Label

Rabu, 07 Mei 2014

Syarat-syarat Wudhu dalam Fikih Ja’fari




Oleh Syaikh Muhammad Jawad Mughniyah

Imam Shadiq berkata, “Allah mewajibkan wudu dengan air yang bersih.” Beliau ditanya tentang seorang yang mimisan (keluar darah dari hidungnya) ketika berwudu, lalu tetasan darahnya jatuh ke dalam bejananya. Apakah boleh berwudu dari air bejana tersebut? Beliau menjawab, “Tidak.”

Di depan telah disebutkan bahwa Imam menyuruh membuang seluruh air yang terdapat pada kedua bejana dimana salah satu diantaranya kejatuhan najis tapi tidak diketahui yang mana, dan wajib tayamum.

Air yang digunakan untuk berwudu harus merupakan air muthlaq dan suci. Jika Anda berwudu dengan air yang hanya memenuhi salah satu dari kedua unsur tersebut karena tidak tau atau lupa, wudu Anda batal.

Air itu juga harus halal, bukan hasil ghashab,* karena mempergunakan hasil ghashab dilarang dalam agama, dan larangan dalam ibadah menunjukkan ketidaksahihan. Tapi, jika seseorang berwudu dengan air ghashab karena tidak tahu atau lupa, maka wudunya sah. Yang membedakan antara ghashab di satu pihak dan ke-muthlaq-an serta najis di pihak lain adalah ijmak.

Anggota-anggota wudu juga harus suci, supaya air tidak menjadi najis karena terkena najis yang ada pada anggota tersebut.

Juga disyaratkan bahwa air tersebut tidak berada di dalam bajana yang terbuat dari emas atau perak, bukan yang bekas dipakai untuk mengangkat khubts, dan bukan yang dilarang penggunaannya oleh agama, karena membahayakan atau karena wajib digunakan untuk kepentingan yang lebih utama, yang akan dibicarakan secara terperinci nanti pada bab Tayamum.

Untuk sahnya wudu, disyaratkan juga adanya waktu yang cukup untuk wudu dan salat, dalam arti bahwa setelah berwudu, yang bersangkutan masih mungkin menunaikan salat yang dimaksud pada waktunya yang telah ditentukan. Sedangkan jika waktunya sempit, dimana jika ia berwudu maka keseluruhan salatnya atau sebagiannya akan berada diluar waktu yang telah ditentukan, sementara jika ia tayamum maka keseluruhan salatnya dapat ia lakukan didalam waktu yang telah ditentukan, maka dalam hal ini ia wajib tayamum. Dan jika ia berwudu juga, batallah wudunya.

Syarat lain ialah bahwa orang yang berwudu harus melaksanakan sendiri wudunya dan tidak boleh minta tolong pada orang lain, kecuali dalam keadaan tak mampu dan darurat. Karena, ayat-ayat dan hadis-hadis tentang wudu memerintahkan mencuci muka dan tangan serta menyapu kepala dan kaki. Suatu perintah menunjukkan kewajiban melaksanakannya secara langsung dan tanpa perantara.

Diwajibkan juga adanya urutan diantara anggota-anggota wudu; pertama-tama dimulai dengan cuci muka, kemudkan tangan kanan, tangan kiri, menyapu kepala, dan kedua kaki. Jika ia mendahulukan yang akhir dan mengakhirkan yang pertama karena ketidaktahuan atau lupa, ia harus mengulangi wudu dari awal sesuai dengan ketetapan syariat.

Wajib juga bersifat segera, yaitu segera setelah mengerjakan anggota berikutnya sesudah suatu anggota selesai, tanpa ada tenggah waktu. Kesegeraan ini, di kalangan para ahli fiqih, dikenal dengan sebutan muwalat. Mereka mengatakan bahwa dalam muwalat disyaratkan tiap-tiap anggota wudu tak boleh kering sebelum semuanya selesai. Maka, jika muka telah kering sebelum membasuh tangan kanan, atau tangan kanan telah kering sebelum membasuh kepala, atau kepala yang diusap telah kering sebelum mengusap kedua kaki, wudu tersebut batal.

Perlu disebutkan disini bahwa kering yang membatalkan wudu adalah kering yang ditimbulkan oleh selang waktu yang panjang antara satu anggota dengan anggota lainnya. Jika kering itu disebabkan oleh panas di badan atau oleh udara dan sebagainya, maka tidak apa-apa. Syarat-syarat yang kami sebutkan di atas didasarkan pada riwayat-riwayat dari Ahlulbait yang diperkuat dengan ijmak fukaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar