Label

Sabtu, 02 Agustus 2014

Ali Akbar Ibn Husain, Sang Singa Padang Pasir


Di antara para pemuda keturunan Rasulullah SAW yang brilian adalah Ali bin Husain yang biasa disebut Ali Akbar, putra Imam Husain yang kedua. Pada peristiwa tragedi Karbala, Ali Akbar masih sangat muda. Wajahnya bercahaya. Caranya berbicara amat mempesona. Perilakunya luhur persis seperti ayah dan kakeknya. Pada Hari Asyura, Ali Akbar baru berusia delapan belas tahun. Ibunya seorang wanita terhormat bernama Laila. Laila adalah wanita keturunan Urwah bin Mas’ud Tsaqafi, salah seorang pendekar dari empat pendekar bangsa Arab yang paling berani pada masa pra-Islam. Imam Husain memberi nama Ali, nama ayah beliau, kepada semua putra beliau. Karena nama ketiga putra Imam Husain adalah Ali, maka masing-masingnya dipanggil dengan sebutan yang berbeda, seperti Ali Zainal Abidin (Ali yang pertama dan paling tua), Ali Akbar (Ali yang kedua), Ali Ashgar (Ali yang bungsu dan paling muda).

Kecerdasan, keberanian, kepribadian serta cirri-ciri fisik Ali Akbar sangat mirip dengan Imam Ali. Sedangkan cara Ali Akbar berjalan dan berbicara sangat mirip dengan kakek buyutnya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Menurut beberapa sumber, Ali Akbar adalah pemuda pertama Bani Hasyim yang maju menyerang pasukan Yazid. Dia menyerang dengan semangat jihad hingga syahid karena membela ayahnya, Imam Husain. Sebelum maju ke medan laga, Ali Akbar terlebih dahulu meminta izin kepada Imam Husain. Mendengar permintaan izin Ali Akbar, Imam Husain memandang sejenak ke arah ribuan pasukan Yazid dan kemudian kembali menatap pilu Ali Akbar, meyakinkan dirinya bahwa putranya harus berperang melawan ribuan pasukan itu seorang diri. Akhirnya Imam Husain  mengizinkan Ali Akbar untuk maju ke medan laga seorang diri.

Sebelum melepas putranya meraih syahadah, Imam Husain berkata “Putraku, Ali Akbar, ucapkan salam perpisahan kepada bibimu, ibumu dan saudara-saudara perempuanmu, kemudian pergilah dia menuju medan laga.” Ali Akbar pun masuk ke tenda menemui para wanita Ahlul Bait. Ada kesedihan di sana. Ada ratap pilu di sana. Ada salam perpisahan di sana. Para wanita memeluknya erat-erat. Seorang wanita putri Rasulullah berkata terisak-isak, “Aduhai kenangan Rasulullah SAW, kasihanilah keterasingan dan kehormatan kami. Kami tak akan mampu hidup tanpamu.” Namun, meski sedih merajam sukma dan haru mendendang irama kalbu, Ali Akbar tetap menjunjung kehormatan dirinya sebagai lelaki yang menyaksikan ayahnya dikepung ribuan serigala berwajah manusia.

Di hadapannya, pasukan musuh yang beringas siap untuk membunuh ayahnya, cucu kesayangan Rasulullah SAW. Bagaimana mungkin Ali Akbar muda yang kuat tega membiarkan ayahnya tersiksa. Ali Akbar tidak bisa membiarkan kehormatan Rasulullah SAW diinjak-injak. Setelah mengucapkan salam, Ali Akbar berangkat menyerang pasukan musuh. Hingga beberapa depa, Imam Husain mengantar kepergian Ali Akbar melawan musuh.

Kala itu, Imam Husain menengadah ke langit dan berdoa, “Ya Tuhanku, Jadilah saksi bahwa cara berjalan dan berbicara, wajah dan kepribadian orang yang maju ke medan perang saat ini menyerupai nabi-Mu. Jadi kami, Ahlul Bait, rindu untuk melihat Rasulullah SAW, kami selalu memandang Ali Akbar dan terobatilah kerinduan kami. Ya Tuhanku, hilangkanlah karunia duniawi atas para tentara itu dan jadikanlah mereka linglung dan mendapat bencana, sehingga mereka tidak dapat menguasai kami. Mereka telah mengundang kami untuk datang kemari, namun mereka juga memusuhi kami dan siap untuk membantai dan membunuh kami.”

Kemudian Imam Husain yang teraniaya di Karbala itu menyebut nama putra Sa’d dan berkata, “Semoga Allah memangkas keturunanmu dan semoga kamu tak pernah mendapat apa yang kamu inginkan. Semoga Allah memberi kekuatan kepada penguasa zalim yang menguasaimu ketika dia memenggal kepalamu saat kamu sedang tidur pulas. Karena kesyahidan pemuda elok ini, kamu telah memangkas keturunanku yang seharusnya lahir dari garis keturunannya beberapa orang anak. Betapa kamu sama sekali tak memandang hubunganku dengan kakekku (Rasulullah SAW).”

Di medan perang di gurun Nainawa itu, Ali Akbar bersyair dengan semangat jihad berapi-api, “Akulah Ali putra Husain yang kakeknya adalah Rasulullah SAW. Demi Allah, kami adalah yang berhak dan layak menjadi wakil pemimpin Allah. Demi Tuhan, keturunan-keturunan yang hina tak akan bisa menguasai kami. Aku akan berperang dengan kalian hingga tetes darah penghabisan. Sekalipun sebilah pedang ini patah, aku tetap akan berperang dengan tonggat hingga tonggat ini pun patah, hingga kalian tahu kekuatan pemuda Bani Hasyim!.”

Segera setelah itu, Ali Akbar menerjang barisan musuh. Para kurcaci kekuasaan illegal itu porak-poranda. Satu-persatu tubuh-tubuh yang telah kehilangan kehormatan itu tersungkur dari punggung kudanya. Tak ada yang dapat mengelak dari tetakan pedang putra Husain itu. Kemudian Ali Akbar kembali ke tempatnya semula sejenak dan kembali menghunuskan pedangnya. Setiap peleton pasukan musuh yang dihalaunya kacau balau. Mereka tak menyangka akan menerima serangan pemuda yang lihai menarikan pedang itu.

Setiap musuh yang diterjangnya, pasti tak akan selamat. Tersungkur dan tumbang. Seratus Dua Puluh nyawa penjahat dilayangkan olehnya. Serigala-serigala berwujud manusia itu lari tunggang langgang tak tentu arah, berteriak-teriak meminta pertolongan seperti serombongan serigala yang berhamburan dihalau singa padang pasir. Saat itulah tercermin lagi pribadi Ali bin Abi Thalib di laga Badar, Uhud dan Khandaq. Terlihat lagi kegigihan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ketika menjebol benteng Khaibar. Keringatnya bercucuran. Nafasnya tersengal-sengal. Terik matahari Karbala membuatnya tak kuasa menahan dahaga. Ali Akbar kembali ke tenda Imam Husain dan berkata, “Ayah, dahaga mencekik leherku. Jika setetes air membasahi rongga leherku, niscaya aku akan memenangkan pertempuran ini.”

Mendengar putranya berseru, mata Imam Husain sembab. Seperti Ali Akbar, beliau telah berhari-hari tak mendapatkan seteguk air pun di sahara gersang  Karbala yang ganas itu. Imam Husain memeluk putranya itu dan memasukkan lidah beliau ke mulut Ali Akbar. Ali Akbar dapat menghisap kelembaban suwarga. Ali Akbar berkata, “Ayah, lidahmu lebih kering dari lidahku!.” Ali Akbar kini kembali ke medan perang dalam kehausan yang mematikan. Pasukan musuh kali ini serentak mengepungnya dan menyerangnya dari segala penjuru. Serangan bertubi-tubi menghunjam dan menyambar tubuh Ali Akbar. Tebasan pedang-pedang laknat menorehkan luka di sekujur tubuhnya.

Namun, saat itu, ketika anak panah menancap tepat di dada dan perutnya, saat itu pula Ali Akbar membentur bumi. Berguling-guling bermandikan pasir panas Karbala. Ali Akbar pun syahid di medan juang. Menurut salah satu riwayat, Imam Husain mendekati Ali Akbar yang syahid tercincang-cincang tersebut. Pada saat itulah Imam Husain meletakkan kepala jasad Ali Akbar di pangkuannya dan menyuarakan pujian, “Putraku, engkau telah terpisah dengan dunia. Engkau telah terbebas dari duka dan kesedihan dunia, kini ayahmu seorang diri menanti kesyahidan. Wahai para pemuda, bawalah jenazah saudaramu ke perkemahan.” 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar