Label

Selasa, 03 Juni 2014

Pintu Ilmu dan Washi-nya Rasulullah


Ibnu Abil Hadid dalam Syarah Nahjul Balaghah tentang keutamaan, kesempurnaan, dan keluasan ilmu Imam Ali bin Abi Thalib (sa) membahas dengan pembahasan yang padat dan patut disebutkan di sini. Dalam menjelaskan ilmu, Abil Hadid menuliskannya demikian: ”Ali bin Abi Thalib adalah sumber dan mata air ilmu. Semua ilmu berujung kepadanya dan dia adalah penghulu ulama.” Salah satu ilmunya yang paling mulia adalah ilmu Ilahi yang bersumber dari ucapan Imam Ali (sa). Mazhab Mu’tazilah mengambil ilmunya dari Washil bin Atha’ dan dia adalah murid Abu Hasyim, dan Abu Hasyim adalah murid Muhammad bin Hanafi, dan Muhammad mengambil ilmunya dari ayahnya yang bernama Ali bin Abi Thalib. Mazhab Asy’ariyah dinisbatkan kepada Ismail bin Abi Baysar Asy’ari murid Abu Ali Jubai. Nama terakhir merupakan salah seorang pemuka Mu’tazilah. Maka, Asy’ariyah akhirnya juga berujung kepada Ali bin Abi Thalib. Adapun penisbatan ilmu Ilahi Mazhab Imamiyah dan Mazhab Zaidiyah kepada Ali bin Abi Thalib adalah suatu perkara yang jelas.

Dalam ilmu fikih, Ali merupakan sumber dan mata air. Semua ahli fikih adalah murid beliau dan menggunakan fikihnya. Para sahabat Abu Hanifah, seperti Yusuf, Muhammad, dan orang-orang lainnya dalam fikih adalah murid Abu Hanifah. Syafi’i juga belajar fikih dari Muhammad bin Hasan. Maka, fikih Syafi’i, pada akhirnya, juga berujung kepada Abu Hanifah. Abu Hanifah dalam fikih juga belajar dari Ja’far bin Muhammad sementara ilmu Imam Ja’far Ash-Shadiq berasal dari ayahnya yang melalui jalur ini berujung kepada Imam Ali bin Abi Thalib (sa). Malik bin Anas dalam ilmunya adalah murid Rabiah ar-Ra’yu sedangkan Rabiah adalah murid Akramah. Akramah sendiri adalah murid Abdullah bin Abbas sementara Ibnu Abbas adalah murid Ali bin Abi Thalib. Adapun marja’iyah fikih Imam Ali (sa) bagi umat Syiah adalah suatu perkara yang jelas.

Umar bin Khattab dan Abdullah bin Abbas adalah di antara para ahli fikih yang belajar dari ilmu Ali. Ibnu Abbas adalah murid Imam Ali tiada yang meragukan dan tidak lagi memerlukan saksi. Dalam kaitan dengan Umar, semua mengetahui bahwa dalam menyelesaikan problema dan kesulitan, di banyak kesempatan, ia merujuk kepada Ali. Dalam kaitan ini, Umar berkata, “Seandainya tidak ada Ali, Umar pasti celaka.” Ia juga berkata, “Aku tidak akan dapat tenang jika tidak ada Abul Hasan (Ali).” Ia juga berkata: “Tidak seorang pun memberikan fatwa di masjid sementara Ali berada di situ.” Maka, adalah jelas fikih berujung kepada Imam Ali (sa). Ammah dan Khassah mengutip dari Rasulullah saw yang berkata, “Aqdhakum Ali,” sementara qadha adalah fiqih. Oleh karena itulah, Imam Ali (sa) merupakan orang yang paling paham tentang fikih dibanding yang lain.

Begitu juga, masyarakat umum dan khusus meriwayatkan bahwa ketika mengutus Ali ke Yaman untuk mengadili suatu urusan, Nabi saw bersabda, “Ya Allah! Berilah petunjuk kepada hatinya dan tetapkanlah lisannya.” Imam Ali berkata, “Setelah itu dan berkat doa itu, aku tidak pernah ragu dalam memberikan keputusan dalam pengadilan.” Ilmu tafsir juga berujung kepada Imam Ali bin Abi Thalib (sa). Apabila kita membaca kitab-kitab tafsir, kita akan melihat bahwa sebagian besar persoalan dikutip dari beliau atau dari ibnu Abbas yang merupakan murid beliau. Dikatakan kepada ibnu Abbas, “Bagaimana perbandingan ilmumu dengan ilmu Ali (sa).” Dia berkata, “Perbandingannya adalah ibarat setetes air hujan di hadapan samudra.”

Ilmu tarekat, hakikat, dan irfan juga berujung kepada Ali bin Abi Thalib (sa). Ulama irfan di semua negeri Islam menisbatkan dirinya kepada Imam Ali (sa), seperti Syibli, Junaid, Abu Yazid Basthami, dan Abu Mahfudz yang dikenal dengan nama Karlhi. Mereka menjelaskan sebuah persoalan dengan sanad yang menisbatkan dirinya kepada Imam Ali bin Abi Thalib (sa). Ilmu nahwu (tata bahasa) dan bahasa Arab juga dinisbatkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib (sa). Imam Ali-lah yang mengajarkan kaidah-kaidah pokok dan universal ilmu ini kepada Abul Aswad Ad-Duwali. Di antaranya, beliau mengatakan kepada Abul Aswad mengenai kalam (kata) terbagi menjadi tiga: ism (kata benda), fi’il (kata kerja), dan huruf (preposisi). Beliau juga mengatakan mengenai Ism makrifah (definitive) atau nakirah (indefinitif). Selain itu, beliau mengatakan bahwa i’rab ada empat macam: rafa’, nashab, jar, dan jazam.

Ucapan Imam Ali (sa) ini bagaikan mukjizat karena mengklasifikasi ‘kata’ untuk manusia biasa adalah tidak mungkin. (Syarah Nahjul Balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 1, hlm 17-20). Tentang ketinggian ilmu Imam Ali (sa) secara detail, silahkan membaca kitab Nahjul Balaghah. Menurut kesaksian para cendekiawan, setelah Al-Quran, kitab ini adalah kitab ilmiah yang paling kaya. Kita juga dapat merujuk kepada ratusan, bahkan ribuan hadis yang ada di berbagai bidang, yang dikutip dari Imam Ali (sa) dan tercatat dalam kitab-kitab hadis. Telah masyhur di kalangan ulama, khususnya ulama sufi bahwa Rasulullah saw menerima ilmu makrifat Allah swt kemudian diajarkan secara khusus kepada Imam Ali (sa). Sepanjang masa risalahnya, secara berkesinambungan Rasulullah saw mengamalkan ilmu ini. Dengan bantuan Ilahi dan pengawasan Rasulullah saw, Ali menghafal semua ilmu ini. Lalu atas pesan dan perintah Rasulullah saw, beliau menuliskannya bagi para imam sesudahnya dari keturunannya. Dengan cara inilah, telah tersedia kitab-kitab sehingga Imam Ali (sa) dapat dikategorikan sebagai penyimpan ilmu nubuwah dan pintu ilmu Rasulullah saw.

Rasulullah saw berkali-kali memuji kedudukan ilmu Ali (sa). Di antaranya dalam sebuah hadis, beliau bersabda: ”Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki ilmu, ia harus memasukinya melalui pintunya.” (Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hlm 127). Para sahabat Rasulullah saw mengakui kedudukan ilmu Imam Ali (sa), khususnya dalam urusan pengadilan. Abu Hurairah mengutip dari Umar bin Khatab bahwa dalam urusan pengadilan, Ali adalah yang paling alim daripada yang lain. (Tabaqat Ibn Sa’ad, jilid 2, hlm 339). Sua’id bin Musabbab mengatakan: “Umar senantiasa berlindung kepada Allah dari problema jikalau Abul Hasan (Ali) tidak berada di sana.” (Tabaqat Ibn Sa’ad, jilid 2, hlm 339)

Al-Qomah mengutip dari Abdullah, ia berkata: “Di antara kami dikatakan, Ali bin Abi Thalib, dalam urusan pengadilan, adalah lebih berilmu daripada semua warga Madinah.” (Tabaqat Ibn Sa’ad, jilid 2, hlm 338). Aban bin Ayyas berkata: “Aku bertanya kepada Hasan Al-Bashri tentang Ali (sa). Ia mengatakan: “Apa yang harus aku katakan tentangnya? Dia paling dahulu dalam memeluk Islam. Keutamaan ilmu serta fikih dan pandangannya tiada tertutup bagi siapa pun. Ia selalu bekerjasama dengan Rasulullah saw. Keberanian, zuhud, serta pengenalannya dengan persoalan pengadilan dan kekeluargaannya dengan Rasulullah saw tak dapat dipungkiri.” (Syarah Nahjul Balagahah, Ibn Abil Hadid, jilid 4, hlm 96).

Ibnu Abbas mengatakan : “Ilmu Rasulullah saw berasal dari ilmu Allah dan ilmu Ali berasal dari ilmu Rasulullah saw; ilmuku dari ilmu Ali; ilmuku dan para sahabat lainnya dibanding dengan ilmu Ali adalah seperti setetes air di hadapan tujuh lautan.” (Yanabi’ Al-Mawaddah, hlm 80)

Ibnu Abbas mengatakan : “Setiap kali ada orang yang dapat dipercaya untuk mengutip fatwa adalah Ali (sa). Maka, kami tidak berani mendahuluinya.”(Thabaqat Ibn Sa’ad, jilid 2, hlm 348). Udzainah Abdi mengatakan: “Aku bertanya kepada Umar mengenai menunaikan Umrah. Dari mana aku mesti memulai ihram?” Ia menjawab: “Tanyalah kepada Ali!” (Dzahairul Uqba, hlm 79). Abu Hazim berkata: “Seorang lelaki datang menjumpai Muawiyah dan menanyakan suatu persoalan. Dalam jawabannya, Muawiyah berkata: “Tanyalah kepada Ali sebab dia adalah yang paling alim.” Lelaki itu berkata, “Jawabanmu lebih baik di sisiku daripada jawaban Ali.” Muawiyah berkata: “Engkau berkata buruk! Engkau menyatakan kebencian terhadap seseorang yang Rasulullah telah ajarkan kepadanya ilmunya, beliau bersabda: “Kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, kecuali sesudahku tidak akan ada nabi.” Umar pun dalam menyelesaikan persoalan merujuk kepada Ali.” (Dzahairul Uqba, hlm 79)

Imam Ali (sa) adalah ahli ibadah yang paling tinggi derajatnya di zamannya, baik dari segi kuantitas ataupun kualitas ibadah, yakni keikhlasan, perhatian atau kosentrasi hatinya, dan penyaksian terhadap Allah swt. Imam Ali bin Abi Thalib (sa) berkata: “Sekelompok manusia beribadah dengan harapan mendapatkan pahala dan ganjaran. Inilah ibadah para pedagang. Sekelompok lainnnya beribadah karena takut kepada siksa. Inilah ibadah para budak. Sekelompok orang beribadah untuk bersyukur kepada Allah. Inilah ibadah orang-orang yang bebas.” (Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 14). Imam Ali (sa) juga berkata : “Ya Allah! Aku tidak menyembah-Mu karena takut terhadap siksa dan rakus terhadap pahala, melainkan karena melihat Engkau pantas disembah.” (Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 14).

Seseorang datang kepada Imam Ali bin Abi Thalib (sa) dan berkata : “Apakah engkau melihat Allah sehingga engkau menyembah-Nya?” Beliau berkata, “Celaka Engkau! Aku tidak akan menyembah Tuhan yang aku tidak lihat?” Orang itu bertanya, “Bagaimana engkau melihat-Nya?” Imam menjawab, “Mata kasar tidak dapat melihat Allah, melainkan mata hati yang melihat-Nya dengan dasar hakikat iman.” (Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 16). Qusyairi menulis : “Tatkala waktu shalat telah tiba, warna wajah Imam Ali bin Abi Thalib (sa) berubah dan tubuhnya bergetar. Imam ditanya, “Mengapa keadaan Anda berubah seperti ini?” Beliau berkata, “Tiba saat menunaikan amanah yang diberikan Allah terhadap langit, bumi, dan gunung dan semuanya menolak. Namun, manusia yang lemah menerimanya. Aku takut, apakah dapat menunaikan amanah ini atau tidak?” (Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 17)

Imam Ali Zainal Abidin (sa) membaca sebuah buku yang mencatat ibadah Imam Ali lantas beliau menaruh buku itu di atas meja dan berkata : “Siapakah yang mampu beribadah seperti Ali?” (Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 17). Ibn Abbas mengatakan: “Dua unta dihadiahkan kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah berkata kepada para sahabat, “Aku akan menghadiahkan salah satu unta ini kepada orang yang melaksanakan shalat dua rakaat dengan konsentrasi hati yang penuh sehingga selama dua rakaat itu, ia sama sekali tidak memikirkan urusan duniawi.” Dalam hal ini, tiada seorang pun yang sanggup kecuali Ali. Kemudian Rasulullah menghadiahkan kedua unta itu kepada Ali.” (Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 18). Habbah Arani berkata : “Suatu malam, aku dan Nauf tidur di halaman Darul Imarah. Di sini, kami menyaksikan Imam Ali (sa) seperti manusia yang dalam keadaan gundah dan gelisah. Ia meletakkan tangannya di dinding seraya membaca ayat, Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan seterusnya dengan diulang-ulangi dan berjalan seperti manusia gila. Imam berkata kepadaku, “Wahai Habbah! Apakah kamu tidur atau terjaga?” Aku menjawab, “Aku terjaga. Kalau Anda berbuat demikian, lalu apa yang harus kami lakukan?” Imam Ali mulai menangis dan berkata : “ Wahai Habbah! Allah lebih dekat kepada kita daripada urat leher. Tiada sesuatu pun yang membatasi kita dari Allah.”

Kemudian, beliau berkata kepada Nauf : “Barangsiapa yang meneteskan air mata lantaran takut kepada Allah maka dosa-dosanya akan diampuni. Wahai Nauf! Barangsiapa yang menangis karena takut kepada Allah dan cinta serta kebenciannya hanyalah karena Allah maka tiada seorang pun yang dapat mencapai kedudukannya. Wahai Nauf! Barangsiapa yang kecintaannya di jalan Allah maka tidak akan melebihkan kecintaan yang lain di atas kecintaannya itu dan barangsiapa yang kebenciannya di jalan Allah maka kebenciannya tidak berada di jalan kepentingan pribadi. Maka dengan cara inilah, hakikat keimanannya menjadi sempurna.” Kemudian beliau menasehati kedua orang itu dan di bagian akhir, beliau berkata: “Takutlah kepada Allah!” Kemudian ia bergerak dan berkata, “Ya Allah! Aku tidak tahu apakah Engkau berpaling dariku atau Engkau menyayangiku? Andai saja aku tahu, dalam kondisi lalai yang panjang dan sedikitnya syukur ini, bagaimana keadaannku!”

Habbah berkata: “Demi Tuhan! Beliau dalam kedaan seperti itu hingga terbit fajar.” (Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 22). Malam hari ketika berdiri di mihrab ibadah, Imam Ali memegang janggutnya dan seperti orang yang tersengat ular, ia berputar dan menangis tersedu-sedu seraya berkata, “Wahai Dunia! Menjauhlah dariku! Apakah engkau datang kepadaku? Bukan saatnya untukmu! Lihat! Tipulah selain aku! Aku tidak memerlukan kamu! Aku menceraikanmu tiga kali! Kehidupanmu pendek dan nilaimu sedikit sementara harapanku terhadapmu sedikit.” Muawiyah kepada Dhirar bin Dhamrah berkata: “Sifatilah Ali untukku!” Dhirar berkata, “Aku menyaksikan Ali di beberapa tempat dalam kegelapan berkata, “Oh, betapa sedikitnya bekal, jauhnya perjalanan, besarnya tujuan, dan sulitnya kedudukan.” (Bihârul Anwâr, jld 40, hlm 340).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar