Label

Kamis, 22 Mei 2014

Dinamisasi Ala Binatang


Oleh Mahbub Djunaidi

Mulanya saya kira cuma Hippy, Beatnik, The New Left saja yang dijuluki orang “subkultur”. Belakangan saya diberitahu lewat tulisan Abdurrahman Wahid Hasyim (Kompas, 11 Maret 72) bahwa pesantren juga suatu profil subkultur. Terserah bagaimana baiknya sajalah. Subkultur yang namanya pesantren ini sekarang sedang jadi bulan-bulanan Menteri Agama Profesor Doktor Mukti Ali. Segera sesudah Menteri Agama membabat eksponen-eksponen penting di departemennya dan menggantinya dengan orang-orang yang diduga lebih cocok, kerlingan mata bergeser ke pesantren. Apakah gerangan salah pesantren?

Salah sih tidak, cuma “kurang”. Sebagai muslim modernisator, apalagi sekaligus kedudukan Menteri Agama, Mukti Ali tentu tidak ingin modern sendirian, karena toh tidak akan banyak faedahnya. Menjadi modern bukan tugas avonturir. Maka, dengan mekanisme Departemen yang ada padanya, pilihan jatuh pada pesantren. Pesantren harus modern, dinamik, supaya tidak tercecer meningkapi kiprahnya pembangunan. Lebih dari itu: Pesantren jangan jadi penghambat, jangan jadi seteru pembangunan yang naik darah, jangan malas, lamban atau pun kikuk.

Bagaimana caranya? Modernisasi adalah urusa yang hampir-hampir tak ada ujungnya. Sebab, apa saja sebetulnya terbuka untuk dimodernisasi. Mulai dari struktur politik, hukum, penagihan pajak, menakut-nakuti maling atau cara merekat prangko. Begitu pula halnya tentu dengan pesantren. Asal ongkos cukup, pintu perubahan menganga lebar. Mau pasang diesel, pakai kursi puter, sirene, apa saja bisa. Kurikulum pun bisa diatur. Berani bertaruh, tak seorang pun akan menyongsong gagasan modernisasi itu sambil mengacungkan golok. Asal paham lubang-lubangnya, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kiai-kiai yang seangker apa pun adalah manusia seperti kita-kita, tak kecuali redaktur majalah berita ini. Jangan dibilang lagi santri-santrinya. Sifat manusiawinya fleksibel.

Naga-naganya, pintu masuk yang dipilih Mukti Ali dalam rangka menjelmakan cita-citanya yang agung adalah peternakan. Untuk tingkat permulaan, tentu digunakan binatang piaraan yang sudah popular, semisal ayam negeri, entah jenis Leghorn, Minorca, Barnevelder, Orpington, atau Sussex, pokoknya ayam. Di beberapa pesantren, berdasarkan situasi-kondisi (disingkat sikon) mungkin para ayam piaraan itu ditemani keluarga unggas lainnya, seperti bebek. Bukan mustahil, pada tahap berikutnya terjadi peningkatan kualitatif dengan peternakan binatang berkaki empat, atau yang tak berkaki sama sekali, misalnya ikan. Asal prinsip-prinsipnya sudah diletakkan, variasinya soal gampang. Bahkan, jenis binatang yang kepalang tanggung, ayam bukan burung pun bukan, seperti puyuh, bisa juga dijadikan ancer-ancer jangka agak panjangan.

Apa sebab para santri itu diperkenalkan dengan pergaulan binatang ternak? Mereka tentu sudah pernah melihat ayam, atau memegangnya, bahkan memakannya sekali. Bahkan juga mungkin pernah memeliharanya satu dua ekor. Soalnya bukan itu. Soalnya adalah menggiring mereka untuk berproduksi. Selama ini, rata-rata orang, khususnya Menteri Agama, memandang pesantren itu ibarat gugusan besar para konsumen. Pemakan protein hewani maupun nabati, sonder ikut menghasilkan. Status begini tidak dikehendaki. Bukan cuma mulut yang mesti bekerja, tapi juga tangan. Kerja mesti dikuduskan. Mereka akan disulap dari konsumen menjadi produsen. Tanpa harus mengubah sifat pesantren sebagai balai rohani, binatang piaraan dimasukkan ke sana sebagai sarana dinamisasi.

Kalau mau lebih tenang sedikit, sebenarnya patut ditanyakan, kenapa para siswa santri saja yang dicap sebagai konsumen murni, sedangkan siswa-siswa perguruan umum, termasuk mahasiswa, tidak. Belum pernah terdengar, mereka itu disindir sebagai pihak yang kerjanya cuma tidur-bangun-makan-berak. Kalau asal konsumen-konsumenan, apalah bedanya. Mereka adalah peludes yang cekatan dari hasil mata pencarian bapaknya. Mereka bukan produsen dalam arti yang sebenar-benarnya. Namun, tak pernah Menteri Mashuri berkesimpulan sebaiknya dikirim anak-anak ayam atau kambing ke pekarangan sekolah, untuk memperoleh perawatan dan pengembangbiakan, yang hasilnya bisa dilego ke pasar oleh dewan guru di bawah pengawasan orang tua murid.

Umpama saja Mukti Ali seorang ekonom berkualitas penuh, di samping keahliannya yang langka di bidang urusan banding-membanding agama di dunia ini, pastilah dia telah melihat kehidupan kita ini secara terbalik sungsang dengan John Kenneth Galbraith, orang Harvard yang pernah ditunjuk Presiden Kennedy jadi dubes AS di India, penulis buku-laris The Affluent Society. Kalau Galbraith merangssang kalangan ekonomi makmur untuk mencampurkan kegiatan-kegiatannya dengan aspirasi sosial, moral dan aspek-aspek aestetika, Mukti Ali sedang merangsang kalangan rohaniah untuk mencemplungkan juga sebelah kakinya ke urusan ekonomi-produksi. Kalau John Kenneth Galbraith menuding ekonom Inggris John Maynard Keynes karena yang belakangan ini terlalu gila-pajak dan gila-moneter, Mukti Ali lebih aman karena tidak seorang pun yang merasa ditentangnya. Biarpun boleh jadi ada satu dua orang yang tersenyum-senyum mendengar usulnya menerjunkan binatang piaraan ke pekarangan pesantren, namun tidak ada orang yang mengritiknya terang-terangan. Soalnya memang tidak ada urgensinya. Sepanjang menyangkut pesantren, orang harus banyak memahami.

Sebenarnya, mengajak pesantren untuk tercebur ke dalam soal-soal duniawi tidaklah sesusah yang diduga orang. Mereka itu sebetulnya orang-orang praktis belaka pada dasarnya, lebih-lebih pengasuhnya. Di mana saja, kapan saja, pesantren perlu ongkos hidup, tak bedanya dengan balai pertemuan atau rumah sakit. Bukan saja perlu, tapi kalau bisa jumlahnya terus meningkat. Itu sebabnya, tak pernah kedengaran ada pesantren yang menolak pemberian Presiden Soeharto. Yang kedengaran malahan sebaliknya: yang kelupaan berusaha tidak kelupaan lagi pada fase berikutnya.

Satu-satunya kesulitan yang mungkin dihadapi Mukti Ali adalah: menderasnya permintaan-permintaan akan bibit ayam, atau anak bebek, atau mesin penetas, atau Sulphamezathine untuk memberantas penyakit Coccidiosis pada ayam, atau ongkos-ongkos operasi produksi. Cara mengatasinya sudah tentu dengan memperbanyak dana, sebab modernisasi pun perlu ongkos. Jadi, bukannya kesulitan menghadapi mereka yang menolak pembangunan atau menghardik modernisasi, atau tukang-tukang pukul tradisi yang kepala batu, yang tidak mau menerima perubahan apa pun. Insya Allah mereka itu tidak akan muncul. Sebab, memang tak akan pernah ada semuanya itu.

Sumber: Majalah Tempo, 26 Maret 1972

Tidak ada komentar:

Posting Komentar