptakan jiwa-jiwa laten kaum terjajah, konkritnya: muncul cara pandang warga India bahwa mereka belum beradab apabila mereka masih mempelajari karya-karya klasik lokal India –dan ini contoh motif sangat politis Barat dan menyebarkan wacana mereka.

Karya sastra klasik yang telah dikanonkan oleh Eropa, menurut pendapat Mathew Arnold, merupakan bentuk high culture Eropa dibanding dengan karya sastra bangsa lain. Karya tersebut disebarkan dan diajarkan kepada bangsa-bangsa jajahan Eropa untuk membantu bangsa-bangsa terjajah tersebut agar dapat terbebas dari ketidakberadaban. Menurutnya, sastra adalah sarana untuk mendapatkan kesempurnaan dan keberadaban, sehingga wajib untuk dipelajari. Thomas Macauley memberikan karakteristik karya sastra sebagai berikut: bahasanya indah dengan isi yang berguna, dan karya satra memiliki selera dan corak bangsa Inggris dan pula berbahasa Inggris — oleh karena itu bangsa-bangsa jajahan diwajibkan diberikan pendidikan bahasa Inggris. Bagi Kajian Poskolonial, hal ini merupakan bentuk nyata imperialisme kultural.

Kajian Poskolonial dengan ini tidak dengan mudah dianggap sebagai studi kritik sastra. Apa yang Kajian tersebut usahakan bukan sekedar mengkritik dominasi sastra Inggris terhadap sastra lokal, namun Kajian Poskolonial juga merupakan bentuk perlawanan terhadapnya. Perlawanan Kajian Poskolonial tersebut berupa: pembuatan wacana sastra tandingan dan mengembangkan teknik menulis sehingga keterpakuan pada karya sastra Inggris dapat dihilangkan. Hal yang paling dihindari dan ditolak Kajian Poskolonial adalah pengkastaan kanon sastra oleh Inggris. Bahkan bangsa Inggris sendiri telah menaruh karya sastranya lebih tinggi dibanding karya sastra bangsa Eropa lainnya, apalagi Australia, Singapura, dan bangsa negara-negara Asia. Oleh karena itu, apa yang diperjuangkan Kajian Poskolonial adalah membongkar sentralisasi sastra dan memberikan otonomi atau emansipasi terhadap sastra yang terdipinggirkan.

Catatan

[1] Said, Edward W. 2001 (1984). Orientalisme. Terj. Asep Hikmat. Bandung: Pustaka, hlm. 1-2.
[2] Ibid, hlm. 49.
[3] Ashcroft, Bill, dkk. 1998. Key Concepts in Post-colonial Studies. New York: Routledge, hlm. 163-164.

Daftar Pustaka

Aijaz Ahmad. 1992. In Theory: Classes, Nations, Literatures, London: Verso.
Ashcroft, Bill, dkk. 1998. Key Concepts in Post-colonial Studies. New York: Routledge.
Said, Edward W. 2001 (1984). Orientalisme. Terj. Asep Hikmat. Bandung: Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar