Label

Kamis, 26 Februari 2015

Abu Dzar Sepeninggal Nabi Saw –Bagian Terakhir


Oleh Ali Syari’ati

Rabadzah, gurun yang panas berapi-api tanpa air atau pertanian di lintasan jalan jemaah haji, menjadi sepi dan sunyi. Di sana ia mendirikan kemahnya yang telah sobek dan memenuhi kebutuhannya dengan beberapa ekor kambing yang dimilikinya. Bulan-bulan berlalu. Kemiskinan makin menjadi-jadi, dan kelaparan semakin tegar. Satu demi satu kambingnya mati, dan dia serta keluarganya menghadapi maut dalam kesepian gurun pasir. Putrinya meninggal. Ia menanggungnya dengan sabar dan memandangnya sebagai pada jalan Allah. Sebentar kemudian, kelaparan menyerang putranya. Ia merasa bertanggungjawab. Ia pergi ke Madinah dan mencari uang tunjangannya, yang telah dihentikan oleh Utsman. Utsman tidak menjawabnya. Ia kembali dengan tangan hampa. Ia dengan tangannya sendiri menguburkan putranya itu.

Abu Dzar dan Ummu Dzar tinggal sendirian. Kemiskinan, lapar dan usia tua telah sangat melemahkan Abu Dzar. Pada suatu hari ia merasa bahwa kekuatannya telah berakhir. Lapar mengganggu dia. Ia berkata kepada Ummu Dzar, “Bangunlah. Barangkali di gurun ini kita akan mendapatkan beberapa lembar daun untuk sedikit menenangkan rasa lapar kita.” Wanita dan pria, sampai sangat jauh dari lingkungan kemah itu, mencari dan tidak mendapatkan apa-apa. Ketika mereka kembali, Abu Dzar telah kehabisan tenaganya. Tanda-tanda kematian menunjukkan diri di hadapan wajahnya.

Ummu Dzar mengerti, dan, dengan cemas, bertanya, “Apa yang sedang terjadi atas diri engkau, Abu Dzar?” “Perpisahan telah dekat! Tinggalkan mayat saya di jalan, dan mintalah pertolongan para musafir untuk membantu Anda menguburkan saya.” “Musim haji telah berlalu, tidak ada musafir.” “Tak mungkin. Berdiri dan pergilah ke atas bukit itu. Ada orang yang mau datang untuk kematian saya.” Ummu Dzar, dari puncak bukit itu, melihat tiga orang penunggang yang sedang datang dari jauh. Ia memberi isyarat kepada mereka. Mereka datang mendekat.

“Semoga Allah memberkati engkau. Seorang laki-laki sedang menghadapi kematian. Tolonglah saya menguburkan dia dan terimalah upahnya dari Allah.”“Siapakah dia?”
“Abu Dzar.” “Sahabat Nabi?” “Ya” “Semoga ibuku dan ayahku dikuburkan untuk engkau, wahai Abu Dzar!” Mereka berdiri di hadapannya. Ia masih hidup. Ia meminta kepada mereka, “Siapa di antara kamu yang petugas pemerintah, mata-mata, atau tentara, janganlah ia menguburkan saya. Apabila saya dan istri saya mempunyai secarik kain untuk kafan saya, tidak akan ada sesuatu keperluan.”

Hanya seorang pemuda [25] di antara kaum Anshar itu yang tidak berprofesi dalam pemerintahan, yang mengatakan, “Saya mempunyai kain ini, yang ditenun oleh ibu saya.” Abu Dzar berdoa untuknya dan mengatakan, “Kafanilah saya dengan kain itu.” Pikirannya tenang, segala sesuatu segera akan berakhir. Ia menutup matanya dan tidak pernah membukanya lagi.[26] Para musafir itu menguburkannya di bawah pasir gurun Rabadzah yang panas. Si Anshar yang muda usia itu berdiri di samping kuburnya, berbisik di bawah napasnya, “Nabi Allah menyatakan dengan benar, Ia berjalan sendirian, meninggal sendirian dan akan dibangkitkan sendirian!”

“Bilamana?” “Pada kebangkitan di Hari Kiamat.” “Dan, juga, pada kebangkitan di setiap zaman dan di tengah setiap generasi.” “Dan sekarang, sekali lagi, Abu Dzar, yang termasuk di antara semua wajah-wajah yang terkubur di dalam pekuburan sejarah yang tidak bertepian ini, di zaman kita dan di antara kita, akan dibangkitkan sendirian.”

Catatan:

11. Saqifah: suatu balai di Madinah yang dahulunya digunakan oleh dua suku utama, Aus dan Khazraj, untuk menyelesaikan persengketaan-persengketaan mereka di jaman Jahiliah. Pada zaman Islam, saqifah itu terbengkalai, persengketaan- persengketaan diselesaikan di Masjid Nabi, tidak lagi di saqifah. Pada waktu wafatnya Nabi, suatu kelompok, yang bertindak bertentangan dengan kehendak dan wasiat Nabi, pergi ke saqifah untuk memilih seorang khalifah. Karena Nabi belum lagi dimakamkan dan masih terbaring di masjid, mereka tidak dapat mengadakan pertemuannya di masjid, sementara Ali sedang membuat persiapan upacara yang terakhir bagi Nabi Allah. Pertemuan di saqifah ini adalah pertanda pertama kembalinya zaman Jahiliah.
12. Inklinasi Islam serta bergesemya dari asal ― yang dimulai di saqifah ― ditekankan dengan pengetahuan para organisator dan orang-orang yang mengambil keuntungan daripadanya. Ibn Khaldun secara hati-hati memberikan pendapatnya bahwa Umar tidak berniat untuk secara mendasar menolak suatu sistem kerajaan; dan Mu’awiyah, dalam jawaban yang diberikannya kepada Muhammad bin Abu Bakar, putra dari khalifah yang pertama itu, memberikan sorotan penerangan pada seluruh peristiwa itu. Yang berikut ini adalah terjemahan dari teks yang asli dari surat Muhammad bin Abu Bakar serta jawaban Mu’awiyah, dikutip dari Murujudz Dzahab, oleh Mas’udi.
Ketika Ali memberhentikan Qays bin Sa’ bin Ubadah dari jabatan sebagai penguasa Mesir, ia mengutus Muhammad bin Abu Bakar sebagai penggantinya. Ketika sampai di Makkah, Muhammad bin Abu Bakar menulis surat kepada Mu’awiyah, sebagai berikut:
“Dari Muhammad bin Abu Bakar, kepada Mu’awiyah yang telah tersesat. Allah, dengan keagungan-Nya dan kekuasaan- Nya menciptakan manusia menurut Kebijaksanaan-Nya; Kekuasaan-Nya tiada taranya. Ia tidak memerlukan apa-apa dari hamba-hamba-Nya; malah ia menciptakan mereka untuk mengabdi (kepada-Nya), memberi petunjuk kepada mereka, menyesatkannya, memberikan keberuntungan dan kemalangan kepada mereka, dan kemudian, melalui pengetahuan. Ia memilih Muhammad, shalawat Allah dan salam atas beliau dan keluarga beliau, dari antara mereka. Ia memilih beliau dengan pengetahuan-Nya sendiri; Ia memilih beliau untuk risalah-Nya, sebagai pengemban amanat Risalah-Nya. Ia menugaskan beliau sebagai seorang Rasul yang menyampaikan berita gembira dan ancaman ketakutan. Orang pertama yang menerima beliau, yang menaati, beriman, membenarkan, menyerah dan menerima Islam, adalah saudara misannya, Ali bin Abi Thalib, yang membenarkan yang gaib. Ia lebih mencintai Nabi daripada semua orang lainnya. Dengan jiwanya melindungi beliau dari setiap ancaman bahaya. Ia berjuang melawan musuh-musuh beliau. Ia bersahabat dengan sahabat- sahabat beliau. Siang dan malam, dalam saat-saat ketakutan dan kelaparan, ia menawarkan hidupnya sampai pada titik bahwa keutamaan haknya menjadi jelas. Tidak ada orang yang setara dengan dia di antara para pengikut itu.
“Saya melihat engkau sebagai orang yang mencoba hendak mengatasinya (Ali), tetapi engkau adalah engkau dan ia adalah orang yang mukhlis, anak-anaknya lebih baik dari semua orang lainnya; istrinya pun lebih baik dari semua orang lainnya; saudara sepupu Muhammad lebih baik dari semua orang lainnya; saudaranya (Ja’far) mengorbankan nyawanya pada perang Mu’tah, dan pamannya (Hamzah) adalah orang yang, pada perang Uhud, menjadi penghulu syuhada’. A yahnya adalah penyokong Nabi Allah, shallalaahu ‘aalaii wa ‘alaa aalihi wa sallam. Tetapi engkau adalah anak yang terkutuk dari yang terkutuk. Engkau dan ayahmu terus menerus menghalang- halangi jalan Nabi. Engkau berusaha untuk memadamkan cahaya Allah. Engkau membentuk kelompok-kelompok untuk tujuan ini. Engkau mengerahkan harta kekayaan, dan engkau menghasut manusia menentang beliau. Ayahmu mati di jalan ini dan anda menggantikan ia dalam pekerjaan ini. Orang-orang yang tertinggal dari antara berbagai partai dan para pemimpin kaum munafiqin, yang melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah dan yang mencari perlindungan padamu, menjadi saksi akan kata-kata ini; dan orang-orang yang memberi kesaksian kepada Ali serta kebajikannya yang terus-menerus, yang jelas, adalah sahabat-sahabatnya dan yang termasuk di antara para Anshar dan Muhajirin yang kebajikan-kebajikannya telah disebutkan Allah, dan Ia telah memuji mereka. Mereka bersama Ali, kelompok demi kelompok, dan mereka mengakuisuara parau menentang penindasan sebagai kebenaran untuk mengikutinya, dan keburukanlah yang menentang dia. Celakalah engkau! Bagaimana maka engkau memandang dirimu setara dengan Ali, sedang ia adalah pewaris dan Nabi Allah Saw, ia adalah ayah dari putra-putrinya dan ia adalah pengikut Islam yang pertama dan lebih dekat dari siapa pun kepada beliau. Nabi menyampaikan kepadanya rahasia- rahasia beliau, dan beliau memberitahukan kepadanya akan pekerjaan beliau, tetapi engkau adalah musuh beliau dan anak dari musuh beliau.
“Tiada peduli apa pun keuntungan yang engkau peroleh dari kefasikanmu di dunia ini dan bahkan apabila Ibn ‘Ash menghanyutkan engkau dalam kesesatanmu, akan nampak bahwa waktumu telah berakhir dan kelicikanmu tidak mempan lagi. Maka akan menjadi jelas bagimu kepunyaan siapa mas a depan yang mulia. Engkau tidak mempunyai harapan akan pertolongan Allah, yang tidak engkau pikirkan, yang kepada- Nya engkau berbuat licik. Ia sedang menunggu untuk menghadang engkau, tetapi kesombonganmu membuat engkau menjauh dari Dia! Salam bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk yang benar.”
Sebagai jawaban atas surat Muhammad bin Abu Bakar itu, Mu’awiyah menulis sebagai berikut:
“Dari Mu’awiyah kepada yang mencela ayahnya sendiri, Muhammad bin Abu Bakar: Saya menerima suratmu di mana engkau berbicara tentang keagungan, kebenaran dan kekuasaan Allah dan salam atas beliau dan keluarga beliau dan kata-kata lain; engkau memperlihatkan kelemahanmu dan kerendahan derajat ayahmu, tentang kebajikan-kebajikan anak Abi Thalib, latar belakang sebelumnya, kedekatannya kepada Nabi Allah, salawat Allah atas beliau, dan bahwa pada saat ketakutan dan bahaya, ia melindungi beliau dan menawarkan jiwanya kepada beliau, dan kesalahan yang engkau timpakan terhadap diri saya untuk membuktikan kebajikan orang-orang lain ― bukan kebajikanmu ―dan saya menyembah kepada Allah Yang mengambil kebajikan-kebajikan ini dari engkau dan memberikannya kepada orang-orang lain. Ayahmu dan saya, jelas dan memang semestinya, mengetahui hak dan kebajikan- kebajikan dari anak Abi Thalib. Ketika sampai janji Allah kepada Nabi Saw, dan Ia menunjukkan bukti-Nya, dan ia mengambil beliau ke sisi-Nya, ayahmu dan Umar adalah orang- orang pertama yang merebut hak-haknya (hak-hak Ali) dan membuat kekeliruan, dan dalam hat ini, mereka telah sepakat dan berbicara serupa dan merekameminta dia untuk memberi- kan bai'atnya kepada mereka. Ia mundur dan menolak. Mereka berlaku kasar kepadanya dan mereka mempunyai maksud- maksud buruk kepadanya. Kemudian ia memberikan bai'atnya dan menyerah, tetapi mereka tidak membolehkan dia untuk ikut serta. Mereka tidak mengatakan kepadanya tentang rahasia-rahasia mereka, dan orang yang ketiga dari mereka, Utsman, juga mengikuti jalan dan metode mereka. Engkau dan temanmu berbicara tentang kerusakan-kerusakannya (Utsman) agar orang-orang yang berdosa di propinsi-propinsi mengembangkan maksud-maksud buruk terhadapnya, dan engkau bangkit melawannya. Engkau menunjukkan permusuhanmu kepadanya untuk mencapai keinginan- keinginanmu sendiri. Hai, putra Abu Bakar, berhati-hatilah atas apa yang kau lakukan. Jangan merentangkan dirimu melebihi apa yang engkau urusi. Engkau tidak dapat menemukan seseorang (mengenai dirinya sendiri) yang mempunyai kesabaran yang lebih besar dari gunung, yang tidak pernah menyerah kepada sesuatu peristiwa, yang tiada seorang pun dapat mencapai kedalaman-kedalamannya, tiada seorang pun yang dapat menyamainya. Ayahmu bekerja sama dengan dia dan mengukuhkan kekuasaannya. Apabila apa yang sedang engkau lakukan adalah benar, ayahmu mengambil alih kekuasaannya. Apabila yang sedang engkau lakukan adalah bellar, ayahmu mengambil alih kekuasaan ini dan kami menjadi sekutunya. Apabila ayahmu tidak melakukan hat ini, maka kami tidak akan sampai menentang anak Abi Thalib, dan kami akan sudah menyerah kepadanya. Tetapi kami melihat bahwa ayahmu memperlakukan ilia seperti ini di hadapan kami, dan kami pun mengikutinya; maka cacat apa pun hendak engkau dapatkan, arahkanlah itu terhadap ayahmu sendiri, atau berhentilah dari turut campur. Salam bagi dia yang kembali.
13. Muhajirin: Para sahabat nabi yang berhijrah dari Makkah ke Madinah. Bentuk tunggalnya ialah muhajir.
14. Anshar (Anshor): Para sahabat nabi yang tinggal di Madinah dan yang membantu beliau berhijrah dari Makkah ke Madinah dan orang-orang penclucluk Madinah yang membantu beliau menegakkan sistem pemerintahan Islam di Madinah.
15. Nama-nama dan sebagian kekayaan beberapa individu dari suatu grup di zaman Utsman, dan melalui perantaraannya, menumpuk kekayaan, diuraikan di bawah ini. Sebagian dari orang-orang ini juga memegang kekuasaan. Sebelum menyebutkan orang-orang ini, perlulah kita perhatikan bahwa mata uang sebelum Islam, dan juga pada zaman Islam, adalah mata uang dirham dan dinar. Mata uang dinar tersebut dari emas, sedang dirham terbuat dari perak. Dinar terbuat dari emas seberat kira-kira 4,55 gram ― dan yang tidak lama kemudian sekitar 4,25 gram (Da’rat al-Mu’arif, dinar). Satu dinar bernilai sepuluh dirham, dan kadang-kadang nilainya naik sampai tiga belas atau lima belas dirham. (Jorji Zaidan, Tarikh Tamaddun Islam, jilid I, hal. 101).
Apabila kita bandingkan nilai mata uang pada masa itu (zaman Utsman) dengan nilainya pada abaci ketiga Hijriah (abad kesepuluh M.), dan apabila kita pertimbangkan surat-surat pembelian Ja’far bin Qudamah, yang menyangkut transaksi dalam tahun 225 H. (847M.), harga setiap enam ton campuran gandum wheat dan barley adalah 30 dinar. Berdasarkan harga ini maka 200 kilogram gandum berharga satu dinar. (Tarikh i Tamaddun Islam, jilid II hal. 246 dan 282). (Catatan: Dengan mempertimbangkan bahwa satu dinar terdiri dari 4,25 hingga 4,55 gram emas, dan harga emas setiap gramnya Rp. 22.300,- maka satu dinar sama nilainya dengan 4,25 sampai 4,55 x Rp 22.300 = Rp 94.775,- sampai Rp. 101.465,- atau rata-rata 1 dinar = Rp 98.120,-; dan satu dirham (dinar perak) bernilai 1/15 sampai 1/10 dari nilai dinar tersebut di atas, yakni minimal Rp. 6.541,- sampai Rp. 10.146,- atau rata-rata 1 dirham = Rp. 8343,-. Perhitungan nilai ini berdasarkan harga emas dan kurs rupiah pada 20 Oktober 1986).
Dengan mempertimbangkan nilai-nilai mata uang ini, maka besarnya kekayaan orang-orang dalam grup Utsman ini dapat dibayangkan. Dalam pada itu, nilai-nilai yang dikutip di atas itu dapat dibandingkan dengan dua kenyataan ini: “Nabi, menjelang sakitnya, mempunyai sedikit uang. Beliau mengirimkan uang itu kepada Ali untuk diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan; menurut hadis-hadis, uang itu berjumlah tujuh atau enam dinar.” (Zarinkub, Bamdan-i-Islam, hal. 51, dikutip dari Al-Sirat al-Halibiyah, jilid III, hal. 390). “Sering terjadi, pada Ali, tidak terdapat apa-apa selain apa yang dipakainya. Di musim dingin ia biasa menggigil kedinginan... dan kadang-kadang ia membawa pedangnya ke pasar dan menjualnya. Disebutkan bahwa ia berkata,
“sekiranya saya mempunyai empat dirham untuk membeli gandum, saya tidak akan terpaksa menjual pedang saya ini.” (Bamdad-i-Islami, hal. 111).
Sekarang, marilah kita lihat kekayaan orang-orang dalam grup Utsman:

a. Marwan bin Hakam, penasihat Utsman dalam setiap urusan. Ketika Armenia ditaklukkan, Utsman mengambil khums dari sana dan memberikan semua khums itu kepada Marwan. Selain itu, Fadak, yang adalah warisan Fathimah s.a., dan yang diambil Abu Bakar daripadanya, diberikan kepada Marwan, dan kemudian Utsman memberikan lagi kepadanya 1.000 dirham. Ketika khums dari Afrika dikirimkan ke Madinah, Marwan membelinya dengan harga 500.000 dinar, tetapi Utsman mengembalikan uang itu kepada Marwan.

b. Hakam bin ‘Ash. Orang ini termasuk di antara orang- orang yang telah diusir oleh Nabi. Utsman memanggilnya kembali ke Madinah. Ketika menemui Utsman, pakaiannya robek-robek. Ketika pergi lagi, ia memakai baju bulu yang mahal; Utsman memberikannya uang 100.000 dirham.

c. Harits bin Hakam. “Utsman memberikan kepadanya pasar di Madinah, yang dahulunya telah diberikan oleh Nabi kepada fakir miskin. Ketika Harits kawin dengan putri Utsman, selain apa yang telah diberikan kepadanya sebelumnya, Utsman memberikan lagi kepadanya 100.000 dirham serta pengurusan zakat dari Qad’ah. Dan sini ia beroleh pendapatan tiga juta dirham. (Jardaq; Ali, jilid V, hal. 145; Khulafah dar Pisygah-i-Idalat, hal. 223 dan Jardaq, jilid IV, hal. 247).

d. Abu Sufyan. Ketika Utsman memberikan 100.000 dirham kepada Marwan, ia juga memberikan kepada Abu Sufyan uang sebanyak 100.000 dirham.

e. Bani Umayyah. Utsman mengambil padang rumput di sekitar Madinah yang telah diberikan Nabi untuk daerah penggembalaan umum kaum Muslimin, dan menjadikannya area penggembalaan untuk peternakan Bani Umayyah. Di samping itu, juga Utsman memberikan sejumlah besar harta yang dikirim dari lrak ke Madinah, dibagi-bagikan di kalangan Bani Umayyah (Jardaq, jilid V; hal. 145, 146).
f . Abdulah bin Khalid bin Asidah Umayyah. Ketika ia meminta bantuan kepada Utsman, Utsman memberikan kepadanya 400.000 dirham, (Khulafah, Muhammad Ali: Zindigani-i-Zindigani-i-‘Ali, hal. 158).

g. Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh. Ia adalah saudara angkat Utsman, dan menjabat kedudukan gubemur di Mesir. Utsman memberikan kepadanya semua harta rampasan perang di Mesir, penguasaan tanah dari Mesir ke Tigris, tanah kaum Muslimin, ke dalam tangan Abdullah bin Sarh. Abdullah bin Sarh termasuk tokoh pemimpin Jahiliah sebelum memeluk agama Islam, dan sesudah itu pernah kembali murtad.

h. Sa’ad ibn Abi al-‘Ash. Utsman memberikan kepadanya 100.000 dirham. (Khulafah dar Pisygah ‘Idalat, hal. 220).

i. Thalhah. Ia menerima sejumlah 2.000 dinar dan 50.000 dirham yang diberikan Utsman kepadanya dari baitul mal. Ia membangun sebuah istana di Kufah, yang terkenal tiga ratus tahun kemudian ― menurut Mas’udi dalam Murujudz Dzahab ― dengan nama Dar al-Tarhatain. Pendapatan Thalhah dari hasil pertanian di daerah Kinas di Irak adalah 1.000 dinar setiap harinya. Menurut Mas’udi, tercatat bahwa ia menerima lebih banyak lagi dari Shara. Di Madinah ia mempunyai sebuah rumah yang serupa dengan rumah kediaman Utsman, yang dibangunnya dan semen stucco, batu bata dan kayu hitam, (Jardaq, jilid V, hal. 146, Ibn Khaldun, Muqaddimah, jilid I, hal. 404, Khulafah, hal. 226).

j. Zubair. Utsman memberikan kepadanya 6.000 dinar. Dengan uang itu ia membangun rumah yang ia sewakan. Ia mempunyai 15 rumah di Madinah, 2 rumah di Basra, 1 rumah di Mesir. Menurut Mas’udi, dalam masa pemerintahan Utsman, Zubair mempunyai seribu orang budak laki-laki dan seribu orang budak perempuan, dan harta bendanya yang tertinggal setelah matinya, adalah pula 50.000 dinar. Selain itu ia meninggalkan seribu ekor kuda. (Jardaq, jilid V; hal. 147; Ibn Khaldun, jilid I, hal. 403; Khulafah, hal. 229).

k. Abdur-Rahman bin Auf. Ia mempunyai banyak rumah dengan seratus ekor kuda pada setiap kandangnya. Jumlah kudanya seribu ekor, unta seribu ekor dan biri- biri sekitar beberapa puluh ribu ekor. Uang tunainya lebih dari 3.000.000 dinar.

l. Zaid bin Tsabit. Setelah mati, ia meninggalkan demikian banyak balokan emas dan perak, sehingga, menurut Mas’udi, mereka membelahnya dengan kapak. Ia juga mempunyai banyak harta dan kebun. Harta bendanya mencapai 100.000 dinar dan uang tunai sebesar 100.000 dinar ketika ia meninggal (Jardaq, jilid V, hal. 147; Ibn Khaldun, jilid I, hal. 403; Khulafah, hal. 229).

m. Yali bin Manbah. Ketika ia meninggal, ia mempunyai kekayaan senilai 50.000 dinar dan sejumlah besar uang tunai yang berasal dari orang-orang fakir miskin. Ia juga meninggalkan banyak kebun. (Ibn Khaldun, jilid I, hal. 404; Jardaq, jilid B, hal. 147).
n. Sa’ad ibn Abi Waqqas. Ia membangun sebuah rumah di ‘Aqiq, yang berloteng tinggi, dan ia memberikan ruangan khusus di sekelilingnya dan membangun sebuah kubah yang indah di depannya. (Ibn Khaldun, jilid I, hal. 404).

16. Kafir: bentuk tunggal dari kufaar. Orang yang mempraktekkan kepercayaan-kepercayaannya syirk (syirik, politeisme) dalam bentuknya yang menutupi atau menyangkal kebenaran agama (kufur).
17. Imamah: “Imamah merupakan suatu tugas yang sangat penting dalam hal memimpin, membimbing, menjaga dan mendorong masyarakat dan perorangan dari ‘apa yang ada’ ke ‘yang semestinya ada’, dengan kurban apa pun, tetapi bukan menurut keinginan-keinginan dari Imam itu sendiri, melainkan didasarkan pada suatu akidah yang permanen yang dipatuhi juga oleh Imam itu sendiri melebih setiap orang lainnya, dan yang untuk itu Imam bertanggung jawab. Di sinilah letak perbedaan antara imamah dan sistem diktator, dan kontradiksi serta perlawanan yang timbul antara kepemimpinan seorang cendekiawan revolusioner serta kepemimpinan seorang individu yang despotik...” (dan: Kumpulan Karya Ali Syari’ati, jilid XXVI: Ali!, hal. 521).

18. Tatslits: trinitas, tritunggal (despotisme, emas, penipuan): “Definisi ilmiah zaman sekarang tentang tatslits ialah ketuhanan ganda tiga. Tatslits berarti tiga tiran despotik yang sombong. Segi tiga bencana di mana semua nabi, para pencari keadilan dan para syahid kemanusiaan dikuburkan, sesuatu jimat bencana yang, seperti perbudakan, telah menimpa tengkuk umat manusia, telah membelenggu para pelayan tuhan dunia serta dewa-dewa masyarakat. Jimat bencana bersisi tiga itu: tiga serikat dalam satu usaha; yang pertama (depotisme) merantai kepala manusia; yang kedua (emas) mengosongkan kantong mereka; dan yang ketiga (penipuan) ― satu anggota serikat, bersama yang dua lainnya ― dalam wajah seorang agamawan dan dengan kata-kata surgawi, berbisik ke telinga-telinga mereka: sabarlah, saudaraku seiman; tinggalkanlah dunia ini kepada manusia-manusia duniawi; jadikanlah laparmu sebagai modal bagi pengampunan dosa-dosa Anda... inilah ketiga konspirator, tiga sekutu dalam kejahatan. Ka’in dalam tiga samaran ―tiga dewa yang terus menerus ― dari tritunggal itu. Baik dalam baju kufur atau dalam jubah Islam, dalam pakaian syirk atau pakaian tauhid, mereka menguasai watak dan nasib manusia ― di mana pun dan di zaman apa pun ― atas nama agama, sepanjang masa, di seluruh rentangan bumi; ketiga tiran yang sombong, despotik, adalah tiga wajah dari Kain. Ketiga thagut ini adalah tiga berhala yang berdiri sendiri- sendiri. Masing-masing mempunyai nama, gelar, dan basis operasi sendiri, tetapi ketiga-tiganya adalah pelaku kejahatan yang sama; ketiganya berada dalam satu garis, ketiganya berdiri di hadapan jalan pribadi yang bertanggung jawab dan orang yang dalam jalan itu.
“Lebih penting dari segala-galanya, ketiga-tiganya, sementara pada saat yang sama mereka merupakan tiga wujud yang berdiri sendiri-sendiri, ketiganya adalah manifestasi dari satu wujud: Iblis. Hanya ada satu wujud, dan, pada saat yang sama, ada tiga: tiga wujud dan sementara itu adalah juga satu! Alangkah ganjilnya. Inilah definisi ilmiah zaman sekarang tentang tritunggal- tiga dewa! Di kalangan Judaisme zaman sekarang: tiga klan; di kalangan lain: Bapak, Anak, dan Roh Kudus; di Yunani, tiga wajah dalam satu kepala. Dalam Hinduisme, Manu dalam tiga hakikat: kepala, tangan dan dana; dan di Persia kuno: Ahura Mazda dalam tiga api di Gashsh, Istakh dan Barzinemerh.
Maksud saya : tritunggal yang subyektif adalah reaksi terhadap tritunggal obyektif. (Umpamanya, dalam satu agama masa kini). Tuhan itu Satu, satu Hakikat, satu Prinsip, satu Kekuasaan, satu Pusat, namun dalam tiga wajah yang berbeda- hecla, yang sama dengan tritunggal kelas: kelas penguasa adalah satu, satu Kekuasaan, satu Pusat, namun dalam tiga wajah yang berbeda-beda, yang sama dengan tritunggal kelas: Kelas penguasa adalah satu, satu hakikat, satu prinsip, satu kekuasaan, satu pusat, tetapi dalam tiga wajah: emas, despotisme, penipuan.
Kelas penguasa, sepanjang sejarah, berubah dari satu kekuasaan yang tunggal, yang merupakan satu-satunya ‘pemilik’ dan ‘majikan’, pemegang uang dan kekuasaan, sebagai suatu akibat dari transformasi manusia dan pengetahuan, perkembangan ekspresi, tipuan, munafik, kelicikan, teknik, agama, dan obat penawar, menjadi berdimensi tiga; kekuatan yang berkuasa yang merupakan sang tuan dan memegang pecut di tangannya, dan tiada lagi selain pecut, mengembangkan dan mengambil alih rakyat dalam tiga cara. Wajah yang satu menjadi manifestasi dari kekuasaan ekonomij yang satu lainnya dalam bentuk manifestasi kekuasaan politik, dan yang ketiga, dalam bentuk manifestasi kekuasan dalam keagamaan.
Sebelum ini, orang yang menggunakan cambuk ini, juga berkewajiban untuk merampok, mendisiplinkan dan mendidik orang-orang liar, yang teragitasi dan tidak beradab; dan tiga tindakan dilakukan pada saat yang sama. Kemudian, berangsur-angsur dengan perkembangan segala hal, kelas yang disatukan ini muncul sebagai suatu kekuatan kelas yang bermuka tiga, dan kemudian, dewa syirik yang berada di puncaknya dimanifestasikan dalam bentuk tritunggal dan menjadi bermuka tiga untuk membenarkan sistem dua kelas, mustadh’afin (kaum yang dilemahkan dan tertindas) dan mustakbarin (kaum yang sombong dan menindas). (Kumpulan Karya, jilid VI: Analisa tentang Ibadah Haji, hal. 173, 202, 205-208 dan Jilid IV: Kembali kepada Diri Sendiri, hal. 381).
19. Adil (keadilan); salah satu prinsip agama dalam Syi’ah.
20. Al-Qur’an, surah at-Taubah ayat 34-35,
21. Al-Qur’an, surah at-Taghaabun ayat 17.
22. Al-Qur’an, surah Ali ‘Imran ayat 96.
23. Al-Qur’an, surah at-Taubah ayat 34 (lihat catatan no. 9).
24. Menurut ‘jihad ofensif’ untuk menaklukkan negara-negara lain dalam rangka membawanya kepada Islam, dilarang, dalam keadaan tidak hadirnya Imam suci; tetapi ‘jihad defensif’ wajib saat ada atau tidak adanya Imam suci, atau bahkan ada atau pelanjut Imam suci itu.
25. Si pemuda Anshar itu, menurut sebagian riwayat, adalah Malik al-Asytar.
26. Abu Dzar meninggal pada tahun 32 atau 31 H. (652-653 M.) dengan meninggalkan banyak hadis dan riwayat. Tiga tahun sepeninggalnya, rakyat Madinah bangkit, dan Utsman terbunuh oleh mereka, dihadapan anak-anaknya. Setelah terbunuhnya Utsman, hal-hal yang berikut ini dikatakan tentang harta kekayaan yang ditinggalkannya: 150.000 dinar emas, 1.000.000 dirham perak dalam tangan bendahara pribadinya. Harga dari harta miliknya di Hunain Cantara Makkah dan Tha’if) dan Wadi al-Qurah (dekat Madinah) serta tanah-tanah lainnya adalah senilai 200.000 dinar. Selain itu, ia meninggalkan 1.000 ekor unta dan ban yak kuda. Permata-permata dan perhiasan, digunakan sebagai kalung di leher putrinya. Ketika rakyat menyatakan keberatannya atas hal ini, Utsman berang. Dari atas mimbar ia mengatakan: “Kami mengambil apa yang kami perlukan dari Baitul Mal, sekalipun sebagian orang tidak menyenanginya. Semoga hidungnya digosokkan di tanah.” Utsman telah membangun sebuah rumah besar di Madinah yang pintu-pintunya terbuat dari kayu hitam. (Ibn Khaldun, jilid I, hal. 403; Jardaq, jilid V; hal. 148, 162, 163; Khulafah, hal. 230).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar