Label

Kamis, 09 Juli 2015

Cultural Studies, Sebuah Sumbangan Ilmu Bahasa


Oleh MH Abid

CULTURAL STUDIES sekarang menjadi kajian yang cukup diminati. Di Indonesia, lembaga seperti Kunci yang digawangi beberapa anak muda memverbalkan nama lembaganya sebagai “Cultural Studies Center”. Lembaga ini pada awal tahun 2000-an menerbitkan newsletter dengan materi tulisan tentang Cultural Studies, termasuk hasil-hasil riset kecil yang menggunakan pendekatan atau perspektif Cultural Studies. Selain Kunci, kiprah beberapa penerbitan seperti Jalasutra (berpusat di Yogyakarta dan Bandung), Kreasi Wacana (Yogyakarta), dan Bentang Budaya (Yogyakarta), yang menerbitkan banyak buku terjemahan tentang Cultural Studies, juga menyumbang banyak bagi populernya wacana pendekatan ini di Indonesia.

Cultural Studies sendiri tidak bisa diterjemahkan sebagai kajian budaya (cultural studies, dengan ‘c’ dan ‘s’ kecil). Wikipedia memberikan ciri-ciri Cultural Studies sebagai (1) berkarakter interdisipliner, bukan teori tunggal; (2) satu disiplin akademik yang meneorikan kekuatan atau kekuasaan yang membentuk dunia sehari-hari; (3) meliputi banyak pendekatan, metode, dan perspektik; (4) fokus dinamika budaya kontemporer dan fondasi historisnya; penelitinya berkonsentrasi pada bagaimana medium dan pesan bertautan dengan ideologi, kelas sosial, etnis, seksualitas dan gender, bukan sekadar identifikasi dan kategorisasi yang “murni” budaya. Cultural Studies meyakini adanya tautan antara kebudayaan dan kekuasaan: kebudayaan tidak terbentuk di dalam sebuah ruang hampa, tetapi merupakan kompleks gagasan dan praktik yang tarik-menarik antaraktor kuasa. Kebudayaan adalah sebuah arena perebutan makna atas dunia untuk memeroleh kemenangan atau kebenaran.

Di dalam Cultural Studies, terdapat beberapa analisis yang cukup diminati, di antaranya semiotika dan dekonstruksi. Dua analisis ini sesungguhnya lahir dari ilmu bahasa yang dicetuskan oleh Mongin-Ferdinand de Saussure. Di dalam bukunya yang terkenal, Cours de Linguistique Generale (1989), Saussure pertama-tama membagi realitas bahasa menjadi tiga, (1) langage, bahasa manusia pada umumnya, yang terdiri atas (2) langue atau bahasa sebagai sistem dan (3) parole, bahasa sebagai ekspresi individual. Konsekuensi dari pembagian ini adalah pembedaan dua kajian bahasa yang sebelum Saussure hanya berkutat pada pengkajian sejarah. Parole sebagai ekspresi individu memang dikaji dalam kerangka locus-tempus sehingga kajiannya adalah kajian diakronik. Sementara sebagai sistem, kajian yang sesuai untuk bahasa adalah kajian ahistoris, sinkronik. Saussure kemudian menekankan pada bidang kajian yang terakhir (Saussure, 1989: 63 dst).

Pilihan kajian linguistik Saussure berbenih munculnya perhatian berlebih pada apa yang terjadi (misalnya teks yang telah ada) dan tidak mempertanyakan bagaimana proses terjadi atau kejadiannya (bagaimana teks muncul) (van Zoest & Sudjiman, 1996). Ini pada gilirannya melahirkan pemaknaan teks melalui tanda-tanda (semiotika) yang ada dalam teks itu beserta struktur-strukturnya (strukturalisme), tanpa memedulikan aspek sejarah teks.

Saussure sendiri menerjemahkan bahasa sebagai sistem tanda yang arbitrer dan konvensional. Jadi ada dua syarat bahasa. Pertama, arbirary atau manasuka. Jadi siapa pun bisa membuat bahasa, sesukanya, misalnya dengan menyebut sebuah benda semau dia. Tetapi kemanasukaan itu segera dibatasi oleh syarat kedua, yaitu konvensi atau kesepakatan. Jadi harus ada kesepakatan minimal dua orang untuk menyebut benda yang disukai tadi dengan kata-kata tertentu untuk menjadi bahasa.

Prinsip arbitrary juga membuat makna bahasa, menurut Saussure, tidak inheren pada kata. Bagi Saussure, tidak ada hubungan logis dan langsung antara sebuah kata dan acuan (referent)-nya. Sebuah kata tidak bermakna karena kata itu mengandung arti tertentu, melainkan karena kata itu belum digunakan di dalam sebuah langue. Dengan demikian kata bermakna karena prinsip perbedaan. Kata ‘malam’ bermakna karena berbeda dengan ‘makan’, ‘masam’, ‘makam’, dst.

Prinsip-prinsip bahasa tersebut kemudian dikembangkan oleh para murid-murid Saussure seperti Roland Barthes, Michel Foucault, dan Levi-Strauss. Dinamika pemaknaan yang berasal dari prinsip manasuka tadi menjadi fokus Roland Barthes. Baginya, di sana terjadi praktik penandaan atau pemaknaan (signifying practices). Menurut Barthes, praktiknya tidak terjadi secara alamiah, melainkan berada dalam tarik-menarik kekuasaan. Siapa yang berkuasalah yang kemudian melahirkan dan menstabilkan makna. Kekuasaan menjadi tema sentral dalam teori tanda atau semiotika Roland Barthes (Sunardi, 2002).

Di dalam esainya, “The Death of Author” (1977), misalnya, Barthes mengupas soal pengarang. Kata Barthes, begitu sebuah karya atau pesan tercipta, author harus mati. Yang diperlukan untuk membaca pesan itu adalah struktur pesan atau teks itu sendiri. Makna bukanlah berada pada pengarang (intentio autoris), bukan pula pada intensi pembaca secara pribadi (intentio lectoris) karena ketika menghampiri teks atau pesan, pembaca terhubung dengan dunia. Lalu siapakah yang memberi makna? Sering kali author, yang menurut Gayatri Spivak bukan pengarang, melainkan the authority. Kata Spivak,

Author tidak hanya mereka yang ditempatkan menjadi otoritas (the authority) untuk memaknai teks, tetapi juga mereka yang diposisikan oleh otoritas, yang diposisikan oleh fakta ‘moral atau supremasi resmi, suatu kekuatan untuk memengaruhi kelakuan atau tindakan orang lain’; dan yang mengabsahkan, ‘memberi kekuatan legal, membuat valid secara resmi’ (Sunardi, 2002: 365-366).

Dalam banyak kasus, memang kekuasaanlah (dan itu pembaca) yang banyak melakukan dominasi makna, bukan pengarang. Novel-novelnya Pramoedya Ananta Toer, misalnya, maknanya dipegang oleh negara sehingga penulisnya dipenjarakan. Selain negara, kekuasaan juga berwujud lembaga, ilmuwan yang berdiri di atas keabsahan, cap keilmuwan tertentu, moral, agama, supremasi, dan validitas.

Kaitan kekuasaan di dalam karya-karya kebudayaan, seperti halnya dalam semiotika Barthes, banyak diambil untuk menganalisis kebudayaan yang lain. Barthes sendiri, menurut Sunardi (2002), mengembangkan kajian yang tidak sekadar bahasa (other than language). Belakangan teorinya banyak diambil oleh Cultural Studies, termasuk juga oleh komunikasi.

Daftar Bacaan:
Barthes, Roland, “The Death of Author”, dalam Image, Music, Text, terj. Stephen Heath, (New York: Hill and Wang, 1977).
Gordon, W., Terrence, Saussure untuk Pemula, terj. Mei Setiyanta dan Hendrikus Panggalo (Yogyakarta: Kanisius, 2002).
Saussure, Ferdinand de, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, (Yogyakarta: Gadjah Mada UP, 1989).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar