Label

Kamis, 31 Desember 2015

Sifat Jâhiliyah di Kalangan Para Sahabat


Oleh O Hashem (penulis buku Saqifah)

H. Fuad Hashem dalam bukunya Sîrah Muhammad Rasûlullâh[1]melukiskan sifat jahiliah itu dengan jelas. Ia mengatakan:

Arti kata “jâhiliyah” yang dimaksud Rasûl tidak ada sangkut pautnya dengan kata “zaman” atau “periode”. Kalau kedatangan Islam itu memberantas kebiasaan jahiliah, itu tidak lantas berarti bahwa babakan sejarah menjadi “Zaman Jahiliah” dan “Zaman Islam”, sehingga implikasinya adalah bahwa “jâhiliyah” adalah periode yang telah lewat, sudah kadaluwarsa, sudah mati dikubur ajaran Islam. Pengertian yang menyamakan zaman jahiliah sebagai “Zaman Kebodohan” (Ignorance) mungkin suatu usaha untuk ikut membonceng pengertian agama Kristen bahwa jahiliah itu adalah “zaman sebelum datangnya Nabî”, seperti tercantum dalam Kitâb Injil (Kisah Rasûl-Rasûl 17:30), korban pengaruh Kristen seperti kata teolog Mikaelis. Memang banyak pengaruh itu yang disadari, misalnya dibuangnya bagian awal dari Sîrah Ibnu Ishâq. Tetapi ini hanya satu dari sekian aspirasi Kristen yang telah merasuk ke dalam karya literer Islam dan kalau tidak dicabut, duri ini akan tetap menyakiti daging.

Jahiliah itu benar-benar lepas dari pengertian zaman atau periode. Ini jelas terlihat dari kutipan ayat Al-Qur’ân: “Ketika orang kafir membangkitkan dalam dirinya kesombongan, kesombongan jahiliah, maka Allâh menurunkan ketenangan atas Rasûl dan mereka yang beriman, dan mewajibkan mereka menahan diri. Dan mereka memang berhak dan patut memilikinya. Dan Allâh sadar akan segalanya”.[2] Ayat ini jelas mempertentangkan jahiliah dengan ketenangan (sâkinah), sifat menahan diri dan takwa...arti kata pokok jahil (jhl) bukanlah lawan dari ‘ilm (kepintaran) melainkan hilm yang artinya sifat menahan diri sebagaimana yang termaktub di dalam Al-Qurân.

Maka perwujudan sifat jahiliah itu adalah antara lain rasa kecongkakan suku, semangat balas dendam yang tak berkesudahan, semangat kasar dan kejam yang keluar dari sikap nafsu tak terkendali dan perbuatan yang bertentangan dengan takwa. Ini bisa saja terjadi dalam zaman setelah kedatangan Islam dan keluar dari pribadi seorang Muslim.

Sebagai ilustrasi kita teliti tanggapan Rasûl dalam peristiwa Khâlid bin Walîd, yang terjadi sekitar pertengahan Januari 630, dalam penaklukan kota Makkah. Ibnu Ishâq bercerita[3]: “Rasûl mengirim pasukan ke daerah sekitar Makkah untuk mengajak mereka ke dalam Islam: beliau tidak memerintahkan mereka untuk bertempur. Di antara yang dikirim adalah Khâlid bin Walîd yang diperintahkannya ke kawasan datar sekitar perbukitan Makkah sebagai misionaris; ia tidak memerintahkan mereka bertempur.”

Mulanya klan Jadzimah, penghuni wilayah itu ragu, tetapi Khâlid mengatakan: “Letakkan senjata karena setiap orang telah menerima Islam.” Ada pertukaran kata karena curiga akan Khâlid, tetapi seorang anggota suku itu berkata: “Apakah Anda akan menumpahkan darah kami?” Semua telah memeluk Islam dan meletakkan senjata. Perang telah usai dan semua orang aman”, jawab Khalid.

Begitu mereka meletakkan senjata, Khâlid memerintahkan tangan mereka diikat ke belakang dan memancung leher mereka dengan pedangnya sampai sejumlah orang mati. Ketika berita ini sampai kepada Rasûl, ia menyuruh Alî ke sana dan menyelidiki hal itu dan memerintahkan agar menghapus semua praktek jahiliah.”

Alî berangkat membawa uang, yang dipinjam Rasûl dari beberapa saudagar Makkah untuk membayar tebusan darah dan kerugian lain, termasuk sebuah wadah makan anjing yang rusak.

Ketika semua lunas dan masih ada uang sisa, Alî menanyakan apakah masih ada yang belum dihitung; mereka menjawab tidak.

Alî memberikan semua sisa uang sebagai hadiah, atas nama Rasûl. Ketika Alî kembali melapor, Rasûl yang sedang berada di Ka’bah, menghadap Kiblat dan menengadahkan tangannya tinggi ke atas sampai ketiaknya tampak, seraya berseru: “Ya Allâh! Saya tak bersalah atas apa yang dilakukan Khâlid”, sampai tiga kali.

Abdurrahmân bin Auf mengatakan kepada Khâlid: “Anda telah melakukan perbuatan jahiliah di dalam Islam”. Demikian F. Hashem.[4]

Khâlid bin Walîd adalah panglima perang yang terpuji, tetapi sikap jahiliah yang merasuk ke dalam jiwanya tidak bisa segera hilang.

Ia dan asistennya Dhirâr bin Azwar setelah jadi Muslim tetap minum minuman keras, syârib al-khumûr, berzina dan membuat maksiat, shâhib al-fujûr.[5]

Orang mengetahui dendam Khâlid pada keluarga Banû Jadzîmah sebelum Islam. Terlihat jelas bahwa dendam pribadi di kalangan kaum Quraisy sangat kuat dan berlangsung lama seperti sering dikatakan Umar bin Khaththâb. Perintah Rasûl Allâh kepada Alî untuk menyelesaikan masalah Banû Jadzîmah agaknya membekas pada Khâlid bin Walîd.

Tatkala ia berada di bawah komando Alî berperang melawan Banû Zubaidah di Yaman, ia mengirim surat kepada Rasûl Allâh melalui Buraidah, yang mengadukan tindakan Alî mengambil seorang tawanan untuk dirinya sendiri. Wajah Rasûl berubah karena marah dan Buraidah memohon maaf kepada Rasûl dan menyatakan bahwa ia hanya menjalankan tugas. Rasûl Allâh lalu bersabda: “Janganlah kamu mencela Alî, sebab dia adalah bagian dari diriku dan aku pun adalah bagian dari dirinya. Dan dia adalah wali, pemimpin, setelah aku”. Lalu beliau mengulangi lagi:

“Dia adalah bagian dari diriku dan aku pun adalah bagian dari dirinya. Dan dia adalah wali, pemimpin, setelah aku.”[6] Dalam versi yang sedikit berbeda Nasâ’î meriwayatkan bahwa Rasûl Allâh bersabda: “Hai Buraidah, jangan kamu coba mempengaruhiku membenci Alî, karena Alî adalah sama denganku dan aku sama dengan Alî. Dan dia adalah walimu sesudahku.”[7] Ia adalah orang pertama sesudah Umar yang dicari Abû Bakar untuk penyerbuan ke rumah Alî dan Fâthimah, setelah Rasûl wafat.

Dia ditunjuk sebagai pemimpin pasukan memerangi “kaum pembangkang” yang tidak mengirim zakat ke pusat pemerintahan pada zaman khalîfah Abû Bakar. Di antara ulahnya adalah membunuh seorang sahabat pengumpul zakat yang diangkat Rasûl, secara berdarah dingin, shabran, yang bernama Mâlik bin Nuwairah dan sekaligus meniduri istri Mâlik yang terkenal cantik, pada malam itu juga. Cerita ini sangat terkenal dalam sejarah dan jadi topik perdebatan hukum fiqih.[8]

Tatkala Abû Bakar mengingatkannya akan kebiasaannya “main perempuan” dan dosanya membunuh 1.100 (seribu seratus) kaum Muslimîn secara berdarah dingin, ia hanya bersungut dan mengatakan bahwa “Umarlah yang menulis surat itu”.[9]

CATATAN:
[1] H. Fuad Hashem, Sîrah Muhammad Rasûlullâh, Penerbit Mizan, Bandung, 1989, hlm. 65, 66, 67.
[2] Al-Qurân 48:26; Lihat juga Al-Qurân 3:148, 154; 5:55, 50; 33:33.
[3] Ibnu Hisyâm, Sîrah, jilid 2, hlm. 283.
[4] Bacalah Ibnu Hisyâm, Sîrah, jilid 4, hlm. 53-57; Ibnu Sa’d, Thabaqât, hlm. 659, Bukhârî dalam Kitâb al-Maghâzî, bab pengiriman Khâlid ke Banû Jadzîmah, Târîkh Abu’l-Fidâ’, jilid 1, hlm. 145, Usdu’l-Ghâbah, jilid 3, hlm. 102; al-Ishâbah, jilid 1, hlm. 318; jilid 2, hlm. 81
[5] Al-Ishâbah, jilid 2, hlm. 209; Ibnu Asâkir, Târîkh, jilid 5, hlm. 30; Khazanah al-Adab, jilid 2, hlm. 8.
[6] Hadis ini berasal dari Abdullâh bin Buraidah. Lihat Imâm Ahmad, Musnad, jilid 5, hlm. 347
[7] Nasâ’î, al-Khashâ’ish al-‘Alawiyah hlm. 17. Hadis ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Jarîr, Thabrânî dan lain-lain
[8] Akan dibicarakan di Bab 12, “Reaksi terhadap Peristiwa Saqîfah.”

[9] Thabarî, Târîkh, jilid 3, hlm. 254; Târîkh al-Khamîs, jilid 3, hlm. 343

Tidak ada komentar:

Posting Komentar