Label

Selasa, 02 September 2014

Yang Lebih Tua dari Kota Atlantis



Predikat daratan yang hilang selama ini disematkan pada Atlantis --  kota yang konon berperadaban maju tapi tenggelam di dasar laut.

Atlantis muncul dalam dialog Plato, Timaeus dan Critias, yang ditulis sekitar tahun 330 Sebelum Masehi. Berangkat dari tulisan Plato, lokasi Atlantis telah digambarkan: laut yang bisa dilayari saat itu, di depan mulut "pilar-pilar Herkules", terdapat pulau yang lebih luas dari Libya dan Asia disatukan."

Lepas dari ada tidaknya Atlantis, atau di mana ia berada -- Samudra Atlantik, Antartika, Bolivia, Turki, Jerman, Malta, Karibia, atau bahkan Indonesia -- baru-baru ini, ilmuwan China menemukan benua yang hilang di Asia, yang bahkan jauh lebih tua dari Atlas, nama lain Atlantis.

Benua kuno tersebut bertabrakan dengan Asia Timur dan kemudian -- seperti halnya legenda Atlantis -- hilang ditelan lautan. Terjadi sekitar 100 juta tahun yang lalu, saat dinosaurus masih berkeliaran di Bumi.

Tabrakan tersebut menciptakan pegunungan selebar 500 kilometer dan tinggi 4.000 meter yang kini berada di perairan selatan dan timur China. Dan secara dramatis mengubah lanskap Taiwan dan wilayah Asia Timur lainnya, seperti Jepang.

Benua OK

Menulis di jurnal ilmu bumi terkemuka, Profesor Yang Yongtai mengatakan, benua yang hilang itu kini berada di bawah Laut Okhotsk  di timur laut Asia.  Dikenal sebagai blok benua Okhotomorsk di kalangan para geolog. Atau lebih gampangnya disebut 'OK'.

Sebelumnya, keyakinan umum terkait tektonik -- yang menyangkut proses skala besar yang mempengaruhi struktur kerak bumi -- di timur Asia tak pernah ada apapun selain air.  Bahwa meluasnya lempeng Pasifik yang lebih muda terus mendorong lempeng Eurasia kuno telah menciptakan lanskap kasar di Asia Timur, termasuk pegunungan di pesisir China dan gunung berapi di Jepang.

Namun, dalam makalah yang dimuat dalam jurnal Earth-Science Reviews, Yang Yongtai yang berasal dari University of Science and Technology of China (USTC) di Hefei mengajukan argumen bahwa telah terjadi tubrukan benua di wilayah itu.

Menurut dia, OK adalah lempeng benua yang tua, keras, dan tebal di tengah lautan kuno antara Asia dan Amerika selama akhir Triassic dan awal periode Jurassic.

Diawali pada periode Cretaceous Awal, ia secara bertahap bergerak ke barat laut bertepatan dengan kelahiran dan ekspansi lempeng Pasifik. Dan sekitar 100 juta tahun lalu OK bertabrakan dengan lempeng Eurasia di Asia Timur.

"Kita masih bisa melihat dengan jelas saat ini titik-titik tabrakan tersebut. Di selatan, sebuah cekungan besar (kawah) dapat ditemukan di Taiwan selatan. Di utara, ada sebuah cekungan yang sama di timur laut Jepang, " kata Yang seperti Liputan6.com kutip dari South China Morning Post, (28/10/2013).

"Jika mengukur jarak antara 2 sudut indentor, Anda akan menemukan itu cocok hampir sempurna dengan bentuk dan ukura lempeng OK di Rusia."

Tabrakan berlangsung selama 11 juta tahun. Di China, dorongan OK membentuk Gunung Wuyi di Fujian , Pegunungan Dalou di Yunnan, cekungan Sichuan, Pegunungan Dabie di Anhui, Hubei dan Henan, Gunung Qinling di Shaanxi, Gunung Yanshan di Beijing, Pegunungan Luliang di Shanxi dan Cekungan Ordos di Mongolia.

"Seperti laiknya  perubahan dramatis lanskap dan iklim, itu akan membawa dampak terhadap makhluk hidup termasuk dinosaurus," kata Yang.

Dampak OK di timur China  100 juta tahun lalu itu cukup mirip dengan akibat yang ditimbulkan lempeng India di China Barat saat ini -- lempeng India menciptakan pegunungan seperti Himalaya dan gurun seperti di Xinjiang . "Bagaimana dinosaurus bisa bertahan atau berkembang dalam lingkungan yang demikian keras, saya tidak tahu, " kata Yang.

Sekitar 89 juta tahun yang lalu, juga karena perluasan Pasifik, OK mulai bergerak ke utara sepanjang pantai Cina dan akhirnya bertabrakan dengan Siberia sekitar 10 juta tahun kemudian.

Kehilangan momentum, secara bertahap ia tenggelam ke laut.

Model baru yang digagas Yang dianggap bisa menjelaskan beberapa misteri geologi terkenal di Asia Timur, seperti keberadaan sabuk metamorf Sanbagawa di Jepang. Sabuk itu, yang membentang sekitar 1.000 kilometer dari pulau Kyushu melalui Tokyo dan berakhir di prefektur Chiba, yang bikin bingung ahli geologi selama beberapa dekade.

Sebab,  batuan itu hanya bisa dibentuk oleh tekanan yang sangat tinggi, membutuhkan hampir dua kali kekuatan dari dorongan yang relatif lembut yang diakibatkan lempeng samudera Pasifik.

Pro Kontra

Apa yang dituangkan Yang Yongtai dalam makalahnya ditanggapi beragam sejumlah ilmuwan.

Profesor Sun Liguang,dari sekolah ilmu bumi dan ruang angkasa di USTC  berpendapat, itu adalah teori penting.

"Selama bertahun- tahun para ilmuwan China jarang memberikan kontribusi besar, ide orisinil dalam ilmu bumi. Makalah Yang menjadi sangat penting," kata dia.

Pun dengan Cari Johnson, profesor geologi dan geofisika di University of Utah, AS. "Makalah ini memberikan sebuah sintesis dari data regional untuk menjelaskan suatu 'model tektonik baru' untuk margin Pasifik selama Zaman Kapur Akhir (Late Cretaceous)," kata dia. "Ini merupakan kontribusi yang signifikan."

Tapi tidak semua ilmuwan yakin. Profesor Hu Xiumian, dari fakultas ilmu bumi Nanjing University mengatakan, teori Yang masih berupa tebak-tebakan, karena kurangnya bukti kunci.

"Di China selatan kami tidak menemukan apa pun yang ditinggalkan oleh OK. Jika ibaratnya ini 'pertarungan' besar yang terjadi antara dua benua, seharusnya ada beberapa tanda yang jelas untuk 'lukanya'," kata dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar