Label

Jumat, 13 Maret 2015

Hasan Hanafi dan Hermeneutika


Oleh Fadhli Lukman (Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Pada dasarnya, Hasan Hanafi lebih layak untuk disebut sebagai seorang filosof Muslim ketimbang sebagai ahli hermeneutika atau penafsir. Bukan hanya karena concern-nya yang sangat kuat kepada realitas aktual umat Islam, namun juga karena proyek besar yang diusungnya (al-Turats wa al-Tajdid) seringkali disebut sebagai proyek peradaban yang bertujuan untuk merubah masyarakat (Saenong, 2002: 99), dan pembahasan mengenai seni interpretasi, yang dalam hal ini adalah Alquran, hanyalah salah satu pokok pembahasan yang dibahas dalam skema besar tersebut. Penilaian semacam ini juga bisa dilihat dari bahasan panjang yang ditulis oleh Ali Harb Naqd al-Nash, yang lebih menitikberatkan kritiknya kepada Hasan Hanafi dalam kajian isu-isu yang lebih berbau filosofis daripada kajian Alquran (Harb, 2003: 31-86).

Menurut Amin Abdullah, Hasan Hanafi adalah sarjana pertama yang mencetuskan terminologi hermeneutika Alquran. Meski mengakui bahwa Hasan Hanafi belum menerbitkan karya sistematis mengenai hermeneutika Alquran (pengakuan tersebut ditulis tahun 2002), artikel-artikel lepasnya telah menunjukkan concern Hanafi kepada agenda hermeneutika Alquran yang dibangun atas dua agenda: persoalan metodis/teori penafsiran dan persoalan filosofis/matateori penafsiran. Secara metodis, Hanafi menggariskan beberapa langkah baru dalam memahami Alquran dengan tumpuan utama pada dimensi liberasi dan emansipatoris Alquran. Sementara untuk agenda filosofis, Hanafi telah bertindak sebagai komentator, kritikus, bahkan dekonstruktor terhadap teori lama yang dianggap sebagai kebenaran dalam metodologi penafsiran Alquran. Hanafi telah menelorkan tulisan-tulisan hermeneutisnya seperti dalam Hermeneutics as Axiomatics: an Islamic Model dalam bukunya Relegious Dialog and Revolution yang ditulis diantara tahun 1972-1976. Bahkan, sebenarnya Hanafi telah jauh sebelum itu memulai tulisan hermeneutisnya, jika ditarik sedikit keluar dari konteks Alquran, ketika ia menulis disertasinya Les Methodes d’Exegese, essai sur La science des Fondamen de la Comprehension, ilm Usul al-Fiqh (Metodologi Penafsiran: Sebuah Upaya Rekonstruksi Ilmu Ushul Fiqh), L’Exegese de la Phenomenologie, L’etat actual de la metode phenomenologique et son application au phenomene religiux (Tafsir Fenomenologis: Status Quo Metode Fenomenologi dan Aplikasinya dalam Fenomena Keagamaan), dan La Phenomenologie de L’Exegese, esay d’une hermeneutique existentielle a partir du Nueveau Testament (Fenomenologi Penafsiran: Risalah Penafsiran Eksistensialisme terhadap Perjanjian Baru) pada tahun 1965-1966. Sedangkan expert-hermeneut lainnya, seperti Fazlurrahman baru memulai tulisan hermeneutisnya dengan Islam and Modernity pada tahun 1977-1978, Major Themes of the Qur’an tahun 1980; Arkoun dengan Lecture de Coran tahun 1982; apalagi dengan Nashr Hamid Abu Zayd, Farid Esack, dan Muhammad Shahrur yang baru menulis karya mereka setelah tahun 1990 (Saenong, 2002: xix-xxiv).

Dalam membangun hermeneutika ala Hasan Hanafi, ia menggunakan beberapa piranti besar, yaitu ushul fiqh, fenomenologi, marxis, dan hermeneutika itu sendiri. Dengan menggunakan empat ingridients tersebut, Hasan Hanafi membangun sebuah teori hermeneutika yang mampu mewadahi gagasan pembebasan dalam Islam; tafsir revolusioner yang mumpuni menjadi landasan normatif-ideologis bagi umat Islam untuk menghadapi segala bentuk represi, eksploitasi, dan ketidakadilan, baik dari dalam maupun luar. Di samping itu, bangunan hermeneutika semacam ini juga merupakan upaya Hasan Hanafi untuk melampaui bangunan hermeneutika teoritis yang bertendensi objektifis seperti hermeneutika Fazlurrahman dan Arkoun. Dengan argumentasi bahwa hermeneutika aliran objektifis yang dimasuki pengaruh positifistik tersebut bersifat elitis dan tidak menyentuh masyarakat Islam secara meluas, Hasan Hanafi sendiri menghindari model hermeneutika demikian, dan mengusung hermeneutika yang lebih bersifat praksis dan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan kronis umat saat ini (Saenong, 2002: 8-9).

Hasan Hanafi menggunakan diskursus ushul fiqh seumpama ketika ia menekankan makna tafsir yang mendunia, praktis, dan menyentuh permasalahan langsung yang dialami masyarakat dengan menjelaskan sebuah tanggung jawab tafsir, yaitu mengungkapkan eksistensi manusia—tidak melulu eksistensi teologis mengenai Tuhan—baik secara individu maupun sosial, dengan menjelaskan berbagai situasinya dalam kaitannya dengan orang lain dan alam. Hal ini sangat penting, menurut Hanafi, karena tujuan dari aspek dogmatis dalam Islam itu sendiri adalah untuk mengungkapkan keberadaan dan posisi manusia di alam dengan lima macam dharuriat: agama, jiwa, akal, harga diri, dan harta, atau yang populer dengan sebutan maqasid al-syari’ah.

Studi fenomenologi bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam para subjek mengenai pengalaman beserta maknanya, sementara fenomena itu sendiri adalah peristiwa/pengalaman yang masuk ke dalam kesadaran subjek (Connoly (ed), 2002, 110). Kesadaran ini sepertinya diaplikasikan oleh Hasan Hanafi ketika merefleksikan sosok, karakter, dan landasan penafsir yang ideal. Menurutnya, penafsir tidak boleh berhenti pada batas komentator atau retoris. Penafsir harus melampaui keduanya dengan menjelma sebagai penafsir yang reformis. Selain itu, kesadaran tersebut juga berimplikasi pada pandangannya mengenai asbab al-nuzul sebagai berita mengenai peristiwa yang mengitari turunnya Alquran yang dapat membantu penafsir tradisional untuk memahami ayat dengan tepat. Akan tetapi, informasi tersebut perlu dipahami dalam kerangka bahwa peristiwa tersebut merupakan pengalaman hidup yang dialami sahabat. Artinya, asbab al-nuzul dalam pengertian tradisional tersebut berubah menjadi situasi kemanusiaan empiris (Hanafi, 2009: 8-18).

Dengan diskursus yang lainnya, Marxisme, Hasan Hanafi mencurigai adanya kepentingan, kekuasaan, dan dominasi di balik lahirnya teks atau penafsiran (Saenong, 2002: 94-97). Hasan Hanafi, dengan demikian, selalu memiliki kecurigaan terhadap teks atau penafsiran status quo. Ia bersikap kritis dengan berupaya menemukan relasi-relasi kekuasaan di belakang penafsiran, yang baginya tidak berhasil merumuskan solusi-solusi bagi keterbelakangan Muslim.

Hermeneutika, yang disamakan oleh Hasan Hanafi dengan tafsir, bukan hanya teori interpretasi teks, melainkan sebagai ilmu yang menerangkan wahyu Tuhan dari tingkat kata ke dunia, menerangkan bagaimana proses wahyu dari huruf ke realitas, atau dari logos ke praktis, dan selanjutnya transformasi wahyu dari pikiran Tuhan menjadi kehidupan nyata (Hanafi, 2009: 35). Ia mengkritik model tafsir konvensional, dan juga tafsir kontemporer, yang ia anggap tidak melek realitas. Terutama sekali, ia mengkritik al-Azhar yang masih menggunakan metode yang memiliki gap antara teks ilahi dengan wacana atau realitas manusiawi. Sebagai hasilnya, ia menekankan sisi realitas dalam hermeneutikanya. Ia menyatakan bahwa sebelum mengaplikasikan sebuah teori penafsiran, seseorang harus merefleksikan terlebih dahulu pengalaman yang hidup pada kesadaran pribadi atau jamaah yang menyebabkan suatu ayat diturunkan. Menurutnya, sebuah ayat bukanlah pendapat, orientasi, atau makna abstrak, melainkan sebuah jawaban terhadap kegelisahan, kesulitan, dan penderitaan individu-individu yang diresponnya. Pada sisi lain, ia juga menegaskan bahwa dalam penafsiran, upaya untuk kembali kepada sumber (Alquran) akan menemukan kebuntuan, sehingga alternatifnya adalah kembali kepada alam (Hanafi, 2009: 14-30). Dengan model ini, ia mencita-citakan tafsir yang memperbaiki manusia atau yang ia sebut sebagai tafsir reformis, dan penafsir yang reformer/mushlih.

Secara umum, hermeneutika terbagi kepada tiga mazhab besar. Pertama, mazhab teoritis (hermeneutical theory) yang memiliki problem hermeneutik berupa metode. Pertanyaan yang dibahas mazhab ini adalah metode apakah yang cocok untuk menafsirkan teks sehingga seseorang penafsir bisa terhindar dari kesalahpahaman?. Kesalah pahaman tersebut dijawab dengan usaha menemukan makna objektif dari teks dengan merekonstruksi apa yang dimaksud oleh pencipta teks. Oleh sebab itu, Sahiron Syamsuddin menyebutnya dengan aliran objektifis.

Kedua, hermeneutika filosofis (hermeneutic philosophy) bergerak mengkritisi mazhab pertama. Kelemahan mazhab objektifis, menurut mazhab kedua ini, adalah pengandaian ditemukannya makna awal atau makna sejati dan direproduksi kembali. Sementara menurut Hans-Georg Gadamer, kita hanya dapat melihat masa lalu dari sudut pandang kita dan dari situasi kekinian. Penafsiran menurutnya adalah produksi makna baru, bukan reproduksi makna awal. Mazhab kedua ini dikategorikan oleh Sahiron Syamsuddin sebagai mazhab tengah antara kelompok pertama dan kelompok ketiga berikut ini.

Kelompok selanjutnya adalah mazhab kritis (subjektifis) yang selalu mencurigai adanya hal-hal di luar aspek linguistik yang membentuk konteks, pemikiran, perbuatan, dan bahkan ilmu itu sendiri. Menurut Jurgen Habermas, pembesar kelompok ini, Gadamer mendambakan adanya konstruksi pemikiran atau pengetahuan yang bersifat bersih dan steril dari kepentingan-kepentingan yang menindas. Padahal, menurutnya, setiap pengetahuan harus dilepaskan dari kepentingan-kepentingan yang membentuknya. Oleh sebab itu, kelompok ini lebih sering mencurigai teks dibanding mengklarifikasi kebenaran teks (Syamsuddin, 2009: 26).

Jika dikaitkan dengan Alquran, proyek-proyek para pemikir kontemporer bisa digolongkan kepada dua bentuk. Corak pertama adalah mereka yang berusaha mengejar makna yang lebih kurang objektif dari teks untuk kemudian bergerak menuju realitas. Model ini lebih dekat dengan mazhab pertama dari ketiga corak pemikiran hermeneutis di atas. Fazlurrahman, Arkoun, dan Abu Zayd, diantara nama-nama penganut paham ini, mementingkan prosedur ilmiyah yang mampu menggiring kepada temuan makna objektif dengan metode yang valid. Sementara corak kedua ‘menuduh’ bahwa model kajian pertama tersebut, meskipun bisa berhasil pada tataran teoritis, namun mendekati mustahil untuk tataran praktis.  Farid Esack, Asghar Ali Engineer, dan Amina Wadud Muhsin, para tokoh kelompok kedua, bergerak dari realitas untuk kemudian dikonstruksi sesuai dengan ajaran-ajaran yang diperoleh dari penafsiran. Kelompok kedua ini lebih dekat dengan hermeneutika filosofis (Saenong, 2002: 94-97).

Bagaimana dengan Hasan Hanafi? Diperhatikan berdasarkan dua kelompok besar barusan, hermeneutika Hasan Hanafi mengalami dinamikanya sendiri. Pada awalnya, ia menginginkan hermeneutika pembebasannya bercorak rasional, formal, objektif, dan universal. Pengandaiannya mengenai penafsir yang harus mendekati Alquran dengan tabula rasa mirip dengan model hermeneutika Abu Zayd. Akan tetapi, belakangan, warna hermeneutika filosofis menjadi lebih dominan dalam bangunan pemikirannya. Ia menyatakan bahwa tidak ada hermeneutika yang absolut, universal, dan objektif. Hermeneutika selalu bersifat sosial dan praksis. Sebagai bentuk eksplisit dalam langkah model filosofis ini, ia menekankan pentingnya penafsir untuk menentukan terlebih dahulu kepentingan apa yang ia bawa sebelum menafsirkan; kepentingan yang direfleksikan dari kegelisahan yang dirasakan ketika memperhatikan permasalahan yang melanda umat. Dikaitkan dengan mazhab hermeneutika ketiga, mazhab kritis, Hasan Hanafi juga cenderung mencurigai tendensi kekuasaan dan dominasi di balik teks dan penafsiran. Dengan konstruk, posisi, dan dinamika hermeneutika Hasan Hanafi di atas, dapat dilihat ciri khas serta posisi terminologi hermeneutika yang ia sebut dengan Hermeneutika Pembebasan di antara teori-teori para hermeneut lainnya (Saenong, 2002: 94-98).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar