Label

Senin, 30 Desember 2013

Teologi Alegoris Sam'ani




Sam’ani, sang penulis sufi itu, menafsirkan turunnya Adam dari Surga bukan semata-mata disebabkan dosa, tetapi lebih karena cinta. Justru karena Adam (manusia) dipercaya untuk menjadi khalifah (penghuni) dunia. Dan setelah menghuni dunia, Adam (manusia) pun mengetahui dan merasakan penderitaan (ujian) selain kesenangan (pahala). Sam’ani menulis:

“Tuhan membawa Adam masuk ke dalam taman kelembutan dan mendudukkannya di atas singgasana kebahagiaan. Dia memberinya guci-guci keriangan, satu demi satu. Kemudian mengeluarkannya, mendukai, membakar, meratapi. Sehingga, sebagaimana Tuhan membiarkan dia mencicipi kelembutan pada awalnya, maka Dia juga membuatnya merasakan tegukan kekerasan yang murni, tak tercampur, dan tanpa penyebab”.

Oleh Sulaiman Djaya (Penyair)

Turunnya Adam dari Surga dipahami sebagai anjuran dan tugas untuk berkarya di dunia. Pada yang fana. Keberadaan Adam di Surga lebih karena kebelumsiapannya dalam pandangan Tuhan untuk menghuni dan bertugas di bumi. Sam’ani menulis:

“Adam masih seorang anak kecil, sehingga Tuhan membawa dia ke jalan perawatan. Jalan anak-anak adalah satu hal, tungku perapian para pahlawan adalah hal lain. Adam kemudian dimasukkan ke Surga di pundak para malikat besar di kerajaan Tuhan. Surga dijadikan ayunan untuk kebesarannya dan bantal bagi kepemimpinannya, karena dia belum mampu menumpu tahta kekerasan”.

Adam tidak dianjurkan untuk menolak dunia dan yang fana. Justru keinginannya untuk kembali mendapatkan Surga hanya setelah dia mampu mencintai dunia dan berkarya di dalamnya. Adam (manusia) bisa diijinkan kembali ke Surga hanya setelah ia merampungkan tugasnya di dunia (bertaubat). Sam’ani pun melanjutkan:

“Dalam bejana-bejana keberadaanmu terdapat batu-batu permata dan berlian yang bersinar. Tersembunyi di dasar lautan keadaanmu adalah zamrud dan pecahan tanah. Dan tentang Kami, Kami mempunyai dua rumah: dari satu rumah kami menggelar taplak makan dari kenikmatan yang bagus, di rumah yang lain Kami menyalakan api kemurkaan. Jika Kami harus membiarkan kamu tinggal di Surga, sifat kekerasan kami tidak akan puas. Jadi tinggalkanlah tempat ini dan turunlah ke permukaan tungku perapian derita dan wadah penggemblengan yang jauh. Maka Kami akan mengeluarkan perbendaharaan, artefak, kesubtilan, dan kewajiban yang tersembunyi dalam hatimu”.

Dengan demikian dunia (yang fana) menjadi wadah, bejana, dan tempat tugas sekaligus pengujian Adam (manusia) justru untuk membuktikan apakah pertaubatannya diterima dan layak mendapatkan dan menghuni Surga setelah ia mengafirmasi dunia. Di saat Adam (manusia) mampu beralih dari tahap kanak-kanak (tahap surga) menjadi pahlawan (tahap dunia). Sam’ani pun meneruskan:

“Jika hanya ada ruh, hari-hari Adam akan menjadi bebas dari noda dan perbuatannya masih tetap sama tanpa persetubuhan. Tetapi perbuatan yang tanpa cela tidaklah cocok untuk dunia ini, dan sejak awal dia diciptakan untuk menjadi khalifah bagi dunia ini”.

Begitulah ketika Adam (manusia) tinggal di dunia (yang fana) ia menyadari kerentanannya pada kesalahan dan dosa. Tapi justru untuk semakin menyadarkan bahwa dirinya adalah manusia. Sam’ani pun menuturkan:

“Esok hari, Adam (manusia) akan kembali masuk Surga bersama semua anak keturunannya. Sebuah teriakan akan muncul dari seluruh partikel Surga. Karena kerumunan itu, para malaikat dari alam malakut akan menatap penuh kekaguman dan berkata: inikah orang yang dikeluarkan dari Surga beberapa hari yang lalu dalam kemiskinan dan kehinaan?”

Kemiskinan dan kehinaan adalah suatu beban yang diciptakan kepada manusia akan rasa tidak pernah puas dan kebebasan kehendak. Sam’ani menyebutnya:

(nyala api di dalam hati, luka nyeri di dada, dan debu di wajah).

Adam (manusia) senantiasa tidak pernah puas dan menginginkan yang tanpa-batas, justru karena ia sadar bahwa dirinya bukanlah apa-apa (miskin dan hina). Dan inilah yang membedakannya dengan para malaikat, yang tak menyadari kemiskinan dan kehinaannya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar