Label

Sabtu, 24 Januari 2015

Sastra dan Fisika


Oleh Sulaiman Djaya (Esais dan penyair)

“Jagat raya adalah suatu permainan yang anggun, indah, dan misterius”. Kata-kata itu bukan milik atau berasal dari saya, tapi milik dan berasal dari para fisikawan: Isaac Newton, Albert Einstein, Richard Feynman, dan Stephen Hawking. Sebuah ungkapan yang pada dasarnya bernuansa literer, dan memang ada rahim yang dimiliki bersama oleh fisika dan sastra, yaitu imajinasi, yang dengannya dan darinya kekaguman, pikiran, dan rasa ingin tahu alias kuriositas seorang fisikawan dan sastrawan memiliki “rumah” dan “kosmik” bagi kerja dan ikhtiar intelektual dan saintifik mereka.

Kekaguman dan rasa ingin tahu alias kuriositas itu sendiri dapat dikatakan sebagai sesuatu yang alami atau kodrati, sebagaimana yang dikatakan Carl Sagan: “Kita semua haus akan hal-hal yang menakjubkan. Hal itu tertanam sangat kuat di dalam hati manusia”.

Namun, karena bidang dan fokus yang tak sama antara para fisikawan dan para sastrawan, yaitu antara penyelidikan semesta dan minat kemanusiaan (sejarah dan kehidupan manusia), imajinasi itu pun melahirkan bayi-bayi yang berbeda. Para fisikawan menemukan dan menciptakan rumus dan teori ketika mereka berusaha “menyingkap” misteri semesta atau jagat raya, dan para sastrawan melahirkan prosa dan sajak ketika mereka “merenungi” dan menuliskan lanskap dan kosmik manusia dan kehidupannya, dirinya sendiri, sejarahnya, harapan-harapannya, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan cakrawala dan keseharian kita.

Setidak-tidaknya, sebuah puisi yang ditulis oleh Karl Jay Shapiro, yaitu Travelogue for Exiles, cukup menunjukkan kepada kita di mana alamat dan rumah para penyair dan (sastrawan pada umumnya):

Lihat dan ingatlah. Lihatlah langit
Lihatlah dalam-dalam ke udara bening,
Tanpa batas, ujung dari doa.
Bicaralah sekarang, bicaralah
Pada kubah suci: apa yang kaudengar?
Apa jawaban sang langit?
Langit sudah ada pemiliknya
Itu bukan rumahmu.

Hanya saja, yang barangkali saja hal ini tak disadari oleh penyairnya sendiri, puisi itu juga mencerminkan minat terselubung (semacam minat alam bawah sadar) dan refleksi yang sifatnya samar dan implisit untuk “menangkap”, memahami, atau menyelami semesta yang jauh dan tak terjangkau oleh si penyair.

“Kubah suci” dan “udara bening” dalam puisi itu adalah semesta yang ditatap dan dipandang oleh si penyair dari kejauhan di bumi, ketika si penyair itu sendiri, atau subjek lain yang menjadi narator puisi tersebut, tak memiliki rumah di bumi sebagai orang asing, namun pada saat bersamaan, ia juga tahu dan merasa bahwa dirinya tak mungkin tinggal di langit sana. Puisi itu, sengaja atau tanpa sengaja, telah mempertemukan sekaligus mengkontraskan ranah saintis dan ranah penyair. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar