Label

Senin, 13 Januari 2014

Dua Objek Pengetahuan




Oleh Mahdi Hairi Yazdi

Pengertian Obyek Esensial

Apabila dalam pemahaman Aristotelian tentang intensionalitas[1] terdapat pembenaran untuk membedakan dua jenis perbuatan manusia, yaitu ‘perbuatan imanen’ dan ‘perbuatan transitif’, maka tampaknya tak ada yang menghambat kita untuk mengambil garis yang sama dengan membedakan dua jenis obyek yang sebanding, yaitu “obyek esensial atau obyek imanen”[2] dan “obyek aksidental atau obyek transitif”[3].

Distingsi ini tidak dilandaskan pada penyamaan dan sewenang-wenang atas penjabaran Aristotelian yang termasyhur mengenai dua perbuatan dan aksi yang berbeda tersebut dengan distingsi sementara kami antara dua sistem obyektivitas. Kami memahami secara prima facie, bahwa identifikasi yang tak layak seperti ini tidak bisa diterima, karena suatu perbuatan dan tindakan, yang imanen maupun yang transitif, tidak pernah dapat diaplikasikan dan diterapkan kepada obyek-obyek tindakan tersebut. Walaupun demikian, adalah niscaya bahwa suatu tindakan imanen seperti halnya pengetahuan da makrifat kita, bisa dianalisis secara sangat logis menjadi subyek yang mengetahui (‘âlim) dan obyek yang diketahui (ma’lum). Dengan demikian, anatomi obyek yang diketahui pada gilirannya bisa dianalisis menjadi obyek internal dan obyek eksternal. Manakala analisis kita sampai pada tahap ini, tanpa keraguan sedikitpun, kita boleh merasa berhak untuk mencirikan dengan sah obyek internal sebagai obyek imanen dan obyek eksternal sebagai obyek transitif.

Beralih pada analisis konsep pengetahuan itu sendiri, di antara berbagai distingsi yang sejauh ini telah dibuat berhubungan dengan konsep tentang pengetahuan manusia, distingsi dan perbedaan antara “subyek” dan “obyek” adalah  yang paling luas diterima. Dengan adanya anteseden ini, salah satu konsekuensi logisnya adalah perkembangan distingsi lain yang telah dilakukan oleh beberapa filosof antara “obyek subyektif” dan “obyek transitif”[4] atau dalam terminologi kita, antara “obyek imanen” dan “obyek transitif”[5]. Pembahasan ini akan menaruh perhatian pada distingsi yang disebutkan belakangan. Mereka yang tak akrab dengan spekulasi filosofis, mungkin akan cenderung mengesampingkan pembedaan seperti ini, namun perenungan tentang konsep pengetahuan itu sendiri menegaskan bahwa harus ada suatu obyek imanen, yang berbeda dari obyek transitif.

Dalam analisis tentang teori pengetahuan, istilah “subyek” berarti pikiran yang melaksanakan tindak pengetahuan melalui mengetahui sesuatu, sebagaimana halnya istilah “obyek” mengacu kepada benda atau proposisi yang diketahui oleh subyek tersebut, Akan tetapi, karena dalam sebuah proposisi yang diketahui selalu ada sesuatu yang terlibat, baik yang khusus maupun yang universal, maka konsekuensinya adalah benar jika dikatakan bahwa obyek pengetahuan selamanya adalah apa yang kita sebut hal yang diketahui. Dinyatakan juga bahwa karena hubungan yang disebut “mengetahui” terbentuk oleh pikiran sebagai subyek yang diasosiasikan dengan sesuatu sebagai obyek, yang kedua-duanya terjalin bersama menjadi suatu kompleks yang utuh, maka subyek dan obyek juga mesti disebut bagian-bagian dari kesatuan pengetahuan. Istilah “subyek” dan “obyek” adalah dua esensialitas dari kesatuan pengetahuan.

Karena pada esensinya bersifat intensional, maka tidak mengetahui senantiasa dimotivasi, ditentukan, dan dibentuk oleh obyeknya. Karenanya obyek memiliki saham, bersama subyek, dalam penyusunan dan penentuan tindak mengetahui[6], namun berbeda dari subyek karena memiliki peran yang unik dalam memotivasi tindak mengetahui. Karenanya, sementara ciri utama obyek adalah memotivasi tindakan subyek, sebaliknya subyek tak bisa mengambil bagian dalam prosedur memotivasi tindakan intensionalnya sendiri, dengan alasan sederhana bahwa orang yang selalu hadir bagi dirinya sendiri tidak mungkin menjadi obyek bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, pikiran dirancang untuk berfungsi sebagai kausa efisien bagi tindak intensional mengetahui sesuatu, dan obyek berfungsi sebagai kausa final untuk bagi pelaksanaan tindakan itu. Kausa efisien (al-’illah al-fa’ili) tidak dianggap mutlak identik dengan kausa final (al-’illah al-ghayi) dalam sistem kausalitas Aristotelian. Dengan demikian, suatu subyek tidak mungkin identik dengan obyeknya.

Dengan meletakkan hubungan subyek-obyek dalam konteks sistem kausalitas Aristotelian, lebih lanjut bisa disimpulkan adanya distingsi khas lain antara subyek yang mengetahui sebagai kausa efisien dan sesuatu yang diketahui sebagai kausa final bagi tindak pengetahuan. Sementara kausa efisien didefinisikan sebagai agen yang bertindak, artinya yang melahirkan tindak mengetahui,[7] maka kausa final berfungsi dengan dua cara berbeda tergantung pada eksistensi eksternal dan internalnya.[8] Eksistensi eksternal obyek, karena secara prima facie independen terhadap dan tidak hadir dalam pikiran, hanya bisa memotivasi kegiatan intelektual subyek dari arah luar dan tidak bisa diidentikkan dengannya. Akan tetapi, eksistensi mental obyek yang sama, karena hadir di alam pikiran, merupakan kausa bagi kausalitas subyek. Artinya, subyek yang mengetahui sebagai kausa efisien pada gilirannya disebabkan dan digerakkan oleh bayangan mental dan pikiran obyek dalam pelaksanaan tindak pengetahuan. Karena gagasan tentang obyeklah yang pertama kali mengefektifkan kausalitas potensial subyek dengan membawanya dari keadaan potensialitas (bil quwwah) ke keadaan actual (bil fi’il). Seandainya gagasan tentang obyek tidak terdapat dalam gagasan subyek yang mengetahui, niscaya subyek potensial tersebut tidak akan pernah sampai pada tindak mengetahui sama sekali. Oleh karena itu, dalam urutan kausalitas ini gagasan tentang obyek muncul lebih dahulu, dan dipandang sebagai kausa prima (sebab pertama) atau salah satu kausa dari sistem kausalitas. Dan realitas obyektif dari hal yang sama merupakan kausa terakhir dan final dari tindak imanen pengetahuan. Dalam pengertian ini tidaklah mengherankan bahwa satu hal pada waktu yang bersamaan menjadi sebab pertama dan terakhir apabila dipandang dari perspektif yang berbeda. Sementara representasi mental realitas tersebut merupakan kausa pertama dan utama dari mengetahui, realitas obyektifnya merupakan kausa terakhir dan final.

Makna Ganda Obyektivitas

Sesuai dengan analisis di atas, kita bisa dengan sah menyatakan arti ganda obyektivitas yang mencirikan satu entitas tunggal sebagai obyek imanen maupun obyek transitif. Seperti telah dijelaskan, obyek imanen datang terlebih dahulu, dan menjadi representasi mental dari hal yang diketahui. Ini adalah semata-mata gagasan tentang obyek yang dimanifestasikan oleh subyek dalam subyek itu sendiri. Representasi mental ini merangsang kekuatan intelektual subyek dengan mendorongnya kepada tindak mengetahui. Dari sudut pandang ini, gagasan tentang obyek mempunyai prioritas terhadap semua sebab lain yang dipersoalkan, karena ia menghasilkan efek sebelum sebab-sebab lain bisa melakukannya. Di lain pihak, obyek transitif datang belakangan karena ia adalah realitas prospektif dari obyek ideal tersebut. Karena obyek transitif tidak hadir dalam pikiran pelaku, dengan sendirinya ia terletak di luar kerangka pikirannya, dan juga di luar eksistensi intelektual obyek imanen.[9]

Semua ini terjadi apabila orang menafsirkan tindak epistemik mengetahui yang intensional sebagai urutan mental peristiwa-peristiwa alamiah yang analog dengan serangkaian peristiwa eksternal yang didominasi oleh hukum sebab-akibat (kausalitas). Akan tetapi, jika suatu tindak mengetahui terjadi, terdapat suatu kesatuan kompleks dimana mengetahui merupakan hubungan yang menyatukan, dan subyek dan obyek disusun dalam tertib tertentu sehingga arti tindak mengetahui mengatur keseluruhan sebagai suatu bentuk penyatu. Dalam struktur ini kedua istilah tersebut-subyek dan obyek- berfungsi sebagai batu-bata, bukan sebagai semen. Semen ini adalah hubungan yang menyatukan itu sendiri yaitu mengetahui.

Teori pengetahuan berlipat tiga ini, yakni subyek sebagai yang tahu (‘âlim), obyek sebagai hal yang diketahui (ma’lum), dan hubungan antara keduanya sebagai mengetahui (‘ilm), menjelaskan seluruh batang tubuh tindak pengetahuan dan intensional. Seperti halnya seluruh hubungan yang kompleks dicirikan oleh keadaannya yang imanen dan intensional, maka demikian juga masing-masing dan setiap bagian darinya mempunyai ciri imanensi dan intensionalitas. Jadi, dari sudut pandang ini dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa mesti ada obyek imanen yang esensial terhadap bangunan pengetahuan kita sendiri, lepas dari obyek yang secara independen terdapat di luar pikiran kita dan tak memiliki hubungan identik dengan pengetahuan kita.

Cunningham[10] mengelaborasi lebih lanjut jenis obyek ini, yakni obyek imanen, dan menunjukkan bagaimana pikiran-pikiran terikat bersama dan tak pernah terpisah dalam status fenomena mereka, “…acuan obyektif penilaian berarti bahwa, dalam tindak mengetahui, pikiran dan obyek terikat bersama dan tidak terpisah serta bisa dibedakan dengan jelas. Jadi, pengetahuan terutama merupakan hubungan antara pikiran dengan obyek-obyek, dan hanya eksis jika hubungan itu ada. Jika tidak ada obyek, maka tidak ada pula penilaian, jika tidak ada penilaian, maka tidak ada pula pengetahuan.”[11]

Ducasse[12] telah mengembangkan gagasan ini dengan cukup akurat dan jelas dengan menempatkannya dalam pengertian dualistik obyektivitas. Jadi, “Akan tetapi, di sini terkesan adanya komentar bahwa jika Cunningham mengatakan bahwa apapun yang diketahui oleh pikiran adalah obyek, maka kita terpaksa membedakan antara apa yang mungkin sekali bisa disebut “obyek-obyek subyektif” (yakni keadaan-keadaan pikiran, semisal perasaan-perasaan kita yang dinamakan sakit atau mual, atau konsepsi kita tentang Julius Caesar, atau tentang angka desimal ketujuh dari sebuah bilangan, dan sebagainya) dan “obyek-obyek obyektif” (semisal Julius Caesar itu sendiri, atau angka desimal ketujuh itu sendiri, dan sebagainya). Hubungan antara pikiran dengan “obyek-obyek subyektif” barangkali tidak merupakan masalah, tetapi hubungan pikiran dengan “obyek-obyek obyektif” bagaimanapun secara radikal merupakan hubungan yang berbeda dan merupakan pokok persoalan spesifik ketika membicarakan “acuan obyektif.”[13]

Pokok utama bahasan ini adalah bahwa istilah obyek dalam kaitannya dengan mengetahui harus dipahami dalam dua arti yang berbeda: arti yang pertama adalah “sesuatu yang dekat, imanen, dan identik dengan eksistensi subyek yang mengetahui”; yang kedua adalah “sesuatu yang transitif dan independen, yang eksistensinya terletak di luar, dan bersifat eksterior terhadap eksistensi subyek”. Pengertian pertama adalah pengertian yang telah disebut dengan cukup akurat oleh Ducasse sebagai “obyek subyektif” dan yang kedua sebagai “obyek obyektif”.

Distingsi antara obyek-obyek subyektif dengan obyek-obyek obyektif tidak hanya berfungsi untuk menunjukkan bagaimana kedua jenis obyek ini saling terkait, dan menjelaskan keterkaitan antara dua eksistensi eksternal dan internal. Di samping itu, distingsi ini memungkinkan kita memahami bahwa dalam pengetahuan kita tentang dunia eksternal selalu terdapat esensialitas yang tergabung dengan pengertian probabilitas dalam hubungan antara kedua jenis obyek ini. Esensialitas tersebut adalah esensialitas obyek-obyek subyektif, dan dipahami melalui definisi gagasan pengetahuan itu sendiri. Probabilitas tersebut adalah probabilitas obyek obyektif. Keduanya mesti bergabung untuk membentuk pengetahuan kita mengenai obyek-obyek eksternal. Probabilitas di sini berarti bahwa obyek-obyek obyektif tersebut mungkin benar-benar berkorespondensi (muthâbaqah) dengan obyek-obyek subyektif atau tidak. Akan tetapi, probablititas menjadi ciri pengetahuan fenomenal kita.[14]

Obyektivitas Ganda sebagai Ciri Khas Pengetahuan Fenomenal (Konsepsional)

Akan tetapi, pengertian ganda obyektivitas adalah sifat esensial pengetahuan fenomenal (ilmu hushuli) kita, atau dalam terminologi Kantian, “pengetahuan diskursif”, baik yang bersifat konseptual, empiris, ataupun transendental. Apa yang secara imanen dimiliki oleh pikiran –representasi- adalah obyek subyektif yang wajib, seperti persepsi kita tentang Julius Caesar atau konsepsi mengenai angka desimal ketujuh dari sebuah bilangan, akan tetapi tidak dengan sendirinya merupakan obyek obyektif seperti Julius Caesar atau angka desimal ketujuh itu sendiri. Dalam hal persepsi indera, jika saya mempersepsi sebuah obyek fisik, misalnya bentuk sebuah pesawat televisi, maka ada dua entitas obyektif yang harus dibedakan satu sama lain. Di satu pihak ada obyek eksternal yang eksis secara mandiri di luar pikiran saya, yang realitasnya termasuk ke dalam realitas dunia eksternal, dan tak punya kaitan dan hubungan apapun dengan pencerapan dan persepsi saya. Inilah obyek obyektif yang merupakan realitas fisik dari bentuk pesawat televisi itu sendiri yang terlepas dari persepsi saya tentangnya.

Di lain pihak, berkorespondensi dengan ini, ada pula sebuah obyek yang hadir di dalam dan identik dengan eksistensi kekuatan persepsi saya. Ini adalah obyek subyektif yang membentuk esensi tindak mempersepsi saya yang imanen, yang realitasnya termasuk dalam realitas persepsi saya. Akan tetapi, hubungan antara subyek yang mengetahui atau mempersepsi dengan obyek obyektif bersifat aksidental, sedang hubungannya dengan obyek subyektif bersifat esensial.[15] Hubungan yang pertama bersifat aksidental karena ia merupakan obyek eksternal dimana sebagai eksistensi mandiri yang terletak di luar kuasa mental (pikiran) saya dan bersifat ektserior terhadapnya. Hanya soal koaksidentalitas eksistensi pikiran kitalah, bersama dengan pengetahuannya serta eksistensi obyek obyektif, yang membawa mereka ke dalam persatuan tindak mengetahui. Tetapi, dalam definisi pengetahuan itu sendiri, obyek subyektif itu bersifat esensial, sebab sepanjang menyangkut hubungannya dengan subyek yang mengetahui, adalah mustahil aksi semacam ini terjadi tanpa memiliki, atau bahkan dengan kemungkinan memiliki, suatu obyek subyektif. Tapi tidak ada absurditas dalam terjadinya aksi semacam ini sementara tidak ada obyek obyektif di dunia eksternal. Dengan demikian, sangatlah bermakna untuk mengatakan bahwa obyek subyektif adalah bagian yang memang sudah ada dalam inti gagasan mengetahui sendiri, tetapi obyek obyektif bersifat aksidental, terletak di luar konsepsi pengetahuan dalam dunia ekstramental dan bertindak sebagai kausa final dalam kasus faktual pengetahuan kita tentang obyek eksternal.

Konformitas dalam Pengertian Korespondensi

Semua ini tidak ada salahnya, sepanjang menyangkut pernyataan-pernyataan pendahuluan bagi teori prospektif kita tentang pengetahuan “korespondensi”. Sekalipun demikian, kita mesti menegaskan bahwa konsepsi Aristoteles mengenai “kausalitas” sebagaimana yang ditafsirkan di sini tidaklah dengan sendirinya menegakkan teori “konformitas” lain sebagai lawan dari teori “korespondensi”, sebuah konformitas dalam pengertian keserupaan sesuatu sebagai obyek eksternal dengan sesuatu sebagai entitas mental yang kemudian tampak oleh kita. Dengan mengambil suatu obyek eksternal sebagai realitas kausa final yang independen, dan bayangan mentalnya sebagai obyek internal, maka tidak ada kemungkinan keserupaan satu dengan yang lain antara kedua jenis eksistensi yang sama sekali berbeda ini. Oleh karena itu, bagaimanapun kuatnya gagasan kausalitas Aristotelian ini harus ditafsirkan, ia tidak akan pernah bisa membawa kita kepada pengertian konformitas, yang terakhir dalam semacam identitas antara sesuatu dalam dirinya sendiri dengan sesuatu sebagaimana yang kita ketahui. Karenanya, makna korespondensi mau tidak mau harus dimengerti sebagai penafian gagasan “identitas”[16], dan dengan demikian gagasan konformitas, lepas dari kepada apa ia mungkin diatributkan, hanya bisa dimengerti sebagai sesuatu yang lebih dekat dengan korespondensi[17] daripada dengan identitas.

Oleh karena itu, kami tidak menentang titik fokus tesis terkenal Aristotelian[18] mengenai identitas antara pemahaman dengan hal yang dipahami: idem est intellectus et intellectum, akal dan apa yang dipahami adalah identik.[19] Sebaliknya, kami benar-benar ingin menafsirkannya dengan cara tertentu sehingga ia bisa bertahan terhadap kritik Kant yang dahsyat terhadap gagasan konformitas dalam pengertian identitas. Dalam hal ini, Kant mengatakan, “Kalau begitu, apabila dengan pengandaian bahwa pengetahuan empiris kita “sesuai” dengan obyek-obyek “dalam dirinya sendiri”, maka kita temukan bahwa keadaan tanpa syarat itu tidak mungkin terjadi tanpa kontradiksi. Ketika, di lain pihak kita mengandaikan bahwa representasi kita tentang sesuatu sebagaimana yang disuguhkan kepada kita, tidak sesuai dengan keadaan mereka sebagaimana adanya dalam dirinya sendiri, tetapi merupakan obyek-obyek sebagai penampakan-penampakan yang sesuai dengan mode representasi kita, maka kontradiksi tersebut akan lenyap …[20]

Tampak jelas bagi saya bahwa seluruh bobot argumen Kantian ini terbebankan pada pendapat bahwa seandainya sesuatu dalam dirinya sendiri sesuai atau identik dengan sesuatu sebagaimana yang disuguhkan pada kita, maka akan muncul kontradiksi yang nyata. Dinyatakan dengan ringkas, apabila obyek-obyek yang transitif, independen, dan eksternal, dalam kasus pengetahuan, secara eksistensial identik dengan obyek imanen yang sepenuhnya tergantung pada pikiran kita, maka ini adalah kontradiksi yang pelik. Satu-satunya jawaban bagi kontradiksi ini nampaknya adalah : pertama, konformitas antara obyek eksternal dengan obyek internal hendaknya tidak dipahami sebagai identitas eksistensial, melainkan sebagai hubungan korespondensi antara obyek imanen dengan obyek transitif; kedua, tesis Aristotelian tentang identitas, sangat mungkin sekali membutuhkan pengertian identitas eksistensial yang kuat tentang tindak pemahaman dengan obyek imanen yang dipahami secara esensial, bahkan dengan obyek transitif yang dipahami hanya secara aksidental.

Dengan melihat persoalan dalam totalitasnya, sejauh ini kita telah mencapai kesimpulan bahwa bahkan dalam pengetahuan kita yang biasa, yang kita sebut pengetahuan fenomenal, tak bisa dihindarkan adanya dua pengertian tentang obyektivitas: yang pertama adalah obyek imanen, dan yang kedua adalah obyek transitif. Di lain pihak, dalam konsepsi kita tentang ilmu hudhuri hanya ada satu pengertian obyektivitas, yakni obyek imanen.

[1]. Mengenai wacananya tentang “intensionalias “di Pontifical Institute Toronto pada tahun 1975-76, Prof. A.C. Pegis, ketika menafsirkan filsafat pengetahuan  Aristotelian, membedakan dua jenis perbuatan manusia: ‘tindakan imanen’ dan ‘tindakan transitif’. Ilustrasi yang diberikannya untuk yang pertama adalah pengetahuan manusia yang hadir di dalam pikiran subyek yang mengetahui; dan untuk yang kedua adalah tindakan yang benar-benar melalui pikiran dan menjadi stabil secara mandiri, di antara obyek-obyek fisik eksternal di dunia eksternal seperti membangun rumah, menulis buku, dan lain-lain. Atas dasar perbedaan ini tampaknya bisa diterima untuk menurunkan dua jenis obyek yang menyusun dan menentukan tindak pengetahuan kita. Kedua jenis obyek ini adalah obyek imanen dan obyek transitif pengetahuan kita.
[2] . Obyek imanen, obyek subyektif, atau obyek esensial (ma’lum bi adz-dzat) adalah obyek yang berhubungan langsung dengan subyek yang mengetahui (‘âlim) dan menyatu dengannya. Obyek ini berada di alam pikiran kita.
[3] . Obyek transitif, obyek obyektif, atau obyek aksidental (malum bi al-aradh) adalah obyek yang tidak berkaitan langsung dengan subyek yang mengetahui dan tidak menyatu dengannya. Obyek ini bersifat mandiri dan independent yang berada di alam eksternal.
[4] . C.J. Ducasse,Truth, Knowledge and Causation, hal. 94-95.
[5] . St. Thomas, The Commentary on Aristotle’s De Anima II, IV, hal. 303-305.
[6] . Berkenaan dengan kausa efisien, Aristoteles mengatakan: “Karena tidak perlu untuk menambahkan kualifikasi ini: ketika tak ada sesuatu yang eksternal yang menghalanginya; karena agen tersebut memiliki potensi sejauh ia merupakan potensi untuk bertindak. (Metaphysics of Aristotle, (1047b31-1048a24), vol. 2, hal. 670).
[7] . St. Thomas, Commentary on the Metaphysics of Aristotle, vol. 2, hal. 1648-80)
[8]. Op.cit. Tentang persoalan perbedaan antara kausa efisien dan kausa final, St. Thomas menafsirkan Aristoteles dengan cara begini: …kausa seperti itu (kausa efisien) diselidiki sebagai kausa bagi proses penciptaan (generation) dan pemusnahan (corruption). Akan tetapi, kausa yang lain (kausa final) diselidiki tidak semata-mata sebagai kausa bagi proses “penciptaan dan pemusnahan” (kaun wa fasad), tetapi juga kausa untuk mengada (being) … Dan selama tujuan itu menggerakkan agen melalui niatnya ke arah itu, ia juga menjadi kausa bagi penciptaan dan pemusnahan. Dan selama hal itu diarahkan kepada tujuannya melalui bentuk-bentunya, ia juga merupakan kausa untuk mengada (Vol. 2, 1,17: C.hal. 1648-80).
[9] . Shadr Al-Din Syirazi, Al-Asfar, jilid pertama, bagian 3, hal. 112.
[10] . G.W. Cunningham, The Problem of Philosophy, hal.97.
[11] . Op. cit., hal. 102-103.
[12] . C. J. Ducasse, Trut, Knowledge and Causation, hal. 63.
[13] . Op. cit., hal. 93-5.
[14] . Distingsi ini juga bisa menegaskan pokok masalah lain dengan menjelaskan perbedaan antara masalah sains dan masalah logika. Pembuktian eksperimental ilmiah bergantung sepenuhnya pada kenyataan bahwa sains mencoba lebih jauh untuk memperoleh korespondensi yang handal antara obyek-obyak subyektif dengan obyek-obyek obyektif, sementara logika pada hakikatnya tidak terlibat dalam implementasi pembuktian seperti itu.
[15] . Syirazi, Al-Asfar, jilid 3, bab 2, hal. 466-70.
[16] . Yakni apa yang tergambar dalam mental dan pikiran adalah benar-benar sebagaimana obyek eksternalnya sendiri.
[17] . Yang tergambar di alam pikiran kita mempunyai kesesuaian dan keserupaan dengan obyek eksternanya.
[18] .  De Anima karya Aristoteles: Pengetahuan spekulatif adalah sama seperti apa yang bisa diketahui dengan cara ini (III, IV, 724-7, hal. 421)
[19] .  St. Thomas, The Commentary on Aristotle’s De Anima: Jadi pemahaman dan apa yang dipahami adalah satu hal yang sama, asalkan yang disebut belakangan betul-betul dipahami; dan hal yang sama berlaku pada penginderaan obyek dan subyek. (III Iv, 724).
[20] . Kant’s Critique of Pure Reason, terj. N. K. Smith, A-302, B-421.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar