Label

Sabtu, 20 September 2014

Memperjuangkan Palestina dari New York


Oleh A Fatih Syuhud (Republika, November 2003)

Edward Said, yang meninggal pada 25 September di usianya yang ke 67 karena leukaemia, merupakan salah satu kritikus sastra paling berpengaruh pada seperempat akhir abad 20. Sebagai profesor sastra dan perbandingan Inggris di Universitas Columbia, New York, dia secara luas dianggap sebagai representasi pos-strukturalis Kiri di Amerika.

Sebenarnya dia menderita leukaemia sejak tujuh tahun yang lalu. Apa yang membuat orang kagum adalah semangatnya yang tidak pernah padam, kendati dia sadar bahwa ajal sudah diambang pintu. Masalah Palestina tentunya telah ikut ambil bagian dalam memotivasi sisa-sisa hidupnya, di samping banyak hal yang menjadi minatnya seperti sastra kontemporer, seni, musik dan kehidupan itu sendiri.Edward Said tidak mempercayai pandangan kepemilikan budaya, yakni yang menganggap bahwa ini budaya kita dan itu bukan. Hal ini mungkin karena dia, seperti yang pernah dia katakan sendiri, adalah “anjing liar” yang tidak bertuan. Ketika masih anak-anak, dia ingat bagaimana ruang kelas tempat dia belajar dipenuhi oleh bangsa Yahudi, Muslim, Armenia, dan Yunani. Dia dan keluarganya meninggalkan Palestina ketika dia berusia 12 tahun dan ini mungkin bukanlah kebetulan bahwa kota yang akhirnya dia tempati sebagai tempat tinggal di AS adalah New York, sebuah kota yang menurut Said, “paling kurang bau Amerika-nya” dibanding kota-kota lain. Kota dengan berbagai budaya. Kota “anjing liar”. Hubungan Said dengan Amerika merupakan sesuatu yang kompleks. Dia terdidik di sana, dan mengabdikan seluruh kehidupan profesionalnya – selama 40 tahun dengan Columbia University – dan merasa bagai di rumah sendiri di AS. Dan pada waktu yang sama dia tetap mempertahankan “perspektif gandanya”: sebagai seorang Amerika pembangkang; dan seorang Arab Palestina sekaligus.

Bila sudah menyangkut Palestina, tidak ada yang dapat menghentikan Said. Selama bertahun-tahun dia manfaatkan seluruh piranti yang ada yang dia kuasai. Tetapi Said sempat putus asa melihat kenyataan bahwa dia tidak punya teman seide: “Negara-negara Arab di sekitar kami sangat, sangat licik”. Bahwa aliansi yang dulu terbangun kini tak lagi eksis. Aliansi yang dulu memerangi Israel: “Anda tidak akan dapat menemukan musuh terburuk dari Israel, karena mereka adalah orang-orang yang pernah mengalami berbagai macam kesengsaraan. Mereka memiliki sebuah insting untuk bertahan yaitu kejam dan tak kenal kasihan. Di samping itu, Israel mengantongi dukungan penuh AS.”

Edward Said juga kecewa pada pimpinan Palestina. Yasser Arafat, yang dia kenal dengan baik, dia anggap sebagai figur yang jenius untuk bertahan. Arafat, kata Said, berusaha untuk menyatukan rakyatnya, sayangnya tidak punya visi. Said yakin bahwa Arafat tidak memberikan kepemimpinan moral yang dibutuhkan pada rakyat Palestina, tidak sebagaimana seorang Mandela yang selama bertahun-tahun di penjara tetap mempertahankan prinsip satu orang, satu suara. Said berpendapat bahwa jual diri Arafat dalam negosiasi Oslo merupakan momen krusial penyerahan diri.

Ada satu kenangan pahit ketika Said kembali ke tanah kelahirannya. Pada 1982 ia mengunjungi rumah familinya di Yerusalem Barat, di mana dia dilahirkan. “Suasana sangat emosional waktu itu. Rumah itu sama sekali tidak berubah. Aku tunjukkan pada anak-anakku kamar tempat aku lahir, tapi aku tidak dapat masuk. Ada perasaan aneh, ketika melihat di atas negaraku terdapat negara baru. Dan negara baru itu menolak sama sekali keberadaan negara yang sudah eksis lebih dulu.”

Buku Said yang paling berpengaruh, Orientalism (1978), dianggap memiliki andil dalam membantu merubah arah sejumlah disiplin ilmu dengan mengekspos adanya persekongkolan antara pencerahan dan kolonialisme. Sebagai seorang humanis dengan pandangan sekuler mendalam, kritiknya atas tradisi besar Pencerahan barat, dilihat oleh banyak kalangan di Barat, sebagai kontradiktif. Begitu juga, pengerahan diskursus humanistik untuk menyerang tradisi humanisme kultural, dan pada waktu yang sama, mempertanyakan integritas riset kritis terhadap bidang-bidang yang sensitif secara kultural seperti Islam, telah membuat lega kalangan fundamentalis yang menganggap kritik atas tradisi atau teks mereka sebagai di luar batas.

Pengaruh Said, sebagaimana disinggung di awal tulisan, tidak hanya terbatas pada bidang diskursus akademis. Sebagai seorang selebritis intelektual di Amerika, ia juga dikenal sebagai kritikus opera, pianis, selebritis televisi, politisi, pakar media, kolumnis populer dan dosen publik. Dia dijuluki “profesor teror” oleh majalah sayap Kanan Amerika Commentary; pada tahun 1999, ketika ia sedang bergelut melawan leukaemia, majalah yang sama menuduhnya sebagai telah memalsukan statusnya sebagai pengungsi Palestina guna menambah nilai advokasi pada perjuangan Palestina, dan juga dianggap telah memalsu klaimnya bahwa dia pernah sekolah di Yerusalem sebelum merampungkan pendidikannya di AS.

Permusuhan yang dihadapi Edward Said dari lingkaran pro Israel di New York tentu bisa diduga, mengingat kritiknya yang tajam atas pelanggaran HAM Israel terhadap rakyat Palestina dan kecamannya yang terus terang atas kebijakan AS di Timur Tengah. Uniknya, perlawanan pada Said juga muncul dari kalangan rakyat Palestina sendiri yang menuduh Said sebagai telah mengorbankan hak-hak rakyat Palestina dengan memberikan konsesi-konsesi tak berdasar pada Zionisme.

Said mengakui bahwa dikecualikannya Israel dari kriteria normal, yang dibuat ukuran standar bagi bangsa-bangsa lain, adalah disebabkan oleh tragedi Holocaust. Tetapi sambil mengakui signifikansi unik Israel, ia tidak mengerti mengapa warisan trauma dan horor yang pernah dialami Yahudi dieksploitasi mereka untuk mengusir dan merampas hak-hak rakyat Palestina, sebuah bangsa yang “sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kompleksitas bangsa Eropa,” tulisnya dalam Politics of Dispossession (1994).

Terpilih sebagai anggota Palestine National Council (PNC) pada tahun 1977, sebagai seorang intelektual independen, Said menolak ikut ambil bagian dalam perjuangan faksional, sambil tetap memanfaatkan otoritasnya untuk membuat intervensi strategis. Dia menolak perjuangan bersenjata dan pendukung awal dari solusi dua-Negara, yang secara implisit mengakui eksistensi negara Israel. Kebijakan ini diambil pada pertemuan PNC di Aljazair pada 1988.
Begitu proses damai mendapatkan momentum, Said justru mengambil posisi lebih kritis dan pada 1991 dia mengundurkan diri dari PNC. Menurutnya, deklarasi Oslo terlalu banyak menguntungkan Israel dan merugikan Palestina. Skenario Oslo yang berisi penarikan mundur Israel dari Gaza dan Jericho sebelum penarikan mundur dari kawasan-kawasan lain serta kesepakatan atas status akhir Yerusalem, telah menjadi “instrumen penyerahan diri bangsa Palestina, sebuah Versailles-nya Palestina.”

Sampai akhir hayatnya, Said dianggap menjadi duri dalam daging Otoritas Palestina. Warga Palestina di pengasingan yang paling terkenal inipun menjadi korban sensor oleh bangsanya sendiri di mana kondisi intoleransi, ketidakbebasan dan korupsi semakin mengelilingi Arafat dan rejimnya. Sikap pemerintah Palestina yang mengisolasinya ini sama sekali tidak memadamkan semangatnya untuk terus memperjuangkan Palestina dari pengasingannya di New York.

Keterlibatan Edward Wadie Said dengan Palestina akhirnya berujung pada 25 Desember 2003. Said, yang lahir pada 1 Nopember 1935, dan menikah dengan Mariam Cortas pada 1970 dan dianugerahi dua anak, itupun menghembuskan napasnya yang terakhir. Siapakah yang dapat menghentikan kematian? Sebagaimana pernah dia katakan, “Dengan penyakit seperti leukaemia, ketika kita dengar kata itu pertama kalinya sungguh terasa sangat sulit. Aku membutuhkan waktu beberapa bulan untuk dapat tenang. Tetapi itu semua adalah masalah disiplin. Bagaimanapun kita harus mati. Sebelum kita masuk ke liang lahat, kita usahakan untuk dapat memanfaatkan hidup ini sebaik mungkin.”

Dia berbuat persis seperti apa yang dia katakan, memperjuangkan Palestina dengan kata-kata dan tulisan-tulisannya yang terus mengalir sampai akhir hayatnya dari sebuah tempat yang dia sebut sebagai kota “anjing liar” seperti dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar