Label

Senin, 30 Desember 2013

Memoar




Di tahun 80-an, di mana ketika itu saya masih kanak-kanak, kami biasa menggunakan penerangan untuk rumah-rumah kami dengan menggunakan lampu-lampu minyak. Di keluarga saya sendiri, yang setiap hari melakukan tugas menyediakan lampu-lampu minyak untuk kami itu adalah ibu kami. Setiap menjelang malam, kira-kira beberapa menit sebelum adzan magrib berkumandang, ibu kami mulai mengisi tabung lampu-lampu minyak kami dengan minyak tanah atau minyak kelapa buatan ibu kami sendiri. Antara dua minggu atau satu bulan, karena saya tak lagi ingat dengan tepat, ibu kami juga akan mengganti sumbu lampu-lampu minyak yang terbuat dari kain-kain bekas itu.

Oleh Sulaiman Djaya (Penyair)

Lampu-lampu minyak itu, bila kami sedang menjalani malam-malam kami di musim hujan, harus bertarung dengan hembusan angin ketika hujan turun di waktu malam. Biasanya, ibu kami akan melindungi nyala-nyala apinya dengan menggunakan pelindung dari plastik yang dibuat oleh ibu kami sendiri.

Pada saat itu, saya yang tengah belajar di meja belajar saya, diberi anugerah untuk mendengarkan pecahan-pecahan hujan di halaman dan di genting-genting rumah. Mungkin, saat itu, saya membayangkan pecahan-pecahan hujan itu sebagai para peri yang tengah riang menari dan bernyanyi di hening malam.

Kadang-kadang, sebagaimana angan-angan saya merekonstruksinya saat ini, saya berhenti sejenak untuk sekedar menyimak suara-suara riuh angin dan gerak dedaunan yang diombang-ambing angin dan hujan. Sesekali saya juga membiarkan saja tetes air hujan yang menitik di ruangan saya, hingga ibu saya kecewa dengan sikap diam saya itu.

Di masa-masa itu, saya sendiri hanya boleh bermain dengan teman-teman saya sampai jam delapan malam saja. Berbeda dengan sekarang ini, ketika itu jam delapan malam sudah terasa sangat sunyi dan hening sekali. Apalagi dengan keberadaan pepohonan rindang sepanjang jalan dan sungai.

Sebagai seorang perempuan yang dihidupi oleh tradisi dan kepercayaan tradisional masyarakat kami, ibu kami yang mendekati puritan, terbilang seorang perempuan yang saleh dan sabar. Maklum, sebelum berhenti, ibu kami dikenal sebagai seorang guru ngaji bagi para perempuan dan ibu-ibu di kampung kami, bahkan di kampung tetangga. Tugas itu dilakukannya setelah selama beberapa tahun menjalani pendidikan keagamaan di pesantren tradisional di Cilegon, tepatnya di Cibeber, Cilegon, Banten.

Sementara itu, untuk saya sendiri, masa-masa itu adalah masa-masa ketika saya sedemikian akrabnya dengan kesunyian dan keheningan malam. Terlebih di bulan-bulan selama musim hujan, ketika hujan adakalanya turun di waktu subuh atau tengah malam. Sedemikian akrabnya dengan selampu minyak yang asap hitamnya menghitamkan bilahan-bilahan bambu penyangga genting-genting rumah kami.

Dan, bila hujan malam itu usai, kini giliran binatang-binatang malam, semisal para serangga dan katak, mengambil alih keheningan yang dingin itu dengan suara-suara riuh mereka. Namun anehnya, suara-suara mereka itu malah semakin menambah keheningan itu sendiri sedemikian nyata dan akrab. Bahkan, saya adakalanya membayangkan, suara-suara mereka tak ubahnya sebuah orkestrasi yang tengah digelar di sebuah tempat yang jauh, meski mereka hanya beberapa meter jaraknya dari belakang rumah. Suara-suara konser yang datang dari pematang-pematang kegelapan malam itu sendiri. Tanpa sadar, saya dan nyala mungil selampu minyak di meja belajar ternyata sama-sama tengah saling merenungi diamnya waktu kala itu. Waktu, yang saat ini, saya pahami sebagai keabadian itu sendiri. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar