Label

Selasa, 23 Desember 2014

Syahid Muthahhari –Ulama yang Filsuf dan Filsuf yang Ulama


As Syahid Murtadha Muthahhari adalah sedikit diantara kalangan ulama yang berjaya memadukan ciri-ciri keulamaan dan keintelektualan dalam satu kepribadian, di mana beliau bukan sekadar mendalami ilmu-ilmu Islam tradisional, namun juga turut fasih berbicara tentang mazhab-mazhab pemikiran Barat –utamanya tentang Bertrand Russell. Memang, ini satu kelebihan yang mengagumkan! Tidak banyak tokoh yang berjuang, tetapi dalam masa yang sama mampu menekuni berbagai disiplin ilmu, dan Muthahhari adalah salah seorang darinya. Dan, hampir sebahagian besar waktu hidupnya dihabiskan demi merealisasikan sebuah negara yang bercitrakan Islam.

Muthahhari, dilahirkan pada tanggal 2 Februari 1919 dari kelompok keluarga alim di daerah Khurasan. Ayahnya, Hujjatul Islam Muhammad Husain Muthahhari adalah seorang ulama yang dihormati lagi disegani oleh masyarakat setempat. Sejak menjadi siswa di Qum, Muthahhari sudah menunjukkan minatnya pada falsafah dan ilmu pengetahuan modern. Di Qum, Muthahhari menuntut ilmu di bawah bimbingan Ayatullah Boroujerdi dan Ayatullah Khomeini.

Dalam falsafah, beliau amat terpengaruh dengan pemikiran Allamah Husain Thabathaba’i. Muthahhari begitu tekun dan pantas menguasai ilmu-ilmu falsafah yang diajar di hauzah-hauzah ilmiah. Buku-Buku yang ditulis oleh William Durant, Sigmund Freud, Bertrand Russell, Albert Einstein, Erich Fromm dan para pemikir Barat yang lainnya telah ditelaahnya dengan serius sekali. Keseriusan Muthahhari dalam menelaah pemikiran Barat bukan karena malu-malu untuk menonjolkan pemikiran Islam, sebaliknya, Muthahhari mencoba untuk melakukan studi perbandingan antara pemikiran Islam dan Barat. Kita bisa membacanya, banyak terminologi Islam telah dikupas olehnya dalam buku-bukunya, sehingga memberikan kesempatan bagi upaya Islam dalam menawarkan pemikiran alternatif.

Muthahhari, pada usia relatif yang masih muda, sudah mampu menurunkan ilmu logika, falsafah dan fiqh di Fakultas Teologi, Universitas Teheran. Dan, dalam waktu yang sama, beliau turut menjabat sebagai Ketua Jurusan Falsafah. Disamping itu, beliau tidak canggung untuk menyampaikan kuliah dalam bidang yang berbeda seperti kuliah al-Ushul, kuliah Ilmu Kalam dan kuliah al-Irfan.

Dengan samudera pengetahuan ilmu ini, Muthahhari langsung tidak berminat untuk memilih hidup damai, meskipun beliau ada pilihan untuk itu. Baginya, badai (perjuangan) lebih bermakna daripada damai. Justru, beliau menterjemahkan gagasan-gagasannya tentang arti kehidupan melalui gerak kerja aktivis dan menulis buku-buku. Keaktifan beliau telah berjaya membentuk satu kombinasi ampuh bersama-sama dengan Ayatullah Khomeini dalam kerangka menentang rezim Shah Pahlevi yang zalim dan menindas. karena itu, Muthahhari telah ditahan pada 1963 akibat implikasi langsung dari peristiwa Khordad.

Manakala Ayatullah Khomeini diasingkan ke Turki, Muthahhari telah diamanahkan untuk memangku kepemimpinan gerakan rakyat Iran serta memobilisasikan para ulama dalam melanjutkan semangat perjuangan Islam yang dirintis oleh Ayatullah Khomeini. Langkah-langkah politiknya jelas sekali sangat tersusun dan mengugat. Muthahhari (bersama-sama Ali Shari’ati dan Husain Beheshti) turut mendirikan Husainiyyah-e-Irsyad yang menjadi pangkalan kebangkitan intelektual Islam sebelum revolusi meletus. Disamping itu, Muthahhari yang juga Imam Masjid al-Jawad, dan secara konsisten menggalang dukungan rakyat Iran bagi menyuarakan simpati pada perjuangan Palestina.

Pasca kemenangan Revolusi Iran 1979, Muthahhari telah dilantik menjadi anggota Dewan Revolusi. Karakteristik yang menonjol pada diri Muthahhari telah menjadikannya sebagai seorang ulama yang dinamik, bersandarkan penguasaan ilmu-ilmu Islam, modern serta terlibat dalam dunia aktivisme.

Perjuangan Ulama Berkacamata Tebal

Diantara ratusan buku yang dia tulis kemudian, orang juga tahu dia telah mendalami pemikiran filosof sekelas Aristoteles, menamatkan berjilid-jilid Story of Civilization karya Will Durant, menelaah karya-karya Sigmund Freud, Bertrand Russel, dan pemikir-pemikir Barat lainnya. Dia berkacamata tebal dengan serban putih melilit di kepala, bisa membedah marxisme, menguliti materialisme, dan menunjukkan Islam sebagai sebuah pandangan dunia yang sesuai fitrah manusia.

Dia juga seorang orator yang hebat. Husainiyah Irsyad adalah tempat yang menyaksikan dedikasi Muthahhari terhadap pencerahan dan pendidikan. Pada hampir semua ceramahnya, dia selalu menunjukkan antusiasme yang tinggi dan optimisme yang tak kalah tingginya. Intonasi suaranya naik turun, seperti ingin membelai sukma yang terdalam.

Dia tetap membaktikan hidupnya di jalur itu hingga ajalnya tiba. Pada 2 Mei 1979, sekelompok orang bersenjata menunggunya di luar pintu rumah. Dia tewas diberondong. Peluru memecah mata dan menembus belakang telinganya. Dia tewas dan Iran berkabung sehari setelahnya. “saya nyatakan,” kata Ruhullah Khomeini dalam sebuah pidato, “Hari Kamis, 3 Mei 1979, sebagai hari berkabung nasional untuk menghormati pribadi yang siap mengorbankan diri, yang berjihad di jalan Islam dan untuk kepentingan bangsa.”

Kita mungkin sulit mengikuti jejak Muthahhari, namun, dari buku-bukunya, kita bisa belajar konsep takwa-buah jihad akbar yang paling sering disalahpahami banyak orang. Dia membawa takwa ke makna sejatinya, sebagai penjagaan, dan memperkenalkan kedalaman dan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam berbagai ceramah dan bukunya, Muthahhari banyak bercerita tentang apa takwa itu dan bagaimana dia bisa menancap dalam jiwa; bagaimana dia bisa menjadi seperti pohon yang menjulang ke langit dengan akar-akarnya, menghunjam di bumi dan memberikan buah setiap musimnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar