Label

Rabu, 30 Desember 2015

Islam Paska Wafatnya Nabi


Oleh O Hashem (penulis buku Saqifah)

“Para sejarahwan, penafsir Al-Qur’ân dan perawi terkenal sering membuat kesalahan dalam melaporkan suatu peristiwa. Mereka menerima berita-berita sebagaimana disampaikan kepada mereka tanpa menilai mutunya. Mereka tidak membandingkannya dengan laporan-laporan lain yang serupa. Mereka tidak mengukur laporan-laporan tersebut dengan ukuran-ukuran filsafat, dengan bantuan pengetahuan hukum alam, tidak juga dengan bantuan renungan dan wawasan sejarah. Mereka lalu tersesat dari kebenaran dan hilang dalam padang pasir perkiraan dan kesalahan-kesalahan yang tak dapat dipertahankan.” (Ibnu Khaldun)

Pembaiatan[1] Abû Bakar sebagai khalîfah pertama di Saqîfah Banî Sâ’idah, adalah peristiwa yang berekor panjang. Abû Bakar dan Umar sendiri kemudian mengakuinya sebagai tindakan keliru yang dilakukan secara tergesa-gesa, faltah.[2]

Peristiwa ini telah menimbulkan perpecahan pertama dan terbesar yang kelanjutannya terasa sampai di zaman ini.

Naskah-naskah sejarah tradisional, târikh an-naqlî, yang tertera dalam buku-buku sejarah lama, yang beredar dan tersebar luas, telah memungkinkan para ahli membuat rekonstruksi peristiwa besar itu.

Penulis membuat rekonstruksi peristiwa Saqîfah berdasarkan pidato Umar bin Khaththâb dalam khotbah Jum’atnya yang terakhir. Khotbah ini didengar banyak orang dan dicatat oleh hampir seluruh penulis sejarah lama dengan isnâd yang lengkap dan melalui banyak jalur, sehingga pidato Umar ini diterima oleh semua ahli sebagai sumber yang patut dipercaya.

Naskah tertua yang mencatat pidato Umar ini ialah As-Sîrah an-Nabawiyah, yakni riwayat hidup Nabî Muhammad saw karya Ibnu Ishâq, yang sampai kepada kita melalui “revisi” Ibnu Hisyâm. “Celah-celah” pidato Umar ini kemudian diisi dengan sumber lama lainnya, sehingga pembaca dapat mengikuti peristiwa itu dalam satu rangkaian yang terpadu.

Bagi yang dapat membaca dalam bahasa Arab, tersedia banyak buku mengenai peristiwa itu, baik yang ditulis secara khusus, maupun yang terselip dalam rangkaian tulisan lain. Dua buku semacam itu adalah As-Saqîfah oleh Syaikh Muhammad Ridhâ al-Muzhaffar dan As-Saqîfah wa’l-Khilâfah oleh ‘Abdul Fattâh ‘Abdul Maqshûd.[3]

Bagi pembaca awam perlu diingatkan, bahwa menulis sejarah tidak sama dengan menulis buku dakwah untuk memperkuat keyakinan yang telah lama dianut.

Penulis sejarah menulis apa adanya; tulisannya dapat berbeda dengan hipotesa atau keyakaninnya semula. Dalam menulis suatu peristiwa sejarah ia harus mengumpulkan semua laporan tentang peristiwa tersebut dan harus bertindak sebagai hakim di pengadilan yang mengambil keputusan dari keterangan-keterangan para saksi. Hal ini disebabkan karena para penulis sejarah zaman dahulu, terutama pada zaman para sahabat dan tâbi’în[4] sering menyampaikan laporan-laporan yang banyak tentang suatu peristiwa.

Laporan-laporan ini demikian rumit dan kadang-kadang saling bertentangan. Oleh karena itu di beberapa bagian penulis terpaksa memuat laporan itu selengkap-lengkapnya. Sebagai contoh pembaca dapat melihat catatan pada bab “Pengepungan Rumah Fâthimah.”

Penulis sejarah menyadari adanya prasangka dari saksi pelapor suatu peristiwa dan para penyalur yang membentuk rangkaian isnâd. Ia juga harus menyadari kemungkinan adanya kesalahan dan kekeliruan mereka karena kelemahan-kelemahan manusiawi seperti lupa, salah tanggap, salah tafsir, pengaruh penguasa terhadap dirinya, serta latar belakang keyakinan pribadinya.

Sejak permulaan abad kedua puluh ini, telah muncul para peneliti dan penulis yang sangat tekun, antara lain yang namanya disebut di atas; namun tulisan-tulisan mereka, dalam bahasa Arab, tidak berkembang dengan baik. Hal ini disebabkan karena buku-buku sejarah lama telah terlanjur tersebar luas dan melembaga dalam rumusan akidah. Sebuah laporan yang diriwayatkan dalam buku sejarah dikutip ke dalam buku-buku dakwah, seperti mengutip hadis, kemudian dikhotbahkan di masjid-masjid tanpa membandingkannya dengan laporan-laporan serupa yang lain, dan tidak juga diteliti dengan dasar-dasar metode sejarah.

Pada zaman dulu, ulama adalah manusia dua dimensi. Ia adalah ilmuwan dan sekaligus juga juru dakwah yang mengajak kaum awam mendekati agama; ia meneliti dan mengajar. Lama kelamaan, kedudukan seorang ulama makan beralih ke tugas dakwah, dan mengabaikan segi penelitian. Penelitian sejarah di zaman sahabat pun dilupakan.

Maka timbullah semboyan yang terkenal: “Kita harus membisu terhadap segala yang terjadi di antara sahabat.”[5] Para ulama telah menjadi juru dakwah semata-mata, yang pekerjaannya ialah berdakwah dan mengajarkan agama.

Ditutupnya pintu ijtihâd, telah menambah parahnya perkembangan penelitian sejarah zaman para Sahabat serta tâbi’în generasi pertama dan kedua. Dan para ulama terus bertaklid pada ijtihâd para imam yang hidup seribu tahun lalu.

Para pembaharu cenderung membangun pikirannya di atas permukaan, dan tidak menelusuri khazanah kebudayaan Islam yang kaya, yang merentang dalam kurun waktu yang panjang. Dimensi-dimensi luas yang terkandung dalam Al-Qur’ân, telah dibiarkan membeku dan tidak mendapatkan kesempatan untuk berkembang.

Itulah sebabnya, buku-buku yang mengandung hasil studi yang kritis, tidak lagi mendapatkan pasaran. Membaca buku-buku ini dianggap tidak memberi manfaat, karena pikiran-pikiran baru ini akan membuat dirinya terasing dalam kalangannya sendiri dan dari masyarakat yang telah “mantap” dalam keyakinan.

Pada sisi lain, kelemahan dalam segi kepemimpinan membuat para ulama sukar memasarkan “pikiran-pikiran baru-”nya. Hal ini disebabkan tidak adanya lagi kewajiban untuk menaati para ulama mujtahid yang kompeten, yang masih hidup, sebagai Imâm.

Buku kecil ini sebenarnya hanyalah kumpulan kutipan dari para sejarahwan awal dan bukanlah “barang baru”, kecuali bagi yang tidak membaca buku-buku sejenis dalam bahasa Arab. Bagi mereka, membaca buku ini akan menimbulkan unek-unek, karena mungkin melihat adanya sumber lain yang tidak dikutip penulis.

Misalnya, penulis sangat kritis terhadap hadis ramalan politik, hadis dan riwayat dari Saif bin Umar Tamimi dengan cerita “Abdullâh bin Saba”-nya, hadis dari Abû Hurairah serta hadis keutamaan, fadhâ’il, yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan peristiwa Saqîfah. Karena itu penulis perlu membicarakan,walaupun sepintas lalu, dalam pengantar ini, satu demi satu.

CATATAN:
[1] Bai’at dalam bahasa Arab berarti “penepukan tangan ke tangan seseorang sebagai pengukuhan (îjâb) penjualan”. Biasanya dilakukan dengan cara menjulurkan tangan kanan ke depan dengan tapak tangan menghadap ke atas dan pembaiat menepuk dan menjabatnya, tetap dalam posisi demikian. Saling membaiat dilakukan dengan saling menepuk tangan (tashâfaqû) atau saling menjual (tabâyaû). Berasal dari kata menjual (bâa, yabîu, bai, baiah) Dalam Islam baiat artinya menepuk tangan sebagai tanda kewajiban penjualan, sebagai tanda membuat kontrak jual beli atau sebagai tanda ketaatan akan kesepakatan yang telah diputuskan keduanya. Seorang membaiat seseorang, artinya ia berjanji kepada seseorang. Di zaman Nabî, baiat merupakan lembaga pengukuhan. Dalam peristiwa pengangkatan Abû Bakar sebagai khalîfah ini lembaga baiat untuk pertama kali digunakan sebagai lembaga pemilihan.
[2] Faltah, menurut kamus al-Mu’jam al-Wasîth adalah “suatu peristiwa yang terjadi akibat tindakan yang dilakukan tanpa memakai pikiran dan kearifan”, (al-amr yahdutsu min ghair rawiyyah wa ihkâm). Umar bin Khaththâb mengancam, bahwa bila ada yang melakukan hal serupa agar dibunuh. Ibnu al-Atsîr tatkala meriwayatkan peristiwa Saqîfah menyamakan faltah dengan fitnah, lihat Târîkh al-Kâmil, jilid 2, hlm. 157; Syaikh Muhammad al-Hasan mengatakan bahwa faltah adalah dasar dan kepala dari semua fitnah, asâs alfitan wa ra’suhâ; Lihat Dalâ’il Shidq, jilid 3, hlm. 21.
[3] Syaikh Muhammad Ridhâ al-Muzhaffar, As-Saqîfah , penerbit Mu’assasah al-A’lamiy li’l-Mathbû’ah, Cetakan keempat, Beirut, 1973; ‘Abdul Fattah ‘Abdul Maqshûd, As-Saqîfah wa’l-Khilâfah, Maktabah Gharib, Kairo, tak bertahun.
[4] Tabi’in, generasi sesudah generasi sahabat Rasûl Allâh saw.

[5] 5 Lihat Bab 9: “Apendiks”, sub bab “Sikap Muslim Terhadap Sahabat.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar