Label

Sabtu, 20 September 2014

Ketika Media-Media Mainstream Jualan Berita dan Analisa Bodoh


Belakangan ini kita sering mendengar beberapa pengamat Timur Tengah yang tampil di layar kaca TVOne mengutarakan bahwa Iran dan Israel itu sebenarnya main mata. Tujuan pernyataan ini sebenarnya ingin menunjukkan adanya konspirasi di balik retorika Iran dalam memusuhi Israel dan membantu rakyat Palestina. Mereka ingin membangun argumen bahwa Iran itu cuma berpura-pura dalam dukungannya pada Palestina dan perlawanannya terhadap Israel.

Mereka biasanya membawa dalil bahwa Iran tidak pernah menghantam Israel dengan roket atau rudal balistiknya. Demikian pula sekutu Iran dari kalangan Arab seperti Suriah juga tidak menghajar Israel. Bukti lain yang biasanya diajukan ialah pertemuan sejumlah pemimpin Iran dengan rabbi-rabbi Yahudi dari kelompok Neturei Karta (yang justru merupakan kelompok Yahudi anti Zionis Israel).

Para pengamat ini sebenarnya mengikuti garis argumen (palsu) yang kini umum beredar di media Arab pro Zionis seperti Aljazeera dan Alarabiya. Bagi mereka yang bisa berbahasa Arab pasti akan mudah menemukan omongan-omongan serupa di kolom komentar di situs-situs media Arab pro Zionis tersebut.

Namun, benarkah demikian? Benarkah Iran main mata dalam perlawanannya terhadap AS dan Zionis Israel? Benarkah Iran hanya tipu-tipu dalam mendukung Palestina? Marilah kita tinggalkan manipulasi dan pemutarbalikan fakta ala para pengamat dan media Arab pro Zionis di atas dan kembali ke realitas yang ada.

Sebelum Revolusi Islam tahun 1979, di saat AS masih mengangkangi Teluk Persia seutuhnya, Shah Reza Pahlewi yang ketika itu berkuasa memiliki hubungan mesra dengan Israel. Pada saat itu pula, segenap rezim Arab tunduk di bawah ketiak Shah dan membayar upeti untuk setiap tanker minyak yang melewati Teluk Persia. Dan pada saat itu sebenarnya Shah sudah mengaku dirinya sebagai penganut Syiah –sementara raja-raja Arab tidak pernah merasa menjadi pengayom Sunni dalam melawan Shah yang sangat benci terhadap Arab itu. Di zaman ketundukan Iran pada AS itu, segalanya seperti berjalan normal tanpa ketegangan sektarian seperti yang tergambar saat ini. Kedekatan dengan AS ketika itu tampaknya adalah kunci dari kedigdayaan Iran di mata rezim-rezim Wahabi Arab.

Namun, segalanya seperti berubah ketika Revolusi Islam Iran meletus pada 1979. Tiba-tiba saja Irak berkoar soal nasionalisme Arab dalam melawan Persia, dan raja-raja Arab penghasil petrodolar itu bersekongkol ingin menghabisi Iran. Alasan mereka banyak. Di antaranya, Iran ingin mengekspor revolusi, Iran akan mensyiahkan Timur Tengah dan dunia Islam, dan alasan terakhir yang paling absurd ialah karena Iran bermain mata dengan Israel untuk melemahkan Islam dan Arab.

Alasan terakhir ini kini seperti mendapatkan pembenaran lantaran apa yang terjadi di Suriah. Apalagi kini juga tak henti-hentinya para ulama bayaran yang hidup dalam ketiak raja-raja korup terus mengumandangkan ujaran-ujaran kebencian terhadap Iran dan komunitas Syiah di Timur Tengah.

Tapi, lagi-lagi, benarkah demikian? Tentu jawabannya bagi sebagian besar yang mengerti seluk-beluk Timur Tengah sudah jelas. Tak perlu analisis dan argumentasi sepanjang ini. Namun, belakangan, pengulangan argumen ini di sejumlah media nasional dapat menyebabkan khalayak yang kurang wawasan menerima bualan itu sebagai kenyataan. Di bawah ini saya coba berikan beberapa penjelasan.

Pertama, sejak Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini telah menjadikan pembelaan terhadap Palestina dan perlawanan terhadap AS-Israel sebagai prinsip ideologisnya. Dua gerakan perlawanan rakyat Palestina, seperti Hamas dan Jihad Islam, mendapat dukungan logistik dari Iran di tengah boikot total dari seluruh rezim Arab. Dan untuk dukungannya ini, Iran harus membayar mahal.

Selain itu, Suriah sebagai satu-satunya negara Arab yang berbatasan langsung dengan Israel dan hingga kini belum meneken perjanjian damai dengan Israel juga mendapat dukungan penuh dari Iran. Dasar hubungan strategis Iran-Suriah ialah perlawanan terhadap Israel. Demikian pula hubungan trio Iran-Suriah-Hizbullah pun berlaku dalam kerangka melawan Israel dan hegemoni AS di Timur Tengah. Dan karena hubungan ini pula maka ketiganya terus digencet oleh seluruh kekuatan pro Zionis Israel dan AS, baik rezim-rezim Arab, Turki maupun kelompok-kelompok ekstremis Islam model Al-Qaedah.

Jadi, apa maksud sebenarnya dari pernyataan komentator-komentator di atas? Banyak, tapi sedikitnya ada lima motif di balik pemutarbalikan fakta ini. Masing-masing fakta ini sebenarnya saling memperkuat untuk: Pertama, pemutarbalikan fakti ini dihembuskan untuk mengaburkan kenyataan yang terang-benderang tentang ketundukan negara-negara Arab terhadap hegemoni dan kebijakan AS-Israel di Timur Tengah.

Negara-negara yang mengangkat dirinya sendiri sebagai pengayom mayoritas Muslim itu ingin menyatakan bahwa permusuhannya pada Iran dikarenakan Iran sebenarnya bermain mata dengan AS juga. Padahal, bukti-bukti kerjasama yang coba diungkap dari balik layar tersebut tidak pernah bisa dibandingkan dengan kenyataan terang-benderang hubungan mesra negara-negara Arab dan Turki dengan AS-Israel. Di sini misalnya kita bisa menyebutkan bahwa Turki adalah negara Muslim pertama yang mengakui eksistensi negara Israel.

Kedua, tujuan dimunculkannya rumor ini ialah menutup-nutupi kolaborasi negara-negara Arab plus Turki dengan rezim Zionis dalam menindas rakyat Palestina dan mengabaikan hak-hak asasi mereka dengan cara merontokkan eksistensi negara Suriah sebagai tulang-punggung poros perlawanan terhadap AS-Israel di kawasan Timur Tengah. Hancurnya Suriah bakal berujung dengan penghancuran paru-paru dukungan logistik Iran terhadap kelompok-kelompok perlawanan seperti Hamas dan Jihad Islam.

Ketiga, mencuatkan permusuhan di antara umat Islam untuk mengalihkan perhatian mereka dari musuh yang sebenarnya, yakni Israel dan AS. Menumbuhkan pertentangan dan permusuhan antara Iran dan mayoritas Muslim dunia merupakan tujuan puncak AS-Zionis bekalangan ini agar umat yang sudah tertindas ini makin tercabik-cabik dan saling menghabisi.

Keempat, memberi legitimasi ketundukan rezim Arab dan Turki dengan cara memunculkan isu adanya konflik sektarian di antara umat. Tentu saja ini sebuah kekeliruan besar, lantaran pada dasarnya semua konflik di Timur Tengah bersifat politik. Karena, dalam kenyataannya, ada orang Sunni yang pro Zionis –demikian pula sebaliknya.

Sebagai contoh, Okab Saqr, anggota Parlemen Lebanon yang bermazhab Syiah, kini menjadi pendukung utama kelompok-kelompok pemberontak Suriah yang konon berjuang melawan rezim Suriah yang bermazhab Syiah. Ayyad Alawi yang merupakan ketua fraksi oposisi di Parlemen Irak juga politisi bermazhab Syiah yang sangat memusuhi Iran dan berkawan dekat dengan AS dan rezim-rezim Arab lain.

Kelima, mencampuradukkan antara gerakan-gerakan Islam yang benar-benar anti AS dan Israel dengan gerakan-gerakan Islam palsu bentukan AS yang tidak pernah melawan AS, seperti Fath Al-Islam dan Jund Sham.

Kesimpulannya, pemutarbalikan fakta soal siapa kawan dan siapa lawan dalam politik biasanya bertujuan untuk menyembunyikan kawan dan menyelamatkan lawan. Siapa saja yang berupaya memutarbalikkan fakta tentang Iran tidak bisa dianggap sebagai bersikap polos –melainkan memiliki agenda politik untuk mengacaukan peta pertarungan yang sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar