Label

Kamis, 19 Maret 2015

Pada Sebuah Jazz


Oleh Sulaiman Djaya (Esais dan penyair)

“Fly me to the moon….let me play among the stars….” Sepotong bait jazz yang dinyanyikan Nat King Cole itu, yang kini telah usai ketika aku mulai menulis, mengingatkanku pada sebuah film drama romantis yang kutonton di Taman Ismail Marzuki Jakarta dulu, yang sebenarnya terbilang cengeng, dan tentu saja terlampau melankolik.

Namun kesenduan lagu itu, semakin melengkapi lembab cuaca malam ini. Meski sesungguhnya aku merasa ragu juga, apakah aku tergolong sebagai seorang lelaki romantis, seperti tokoh-tokoh pengelana dan ksatria-ksatria dari masa silam yang dinyanyikan sejumlah balada.

Segalanya terasa lepas, juga malam yang untuk sementara tak menghadirkan bintang-bintang, jalan yang seakan hanya saling berbisik dengan hembusan angin yang kadang hilang. Kupandangi selampu neon di setiang jalan di depan rumah, yang karena tampak dungu dan patuh dalam cuaca yang lembab, menggodaku untuk membayangkannya sebagai kiasan waktu.

Pada saat-saat seperti itu, ingin rasanya kutulis sebuah sajak untuk seorang perempuan yang bisa membuatku jatuh cinta layaknya seorang bocah remaja yang masih duduk di sekolah menengah pertama. Namun pikiran itu segera kutepis, sebab pada kenyataannya, aku sedang tak punya nada untuk menuliskannya.

Sementara itu, jarum-jarum jam terus berputar, dan hembusan angin sesekali mempermainkan kertas-kertas yang memang terhampar, sisa-sisa sejumlah sketsa sajak yang gagal. Kuputar lagi sebuah lagu dari handphone-ku, kali ini Le vie en rose yang dinyanyikan Louis Armstrong. Romantis, tapi tak terlalu melankolik.

Juga, haruslah kuakui, bahwa aku sudah terbiasa berjuang melawan rasa bosan, sebuah keadaan yang konon bila telah mencapai titik akut, dapat menyebabkan depresi dan kegilaan, yang awalnya tak disadari oleh seseorang yang merasakan atau mengalaminya, seperti Friedrich Nietzsche, si filsuf Jerman itu.

Tentulah aku tak ingin mengalami nasib serupa itu, dan karenanya untuk sesekali aku juga menyempatkan untuk bersikap riang dengan jalan menonton film-film komedi dan film-film drama romantis, yang dengan apa yang kulakukan itu, setidak-tidaknya aku juga bisa melawan dingin dan lembab yang mencipta sendu, seperti selampu neon yang tampak patuh dan agak dungu itu.

Namun meskipun begitu, selampu neon di depan jalan rumah itu tak ubahnya sepotong gambar atau sebuah figur kesabaran, atau lebih mirip situasi yang telah menjebak situasi seseorang, hingga tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu.

Hak cipta © pada Sulaiman Djaya (2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar